Uzy ketiduran dibuai khayalan. Sampai azan Asar berkumandang, ia tak terbangun maupun terganggu. Sepertinya kupingya sudah dikencingi oleh setan.
Hanif memasuki ruangan tepat pada pukul empat. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat Uzy yang tertidur pulas, bahkan ilernya sampai jatuh ke pipi dan leher.
“Zy, Uzy. Bangun, Zy.”
Hanif menggoyang-goyangkan tubuh Uzy.
“Kamu harus kerja, Zy!” seru Hanif. Ia berspekulasi bahwa kalimat itu akan membuat Uzy segera sadar.
Betul dugaannya. Demi mendengar kata ‘kerja’, sontak mata Uzy terbuka seketika.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya kaget.
Ia menghapus iler dengan ujung lengan baju, lalu mengucek-ngucek mata yang masih buram. Lalu ia celingukan ke kanan dan kiri, mencari tas ransel andalan. Di dalam tas itu ponselnya yang jadul berada.
“Jam empat, Zy,” jawab Hanif. Telunjuk Hanif terarah pada jam dinding.
Kepala Uzy berputar ke arah jam. Ia bergegas bangkit.
“Aduh, hampir telat,” keluhnya.
“Salat dulu,” seru Hanif, mengingatkan.
Uzy mengangguk. Ia tinggalkan tas ransel di ruangan dan melangkah terburu-buru ke arah kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Cepat sekali ia kembali, dan melaksanakan salat dengan kilat. Tak sampai dua menit, salatnya sudah rampung.
“Makasih tumpangannya, Mas Hanif. Saya pamit dulu,” ujar Uzy saat hendak pergi.
“Cepat betul salatnya?” tanya Hanif. Matanya terbelalak heran.
“Iya. Kan sudah lama belajar,” sahut Uzy kalem.
“Saya pamit, Mas. Makasih tumpangannya,” sambung Uzy. Ia bergegas pergi karena takut terlambat.
“Kalau mau tidur lagi ke sini saja, Zy!” pekik Hanif ke arah Uzy yang setengah berlari.
Uzy membalik badan, lalu mengangkat kedua jempolnya seraya tersenyum ramah. Sedetik kemudian, Uzy kembali berbalik dan berlari.
Hanif menatap kepergian Uzy yang tergesa-gesa.
***
Malam itu, setelah warung lesehan “Mas Ngganteng” tutup, Mas Destan memberikan upah Uzy seperti biasa. Tapi ada yang tidak biasa, yaitu kabar yang diberitakannya.
“Zy, besok warungku mau tutup dulu. Aku ada perlu ke luar kota,” ujar Mas Destan.
“Yah ... tutup, Mas?” tanya Uzy.
Raut wajahnya kecewa. Terbayang di pelupuk mata, uang tiga puluh ribu yang melayang.
“Uhuk! Ada yang mau kawin!” Celetuk Dudi. Senyumnya terlihat jail.
Mas Destan hanya tersenyum-senyum mendengar godaan Dudi.
“Iya, Mas? Dapat orang mana?” tanya Uzy.
Ia berusaha mengalihkan perhatian dari uang upah yang tidak akan diterimanya besok. Berharap rasa kecewanya segera pudar.
“Dekat, kok,” kelit Mas Destan. Entah mengapa ia tak mau mengakui asal daerah calon istrinya.
“Orang Klaten, Zy,” celetuk Dudi lagi. Senyumnya semakin lebar.
Wajah Mas Destan memerah, ia tertawa menutupi rasa malu.
“Oya, Mas? Wah, satu kota denganku, dong,” cetus Uzy, terkejut.
“Daerah mana? Siapa tahu dekat rumahku,” kejar Uzy.
“Di Bayat. Rumahmu mana, Zy?” balas Mas Destan.
“Saya di Karang Anom, Mas,” jawab Uzy. Kemudian Uzy terdiam.
Pembicaraan tentang kota asalnya membuat Uzy teringat pada Ibu dan Lilis. Tiba-tiba rasa rindunya membuncah.
“Selamat ya, Mas. Semoga bahagia,” lanjut Uzy.
“Makasih, Zy. Besok baru lamaran, kok,” ceplos Mas Destan.
***
Sampai di rumah Paman Ali, Uzy terpikir untuk menelepon Ibu dan Lilis. Akan tetapi, niat itu diurungkannya setelah melirik jam. Pukul setengah sebelas malam. Sudah terlalu larut untuk menelepon. Besar kemungkinan, ibunya sudah tidur pulas. Ia tak ingin mengganggu.
Uzy berbaring di kasur untuk meluruskan badan yang penat. Ia menatap plafon kamar tidur. Ada wajah Ibu dan Lilis yang berkelebat bergantian. Ada rasa bersalah di dalam hati. Ia tak pernah menelepon Ibu, malahan Ibu dan Lilis yang selalu meneleponnya.
Apa di sana Ibu kekurangan uang? Atau sedang butuh teman bicara? Uzy teringat pada celengannya. Ia bangkit dan menurunkan kaki dari tempat tidur. Ia meraih celengan yang disimpan di meja belajar.
Uzy mngguncang isinya. Dari bunyi yang terdengar, celengan berbentuk drum itu sudah terisi separuh. Hati-hati Uzy membuka tempat harta berharganya, lalu menghitung isinya.
Semuanya hampir delapan ratus ribu. Uzy menimbang. Mungkin sebagian uang bisa ia berikan pada Ibu untuk menyenangkan hati beliau. Sebagian lagi ia gunakan untuk membeli buku kuliah.
Bayangan Candy berkelebat. Uzy bimbang. Ibu atau Candy? Uzy mematung, sementara batinnya riuh berperang antara dua kepentingan. Bisikan malaikat qarin dan bisikan setan saling berebut pengaruh.
