Share

7. Pesan dari Siska

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-11-21 11:27:36

"Kamu nggak pakai gamis putih, Tami?" tanya Ibu ketika melihatku menggunakan gamis berwarna coklat susu pagi ini.

"Adanya yang ini, Bu." Aku menjawab sambil melirik baju yang kupakai.

"Seperti tidak niat saja. Bukankah sudah kebiasaan kalau pengajian mau umroh itu pakaiannya harus putih?"

"Sudahlah, Bu. Enggak usah diperdebatkan. Lagi pula Teh Tami 'kan kerjanya di belakang, " sahut Tari yang sudah cantik dengan gamis putih persis dengan yang dipakai Ibu, baik model maupun bahannya . Hanya ukurannya yang beda, karena Ibu tubuhnya berisi sedangkan Tari ramping.

"Kamu nggak usah duduk di depan, biar Lestari saja yang menemani Ibu menerima tamu." Ucapan Ibu selanjutnya sudah kuduga.

"Iya Bu, aku ngerti, kok."

Lagi-lagi aku tak bisa membantah. Sudah menjadi kebiasaan setiap ada acara kecil maupun besar di rumah Ibu, tugasku memang di dapur.

Tanpa berpamitan, aku segera mengajak anak-anak keluar dari ruangan ini.

"Oh ya, Bu, nanti jangan lupa pilih emasnya yang modelnya bagus, ya."

Sebelum melewati pintu, aku mendengar Tari berpesan pada Ibu. Adikku itu memintaku oleh-oleh emas dari Arab.

"Iya Sayang, tenang saja. Nanti Ibu belikan yang terbaik."

Mendengar percakapan mereka, ada sesuatu mengenai dadaku. Ibu pasti akan membedakan oleh-oleh yang akan diberikan pada kami. Bahkan bukan tidak mungkin, jika aku tidak mendapatkan bagian.

"Awas saja kalau dibawain yang jelek. Tari 'kan sudah nyumbang 10 juta untuk uang jajan Ibu."

Masih terdengar samar percakapan mereka. Bahkan Tari sepertinya sengaja mengeraskan suaranya supaya terdengar olehku. Lebih baik aku pura-pura tidak mendengar saja.

"Eh, Tami! Tunggu!" Suara Ibu terdengar seiring langkahnya mendekat.

Otomatis aku pun berhenti. Ketika berbalik, Ibu sudah berdiri di depanku.

"Tari ngasih Ibu uang jajan 10 juta. Apa kamu gak pengen seperti dia?"

Dadaku tiba-tiba menjadi sesak mendengar pertanyaan Ibu. Bukan tidak mau, tapi aku tidak punya uang sebanyak itu. Teringat sisa uang pemberian Mas Akbar yang sudah ditabungkan. Apa kuambil saja untuk diberikan pada Ibu? Tapi bagaimana dengan kebutuhan keluargaku kedepannya. Bukankah Ibu juga tidak pernah perduli apa aku makan atau tidak. Apa anak-anakku bisa jajan atau tidak.

Lagi pula, uang segitu tidak akan bisa merubah sikap Ibu padaku. Yang ada, aku akan tetap mendapatkan cibiran karena jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan pemberian Tari.

"Eum ... aku .... "

"Gak ada? Ya sudah tidak apa-apa. Ibu juga tahu, uang sepuluh juta bagi kamu sangat besar. Jangankan memberi pada Ibu, untuk keperluan kalian juga sangat susah. Tapi jangan iri kalau Ibu membawakan oleh-oleh yang bagus-bagus untuk Tari, secara dia juga ikut berperan dalam perjalanan umroh Ibu."

Deg!

Benar dugaanku.

"Kamu nabung saja yang rajin, supaya bisa cepat kaya!" Ada penekanan saat Ibu mengucapkan kata nabung. Karena hal itu yang selalu jadi bahan cibiran selama ini.

Sekuat tenaga aku menahan air mata supaya tidak jatuh. Meski bukan yang pertama kali mendapat perlakuan seperti ini dari Ibu. Tapi tetap saja hatiku teriris.

"Ma, Suci mau makan." Suara Farah mengalihkan perhatianku. Anak itu datang bersama adiknya. Sepertinya mereka sudah lapar karena di rumah terbiasa sarapan pagi-pagi sekali.

"Ayo, kita ambil makanan. Dani juga sudah lapar, ya?" Aku beralih pada anak bungsuku yang berada dalam gendongan.

