Share

Aku Punya Uang

Sudah hampir sebulan Uzy bekerja membantu warung lesehan “Mas Ngganteng”. Ia mulai terbiasa dengan irama hidup yang baru ini. Siang kuliah, sedangkan malam bekerja.

Awal-awal bekerja, badannya memang pegal semua. Sakit dan ngilu rasanya di pinggang. Bahkan, Uzy sering kedapatan mengantuk saat mengikuti pembelajaran di kelas. Beberapa kali Uzy kena tegur oleh dosen, sampai ia malu karena ditertawakan oleh teman-temannya.

Akan tetapi, semua itu hanya berlangsung dua minggu. Setelah itu, badannya terbiasa dan tak lagi terasa sakit. Uzy juga sudah pandai menyiasati waktu agar tidak kurang tidur dan kelelahan.

Caranya, ia tidur siang sebelum berangkat kerja pada sore hari. Pada malam harinya, ia pergi bekerja sambil membawa buku dan tugas kuliah. Di sela-sela waktu sepi pengunjung di warung, Uzy manfaatkan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku kuliah.

“Rajin kamu, Zy,” puji Mas Destan suatu kali.

“Bukan rajin, Mas. Terpaksa begini agar kuliah nggak keteteran,” kilah Uzy.

Meskipun menampik, hidung Uzy kembang kempis karena bangga. Mas Destan yang melihat itu tertawa geli. Wajah Uzy memang tak bisa menyembunyikan apa-apa. Seluruh suasana hatinya gampang dilihat dari raut wajahnya, seperti melihat air di dalam gelas bening.

“Lanjutkan! Mas dukung perjuanganmu,” timpal Mas Destan hiperbolis.

Akibat sibuk kerja sambil kuliah, Uzy sampai tak punya waktu banyak untuk bersosialisasi. Jika kebanyakan mahasiswa mengisi waktu luang dengan aktif di berbagai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), maka Uzy harus bekerja.

Jika sebagian mahasiswa sering kongkow dan berhaha-hihi menghabiskan waktu, maka Uzy memilih pergi ke perpustakaan untuk berburu buku dan mengerjakan tugas.

Uzy sadar diri. Ia hanya mahasiswa miskin yang tak punya banyak uang buat berleha-leha menikmati hidup. Setiap hari ia harus bertarung dengan waktu, belajar sekaligus mencari uang.

Biasanya, usai membaca atau mengerjakan tugas, Uzy tidur siang di meja perpustakaan. Di situ ia menunggu waktu sore sebelum berangkat bekerja. Untung saja perpustakaan tutup pukul lima, jadi Uzy tak perlu terusir dari sana.

Ada seorang mahasiswa yang sering memerhatikan rutinitas Uzy di perpustakaan. Hanif namanya. Ia mahasiswa semester enam yang juga sering menyambangi perpustakaan.

Setelah dua minggu hanya mengamati Uzy yang belajar di perpustakaan, siang ini Hanif mendekati Uzy.

“Assalamu’alaikum, Uzy,” sapanya.

Uzy yang sedang serius membaca buku, terdongak kaget. Ia mengamati Hanfi dengan saksama.

“Wa’alaikumussalam. Kok tahu namaku?” tanya Uzy bingung.

Ia tahu pemuda di hadapannya juga merupakan pengunjung tetap perpustakaan. Perpustakaan yang seringkali sepi membuat antar pengunjung saling mengenal wajah, meskipun tak tahu nama. Mereka kerap berpapasan, tapi tidak saling menyapa. Makanya, Uzy heran dari mana pemuda ini tahu namanya.

“Aku lihat dari buku pengunjung perpus,” jawab Hanif seraya tersenyum.

“Oh,” komentar Uzy singkat.

Ada tanya yang tersimpan dalam benak Uzy, ada perlu apa sampai pemuda yang sepertinya kakak tingkat ini repot-repot menyapanya.

“Oya, kenalkan namaku Hanif,” sambung Hanif.

Mereka berjabat tangan. Hanif duduk di sebelah Uzy.

“Aku lihat kamu sering tidur di sini. Pasti nggak nyaman, ya,” ujar Hanif.

“Saya nggak punya pilihan. Setiap sore saya kerja, tanggung kalau pulang,” sahut Uzy jujur.

Hanif kaget juga mendengar keterbukaan Uzy. Apabila ia amati, Uzy memang kelihatan polos.

“Kebetulan aku aktif di UKM Islam. Ruangan UKM kami cukup luas, ada kasur tipis juga buat rebahan. Silakan tidur di sana,” tawar Hanif.

Uzy terkejut, tak menyangka mendapat tawaran itu. Kemudian, ia menggelengkan kepala.

“Kenapa?” tanya Hanif heran. Ia mengernyitkan dahi saat Uzy menolak.

“Saya sungkan. Saya kan nggak ikut aktif di UKM,” tutur Uzy.

“Oh, itu masalahnya,” senyum Hanif.

“Kan ada aku, kamu nggak perlu sungkan. Nanti aku kenalkan pada teman-teman dan kukatakan bahwa kamu temanku,” bujuk Hanif.

“Hm. Bagaimana, ya ...” sahut Uzy ragu.

“Daripada tidur di sini. Tidur nggak nyenyak, badan juga jadi pegal,” tambah Hanif.