“Ah, mendingan tidur,” gumam Uzy.
Ia membereskan uang yang berserakan di kasur dan memasukkannya kembali ke dalam celengan. Celengan lalu diletakkan lagi ke tempatnya di meja belajar.
Kepala Uzy pusing dan tubuhnya lelah. Pikirannya kusut tertutup kabut.
Uzy menguap, lalu menarik selimut hingga ke kepala. Ia putuskan untuk memikirkan persoaalan ini esok hari. Dalam hitungan detik saja, Uzy sudah terbang ke alam mimpi.
***
Seusai kuliah keesokan harinya, Uzy terbengong di depan kelas. Semua teman-temannya sudah menghambur berpencaran. Ada yang ke kantin, ada yang pulang, dan sebagian lagi menuju UKM tempat mangkal masing-masing.
Sekarang Uzy bingung harus mengerjakan apa. Tugas kuliah sedang tidak ada. Nanti sore ia libur bekerja. Waktunya kosong dari siang sampai malam nanti. Tidak seru rasanya kalau langsung pulang ke rumah Paman Ali. Lagipula, di rumah dia harus mengerjakan apa?
Uzy tidak pernah ikut kegiatan apa-apa. Dia juga tidak punya teman dekat. Hanya Milo teman yang sering mengajaknya berbicara, sedangkan teman lain hanya sering saling sapa basa-basi biasa.
Tengah terbengong sendirian, dari ujung lorong ia melihat Candy. Gadis itu sibuk menatap layar ponselnya sambil berjalan. Arahnya seperti hendak ke lahan parkir kendaraan.
“Candy?” gumam Uzy. Tak menyangka akan melihat Candy lagi.
Kali ini rambut indah Candy hanya diikat gaya ekor kuda. Ikat rambutnya cantik dari bunga artifisial. Baju kaosnya hitam pekat, sangat kontras dengan kulit putihnya yang bersinar. Kakinya dibalut celana jeans ketat.
“Seksinya,” desis Uzy.
Melihat itu jantung Uzy bertalu tidak karuan. Jakunnya naik turun tanpa permisi. Memang betul kata para ustaz, pandangan mata merupakan pintu terjadinya perbuatan dosa. Lelaki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menundukkan pandangan, agar hati tetap terjaga.
Tiba-tiba Uzy ingat Yandi. Mungkin sebaiknya ia cari saja Yandi sekarang, untuk menanyakan berapa uang yang harus dibawanya untuk mengajak Candy kencan. Jika uangnya cukup, ia bisa mendekati Candy. Perkara mengirim uang kepada Ibu dan Lilis, itu bisa dilakukan bulan depan.
Ringan kaki Uzy melangkah menuju bangunan fakultas ISIPOL. Ia ingat dulu Yandi mengatakan bahwa ia mengambil jurusan Administrasi Negara.
“Aku mau jadi kepala desa, syukur-syukur kepala daerah. Hahaha!” seloroh Yandi waktu itu.
Meskipun bercanda, Uzy curiga Yandi memang berambisi menjadi pejabat.
Uzy bersiul-siul riang, hatinya sangat gembira. Ternyata tak sulit mencari Yandi. Sepertinya anak itu cukup populer diantara teman-teman satu jurusannya. Hanya sekali Uzy bertanya, ia langsung ditunjukkan tempat Yandi mangkal.
“Yandi? Oh, jam segini biasanya dia ada di kantor SM,” jawab seorang mahasiswa.
“SM? Apa itu?” tanya Uzy bingung.
“SM itu Senat Mahasiswa. Itu kantornya di sana,” jelas si pemuda. Sementara jari telunjuknya menuding ke arah sederetan bangunan yang berada agak rendah di bawah bangunan utama fakultas.
“Makasih, Mas,” ujar Uzy seraya berlalu.
Di kantor SM, Uzy melihat Yandi sedang bermain gitar. Ia terkejut melihat kedatangan Uzy.
“Kamu ... Uzy, kan?” tanya Yandi, setelah meletakkan gitar dan keluar menemui Uzy.
“Iya. Kamu masih ingat, kan? Sewaktu orientasi maba kita satu kelompok,” tutur Uzy.
Sebetulnya ia agak kecewa Yandi hampir melupakan namanya.
“Iya, iya. Maaf aku agak lupa. Maklum, kebanyakan urusan karena memikirkan masa depan mahasiswa. Hahaha!” tawa Yandi kencang.
Uzy mengabaikan sikap sok yang ditunjukkan Yandi. Ia langsung mendekati Yandi dan berbisik di dekat telinganya.
“Aku mau tanya sesuatu,” bisiknya lirih.
Yandi memandang Uzy dengan sorot mata bingung.
“Silakan saja tanya. Ada yang bisa aku bantu?” tawar Yandi.
Senyum miring yang jail muncul di sudut bibirnya.
“Aku—malu. Kita menyingkir dulu,” pinta Uzy.
Wajahnya memerah. Dahi Yandi mengernyit. Namun, ia turuti juga permintaan Uzy yang terasa aneh buatnya. Mereka berjalan sampai berada di bawah pohon rindang yang sepi.
“Kamu ingat obrolan kita tentang Candy? Aku—mau tanya berapa uang buat kencan dengan Candy,” ungkap Uzy.
Yandi terperangah. Mulutnya sampai menganga. Sedetik kemudian ia terbahak-bahak.
“Kamu serius soal itu, ya? Ya, ya. Aku ingat, kamu kayaknya memang serius sama cewek itu,” angguk Yandi.
“Berapa?” desak Uzy, penasaran dan tak sabar.
“Sini aku bisiki,” ajak Yandi. ***
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup