"Jika kamu dan Reni ingin membeli sesuatu, beli saja! Nanti saya yang bayar. Soal harga tidak perlu dikhawatirkan. Pilih yang mana yang kalian suka," ujar Steve begitu baiknya. Ia menunjuk jejeran tas mahal dari kulit asli yang ada di etalase. Mempersilakan Reni dan Rucita untuk berbelanja.
Mereka sudah tiba di pusat toko yang menjual aneka kerajinan dari kulit sapi asli, yang hanya memakan waktu sepuluh menit saja dari rumah Rucita.
"Jangan, Tuan, di sini harganya mahal semua. Lagian saya jadi merepotkan Tuan. Biar kami temani Tuan saja tidak apa-apa," sahut Rucita sungkan.
"Tidak apa-apa. Masa saya saja yang berbelanja kalian tidak. Kalau kalian tidak jadi belanja, saya pun tidak jadi." Steve mengancam sambil menaruh kembali tas kecil yang sudah ia pilih untuk Linda. Sebenarnya ia enggan membelikan barang untuk istrinya itu, tetapi karena meluluskan niatannya mencari perhatian dari Rucita, maka ia harus mau melakukannya.
"Tuan kenapa sepert
["Cepatlah pulang! Aku merindukanmu."] ["Hei, kok nangis?"] ["Siapa yang nangis? Air matanya aja keluar gak permisi."] Tangguh tertawa mendengar alasan Linda. Jujur ia pun sangat merindukan wanita itu. Bukan karena kenikmatan yang selalu diberikan oleh Linda, tetapi memang hatinya juga sangat membutuhkan Linda. ["Acara Rucita baru saja selesai. Mungkin besok kami pulang. Sabar ya."] ["Iya, aku tunggu ya. Ya sudah, ini sudah malam. Kepalaku juga sakit dari semalam. Untung lagi nginep di rumah mama. Kalau kamu dan Steve sudah dalam perjalanan pulang ke Tangerang, kabari aku ya."] ["Baik, Sayang. Istirahat ya. I love you."] ["Love you banyak-banyak."] Tangguh memutus panggilan teleponnya dengan Linda. Ia menoleh ke dinding dan melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi di luar kamarnya masih terdengar suara Rucita dan Steve berbincang. Hal yang sangat jarang ia temui pada adiknya. Rucita
Keesokan harinya, Steve tidak bisa bangun dari tempat tidur. Seluruh tubuhnya sakit dan terasa menggigil. Pria dewasa itu hanya bisa meringkuk sambil ditutupi selimut hello Kitty milik Cita. Tangguh pun ikut turun tangan mengerok tubuh Steve, tetapi pria dewasa itu masih sangat lemah dan panas badannya juga cukup tinggi.Rucita masuk ke dalam kamar yang pintunya tidak tertutup rapat. Gadis itu membawakan teh hangat dan juga bubur ayam buatannya yang baru saja matang. Aroma bawang goreng yang melewati indera penciuman Steve, membuat lelaki itu membuka mata, lalu menoleh pelan pada Rucita yang berjalan perlahan menuju meja kecil yang ada di dalam kamar."Apa itu?" tanya Steve dengan suara serak."Ini bubur ayam, Tuan. Makanlah sedikit agar lekas sembuh. Kang Tangguh sedang ke apotek membeli obat untuk Tuan Steve." Rucita menaruh nampan di meja kecil, lalu mengambil mangkuk berisi bubur ayam sekaligus dengan sendoknya.Gadis itu berja
"Tuan, ada apa?" Rucita menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri saat Steve terus saja memandanginya tanpa berkedip."Ah, tidak apa-apa. Terima kasih, Rucita. Maaf saya sudah sangat merepotkan kamu dan Tangguh. Semoga setelah minum obat, kondisi saya lebih baik. Apa saya boleh tidur sebentar?""Oh, baik, Tuan, istirahatlah. Saya keluar dulu." Rucita menepuk pelan dua kali pundak Steve, lalu berjalan keluar kamar. Tak lupa gadis itu menutup pintu kamar, membiarkan Steve untuk tidur beberapa jam lamanya.Tangguh sedang berada di pos ronda di dekat rumahnya. Ia sedang melepas rindunya dengan Linda lewat pesawat telepon. Ini hari kelima mereka tidak bertemu dan rasa rindu itu semakin menggunung. Bukan hanya Linda, Tangguh pun sudah tak sabar ingin memeluk kekasih hatinya itu.["Jadi, apa Steve sakitnya cukup parah? Kenapa kalian tidak membawanya ke dokter?"]["Pak Steve tidak mau, Sayang. Pak Steve hanya minum obat dari apote