Uzy menimbang. Perkataan Hanif ada betulnya. Hitung-hitung ia menambah teman dan pergaulan. Akhirnya, Uzy setuju.

“Baik kalau begitu. Terima kasih, ya,” kata Uzy.

Hanif menoleh ke arah jam dinding perpustakaan. Jarum pendek menunjuk pada angka dua.

“Sekarang saja ke UKMnya. Mumpung masih siang, ruangan belum dikunci,” ajak Hanif.

Uzy bangkit dan mengemasi buku-bukunya. Sambil berjalan bersama Hanif, ia mengulik lebih jauh tentang UKM Islam.

“Ruangan UKM ditutup jam berapa?” tanyanya ingin tahu.

“Biasanya pukul tiga, atau saat azan Asar. Tapi jika ada kegiatan sore, tutupnya sebelum waktu Magrib,” jawab Hanif.

“Apa saja kegiatan di UKM?” tanya Uzy lagi.

Sebetulnya ia bertanya untuk basa-basi, agar tidak sunyi sepanjang perjalanan.

“Setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat ada kajian rutin sore hari. Kami mengundang ustaz buat mengisi pengajian. Selain itu, kami juga menyediakan buku-buku agama buat dibaca di ruangan,” jelas Hanif panjang lebar.

Uzy mengangguk-angguk. Otaknya berputar. Sekarang hari Selasa, jadi tidak ada pengajian rutin.

“Pada hari-hari besar keagamaan, kami mengadakan kegiatan tambahan sesuai tema. Bazar atau pengajian akbar,” tambah Hanif, berpromosi.

Sekali lagi Uzy hanya mengangguk–angguk. Mereka tiba di depan ruangan UKM. Ada lima orang yang sedang duduk-duduk di kursi di depan ruangan. Semuanya lelaki.

“Assalamu’alaikum. Eh, kenalkan ini temanku,” ujar Hanif, spontan.

Kontan, kelima pemuda itu menyalami Uzy satu demi satu seraya mengenalkan nama mereka.

“Ayo, masuk,” ajak Hanif.

Uzy mengikuti langkah Hanif yang memasuki ruangan. Pandangan matanya memindai ruang itu. Uzy mendongak ke plafon, ia dapati empat petak plafon terpasang secara panjang dan lebar.

Jadi ruangan ini berukuran 4 x 4 meter, cukup besar sebetulnya. Apalagi tidak ada meja dan kursi di dalamnya, hanya karpet hijau terhampar seluas ruangan. Di salah satu dinding, tertempel rak buku besar yang terbuat dari kayu. Rak itu penuh berisi puluhan buku tertata rapi. Tebersit di dalam hati Uzy untuk membaca buku-buku itu, sayangnya bukan itu tujuannya kemari.

“Ini kasurnya. Silakan,” ujar Hanif.

Uzy melihat Hanif sudah menggelar kasur gulung tipis di permukaan karpet. Seketika tubuhnya menuntut untuk direbahkan. Kontan Uzy duduk di atas kasur.

“Saya ngobrol di luar, anggap saja rumah sendiri,” seloroh Hanif sebelum beranjak ke depan.

Uzy membaringkan badan berbantalkan tangan. Nikmat rasanya meluruskan badan begini. Hanif betul, tidur di kursi memang tak nyaman. Tubuh Uzy menjadi rileks, tapi matanya tak bisa memejam. Ia malah melamun.

Uzy menghitung hari. Genap dua puluh delapan hari ia bekerja untuk Mas Destan. Upah yang diperolehnya selama ini ia masukkan celengan. Ia sengaja tak mengutak-utik uang itu sama sekali, bahkan untuk sekedar jajan bakso. Ia ingin membuka celengan itu pada akhir bulan, agar terasa seperti gajian.

Upahnya setiap hari besarnya tiga puluh ribu rupiah, masih ditambah makan malam gratis. Tiga puluh ribu dikali tiga puluh hari, jumlahnya menjadi sembilan ratus ribu. Sangat cukup untuk memenuhi keperluan tambahan untuk kuliah, apalagi ia tak perlu pusing memikirkan tempat tinggal dan biaya makan.

Uzy juga bukan pemuda boros yang hobi berfoya-foya. Terbiasa hidup sederhana membuat Uzy hidup apa adanya, tak ada keinginan untuk bertingkah.

“Aku punya uang,” bisik Uzy pada diri sendiri. Ia lalu tersenyum-senyum.

Setiap hari, ia bisikkan kalimat sakti itu agar merasa menjadi orang kaya. Kalimat itu seperti mantra pembangkit rasa percaya diri. Lagipula, siapa tahu kelak ia betul-betul kaya uang. Bukankah Ibu juga sering mengatakan bahwa setiap ucapan adalah doa?

Uzy berkhayal, dengan uang itu ia bisa membeli buku kuliah, juga mendekati Candy. Mengingat Candy, membuat Uzy kembali tersenyum-senyum sendiri. Candy sering hadir dalam mimpinya. Dengan uang di tangan, ia tak akan lagi mencumbu bayangan.

Uzy ingat, Yandi lah yang paling tahu soal Candy. Ia harus mencari Yandi untuk menanyakan biaya kencan dengan  Candy. ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status