"Kenapa dibawa ke sini, Dan?" gerutu seorang perempuan sambil berkacak pinggang."Ya masa aku tinggalin di pinggir jalan dalam keadaan pingsan sih, Mbak." Danesh menggeram lantas menyandarkan punggung ke sandaran sofa yang tak jauh dari tempat tidur, di mana tubuh Alisha tergeletak lemah taj berdaya."Kamu nggak hubungi keluarganya?" tanya perempuan itu lagi setelah merapikan stetoskop dan memasukkannya ke dalam kotak kecil."Astaga, aku aja nggak kenal. Dia cuma tiba-tiba nongol terus mau lompat dari jembatan pas aku lagi final check sama Pak Munir." Danesh mengendikkan dagu saat menunjuk gadis yang tadi ia tolong.Perempuan dengan wajah tenang yang dipanggil Iin tadi hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ealaaah, hidup kamu drama banget sih!""Dia tuh yang kebanyakan drama!" Danesh kembali mengendik ke arah Alisha yabg masih memejamkan mata. "Udah dibawa ke klinik deket kampus malah maksa pulang. Begitu mau pulang malah nangis kejer di pinggir jalan sampe pingsan. Untung aku masih ada se
“Ar, gimana rundingan lo sama Alisha tadi?” tanya Ronald begitu mendapati Arya dengan wajah kusut datang ke tempatnya.“Kacau, Ron. Kacau!” Arya langsung mendaratkan bokongnya di sofa yang berhadapan dengan Ronald. Sudah menjadi kebiasaan kalau Arya pasti akan mengunjungi galeri seni yang dikelola oleh keluarga sahabatnya itu saat pikirannya sedang kalut. Ronald yang sudah hapal dengan raut wajah kusut temannya langsung mengajak Arya ke lantai tiga, di mana ruang kerja barunya berada.“Maksud lo? Alisha pendarahan hebat?”Arya mengernyitkan kening tak paham. “Maksudnya?”“Ya biasanya kan kalau cewek gugurin kandungannya secara paksa, pasti ngalamin pendarahan hebat atau apalah gitu istilahnya.” Ronald menjelaskan hal yang pernah ia baca secara random di artikel daring.Arya menggeleng perlahan lalu menjambak rambutnya. “Gue ribut sama Alisha. Dia nolak minum pil itu, dan tetap nagih pertanggungjawaban gue buat nikahin dia.”“Laah, udah gue prediksi sih kalau itu,” komentar Ronald meme
Alisha masih meringkuk sambil memeluk kedua lututnya di salah satu sudut jembatan penyeberangan. Tangisnya tak kunjung usai setelah berdebat begitu lama dengan sang kekasih beberapa saat yang lalu. Gadis itu sengaja duduk di tempat paling tersembunyi di jembatan yang belum sepenuhnya dioperasikan itu agar Maya atau pun siapa saja yang tadi memanggilnya, tak ada yang tahu di mana keberadaannya."Sha, minum pil ini nanti malam ya? aku temani, sampai besok pagi. Setelah itu semua masalah kita akan selesai."Kalimat-kalimat Arya beberapa menit lalu masih terngiang jelas di telinganya. Rasanya masih terlalu sulit untuk percaya, kalau kekasih yang selama ini ia puja tanpa cela tega menawarkan hal tersebut padanya. Menggugurkan kandungan. Terjebak dosa satu malam saja sudah membuatnya digulung resah, apalagi jika sampai berani membunuh janin tak bersalah yang kini mendiami rahimnya. Tidak. Alisha tidak seberani itu untuk kembali menantang karma Sang Pencipta."Bukan pil ini yang kamu janjikan
"Kok elo bangsat banget sih jadi laki, Ar?" pekik Ronald dengan rahang mengetat. "Ya elo tanggung jawab lah, Bego, masa mau enaknya doang? begitu hamil malah elo paksa gugurin. Otak lo jatuh dimana sih?" Ronald berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala."Gue nggak akan maksa Alisha. Gue bakal ngajak dia diskusi dulu tentang ini, siapa tau dia juga setuju sama usulan gue. Apalagi kandungannya masih kecil, pasti lebih mudah digugurin." Arya menjambak rambutnya yang sedari tadi sudah acak-acakan. Entah karena terlalu banyak pikiran atau memang dia sudah tak punya jalan keluar lain sebagai pilihan."Astaga , elo kalau mau bikin dosa jangan ngajak-ngajak gue!!" Ronald bergidik ngeri. Dosanya sudah menumpuk cukup banyak, jadi ia benar-benar tak ingin terlibat lagi dengan dosa orang lain meskipun itu sahabat dekatnya sendiri."Gue nggak ngajakin elo. Gue cuma minta tolong," seru Arya hampir putus asa. "Gue cuma minta nomor HP orang yang jualan pil-pil yang kata lo itu."“Itu sama aja gue
Arya berjalan mondar mandir di dalam kamar besarnya. Bukan tanpa sebab, kilas bayangan saat Alisha menangis histeris tadi sore masih begitu nyata di kepalanya. Apa yang menjadi kekhawatiran Alisha ternyata benar-benar terjadi dan menyiksa batin mereka. Alisha hamil, itu faktanya. Menghela napas berulang kali, nyatanya tak membuat Arya tenang. Sebaliknya ia merasa berada gelisah bagai berdiri di tepian jurang.Dering ponsel yang menjerit di atas tempat tidur menyadarkan lamunan Arya."Iya, Sha. Kenapa? kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya pria itu tanpa bersusah payah mengucap salam."Aku nggak apa-apa, Mas. Hmmm ... Mas Arya gimana? udah ngomong sama keluarga Mas Arya tentang, hmm... tentang kehamilan ini." Suara Alisha terdengar lenih kecil karena gasis itu sengaja berbisik."Belum, Sha. Mama lagi ke tempat Mas Seno lagi kangen sama mantunya. Papa juga belum pulang deh kayaknya, masih sepi banget di rumah, cuma ada Mas Awan," seru Arya sambil sesekali mengusap tengkuk.
“Kalian berdua kenapa sih?” Marissa mengernyit keheranan saat menatap sepasang kekasih yang saling diam di hadapannya. “Kenapa tiba-tiba batal ikut ke kebun teh?” sambung perempuan cantik berkacamata itu. “Kalian berantem ya semalam?” Rakha ikut menimpali setelah menghabiskan cokelat panasnya. “Arya kasar kali semalem? jadi Alisha trauma,” Ronald, sahabat Arya yang lain ikut menimpali. Sialan!! Arya melirik tajam pada pemuda berambut ikal tersebut. “Mulut lo sampah, Ron!” maki Arya mendelik sambil tajam.Beralih melarikan tatapan pada Alisha yang menunduk hendak membuang muka. Wajah gadis itu kian memerah, bukan karena tersipu, namun merasa malu dengan apa yang sudah ia lalui dengan kekasihnya beberapa jam lalu. Arya menggerakkan telapak tangannya untuk meraih jemari Alisha. Di bawah meja makan, Arya sengaja menggenggam jemari dingin itu sambil mengusap perlahan. Mencoba memberi ketenangan, meski jelas-jela