"T-tuan, apa Tuan baik-baik saja?" tanya Rucita gugup masih dengan tubuh yang dipeluk Steve."Maaf, saya mengatakan yang sebenarnya. Maaf, Rucita." Wajah pria dewasa itu merah padam karena malu. Hal yang baru pernah ia alami seumur hidup adalah pipi yang menghangat sampai daun telinga karena menyatakan perasaan pada wanita. Saat bersama Linda saja ia tidak merasakan sensasi aneh seperti ini. Apakah ini yang dinamakan puber kedua?"Tuan, saya susah bernapas," lirih Rucita saat Steve semakin mengeratkan pelukannya."Ah, maaf." Pria dewasa itu tersadar dan segera mengurai pelukan."Sepertinya Tuan sedang tidak baik-baik saja, saya permisi!""Tunggu!" Steve menarik Rucita masuk ke dalam kamarnya. Pria itu menutup pintu, lalu menguncinya."Apa yang Tuan lakukan? Jangan seperti ini! Tuan sudah punya istri," ujar Rucita mulai ketakutan."T-tidak, jangan takut, saya tidak akan berani berbuat jahat sama kamu. Saya
Rucita merasa Steve benar-benar tidak waras. Gadis itu syok bukan main saat pria bule dewasa memintanya untuk jadi istri kedua. Sampai pukul dua belas malam, Rucita tak juga bisa terlelap. Pertanyaan Steve begitu mengganggunya.Ia sudah memiliki pacar, bukan sekedar pacar, tetapi calon suami dan tiga puluh delapan hari lagi akan segera menjadi suami sahnya. Lalu haruskah perkataan Steve mengganggunya? Apakah ini yang dinamakan ujian sebelum menikah? Rucita menatap ponselnya yang sepi hari ini. Arnan belum membalas pesan WA-nya sejak tadi pagi.Entah apa yang terjadi dengan pacarnya itu, sehingga seharian ini ia tak disapa. Hal yang belum pernah dilakukan Arnan bahkan sejak awal mereka kenal.Rucita memilih keluar dari kamar untuk mengambil air minum. Ekor matanya melirik kamar Steve yang sepi. Mungkin saja pria itu sudah tidur karena memang belum terlalu sehat.Rucita meneruskan langkahnya ke dapur untuk mengambil air minum. Samar-samar
"Saya menganggap ucapan Pak Steve ini hanya lelucon," balas Tangguh sambil tertawa. Steve menoleh pada Rucita yang wajahnya menunduk malu. Gadis itu meremas tangannya dengan kuat karena begitu gugup."Saya serius dengan ucapan saya," kata Steve lagi dengan suara tegas. Bukannya merasa khawatir atau takut, Tangguh malah tertawa semakin keras. Pemuda itu menertawakan kekenyolan Steve yang ingin memperistri adiknya yang jelas-jelas akan menikah dengan orang lain sebentar lagi.Belum lagi masalah kejantanan Steve yang hitungan detik itu, pastilah Tangguh merasa ini adalah lawak yang paling membuatnya tak tahan untuk tidak tertawa."Kamu menertawakan ku, Tangguh? Aku rasa itu tidak sopan!" tegur Steve serius. Tangguh menghentikan tawanya, lalu menelan ludah dalam begitu mendengar suara Steve yang berat dan sangat serius."Maaf sebelumnya, Pak. Menurut saya ini lucu. Pak Steve sudah menikah. Istri Pak Steve juga cantik dan saya rasa tidak ada
"Mau sampai kapan Papa mau di kampung Tangguh? Kenapa tidak ingat pulang? Janji hanya dua hari dan ini hampir seminggu.""Aku sakit. Hari ini mungkin pulang. Tunggu saja.""Terserah deh!"Linda menutup ponselnya, lalu melemparkannya dengan kesal ke atas tempat tidur. Ia memejamkan mata sambil merasakan air mata yang mengalir perlahan di atas pipinya. Entah kenapa ia sangat kesal dengan Steve dan ingin sekali berteriak pada suaminya itu. Belum pernah Steve selama ini meninggalkannya di rumah hanya sendirian saja.Suaminya juga tidak mengirimkan kabar apapun jika ia tidak bertanya melalui pesan WhatsApp. Untunglah ada Tangguh yang menghibur dirinya yang kesepian. Hari ini seharusnya Tangguh dan Steve sudah dalam perjalanan pulang, tetapi karena Tangguh ada urusan sebentar, sehingga mereka baru kembali dari Garut lebih siang.Linda sudah menyiapkan makan sore untuk suaminya dan Tangguh, tapi sepertinya makanan itu akan terbuang
Tepat pukul sebelas malam, Steve dan Tangguh sampai di rumah. Perjalanan lebih lama karena macet cukup panjang di tol dikarenakan adanya truk pengangkut sayuran yang terbalik. Mereka juga sempat singgah di rest area untuk satu jam karena Tangguh mengeluh mengantuk.Linda membukakan pintu untuk suaminya sambil tersenyum manis. Steve membalas senyuman istrinya dengan enggan, lalu melayangkan satu kecupan di kening Linda.Ekor mata Linda melirik ke teras rumah, maksud hati mencari keberadaan Tangguh, tetapi pemuda itu sudah tak nampak di sana. Tangguh pasti sudah berjalan ke rumahnya.Linda masih harus bersabar satu hari lagi untuk dapat bercumbu dengan Tanggung. Sekarang ia harus fokus pada suaminya."Papa sudah makan?" tanya Linda berbasa-basi ketika Steve mengunci pintu rumah."Sudah, mau langsung mandi dan tidur," jawab Steve enteng. Pria itu masuk ke dalam kamar dan langsung menuju kamar mandi. Ia sama sekali tidak m