"Kasihan sekali anak-anaknya Teh Tami, mereka tidak pernah lihat daging dan makanan enak, ya? Jam segini sudah minta makan aja. Awas nanti sakit perut pulang dari sini." Tari mengakhiri kalimatnya dengan tertawa.

Mudah-mudahan saja anak-anakku tidak mengerti yang diucapkan tantenya. Sekarang lebih baik aku ajak ketiganya untuk sarapan. Meski ucapan Tari barusan cukup membuat dadaku bergetar, tapi aku tidak boleh mengabaikan hak anak-anakku.

***

Acara pengajian berlangsung dengan khidmat dan meriah. Sepanjang berlangsungnya acara, tak sekalipun aku pergi ke depan. Selain karena tidak memakai baju yang sama dengan Ibu dan Tari, aku juga takut anak-anakku mengganggu berlangsungnya acara tersebut.

Ketika mereka anteng bermain di ruang tengah, saat itulah aku akan membantu para tetangga yang bertugas mencuci piring atau mengambilkan sayur yang habis di meja perasman.

"Seharusnya Tami duduk di depan bersama Ibu, seperti yang dilakukan oleh Tari. Kalian berdua 'kan sama-sama anaknya." Bu Nur menyelutuk.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya bantu-bantu di sini saja. Nanti kalau saya duduk ke depan, anak-anak malah mengganggu berlangsungnya acara." Aku beralasan.

"Namanya juga anak-anak. Anaknya Tari juga di depan."

"Tapi anak-anaknya Tari asik main HP, jadi tidak akan lari ke sana kemari. Beda dengan anak-anak saya." Aku tersenyum samar. Meskipun dicoba untuk tenang, tetap saja dadaku berguncang jika mengingat perlakuan Ibu yang berbeda pada kami.

Lepas dzuhur pengajian berakhir. Para tamu undangan dan tetangga yang membantu di dapur semuanya sudah pulang. Tinggal aku, Bi Sunir dan Bu Nur yang bertugas membereskan halaman di mana tenda berdiri. Kami bertiga dengan sigap membereskan kursi plastik dan membersihkan sampah yang berserakan.

Setelah halaman bersih, kami beranjak ke dalam rumah dan dapur. Beruntung Dani sedang tidur dan dua kakaknya asyik bermain bersama anak-anak tetangga. Jadi aku dan dua orang ini bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat.

Ponsel di saku gamisku bergetar, tanda ada pesan yang masuk. Pasti itu dari Mas Akbar karena aku jarang berinteraksi dengan orang lain. Benar saja, ayah dari tiga anakku itu mengirimkan pesan.

[Kalau acaranya sudah selesai, kamu cepat pulang, Ma. Jangan pikirkan beres-beres atau omongan Ibu. Kamu harus istirahat. Kalau masih di rumah Ibu, Mas yakin gak bakalan bisa diam.]

Aku mengernyit. Karena tidak biasanya mas Akbar berkata seperti itu. Dulu, suamiku itu hanya memintaku untuk bersabar dan jangan melawan. Tapi kenapa kali ini seperti yang menginginkan aku berontak?

[Kenapa gak bales? Anak-anak mana?]

Karena aku tak kunjung membalas, Mas Akbar mengirimkan pesan selanjutnya.

[Aku sedang siap-siap mau pulang, Mas. Tapi nunggu Dani bangun dulu.]

Aku beralasan. Tapi soal Dani tidur, memang benar.

[Jangan capek-capek, ya!]

Kalimat itu kembali ditulis Mas Akbar. Aku mengiyakan lagi meski hati heran. Kusimpan ponsel ke dalam tas bersama baju anak-anak dan satu stel baju kotor milikku. Maksudnya jika Dani bangun, kami bisa segera pulang.

"Sudah mau pulang?"

Aku menengok ketika terdengar suara Ibu di belakangku.

"Iya, Bu."

"Bukannya mau nginap satu malam lagi?" tanya Ibu sambil menyipit.

Itu keinginan Ibu saja supaya aku menginap satu malam lagi. Tapi bukan karena beliau kangen pada cucu-cucunya, melainkan masih ada pekerjaan yang belum selesai. Halaman belakang belum selesai disapu. Ruang tengah dan ruang televisi juga belum dipel.

"Baju seragam anak-anak belum disetrika, Bu. Jadi aku harus pulang sekarang. Besok mereka sekolah." Menurutku itu alasan yang tepat.

"Awas saja kalau hanya alasan!"

Setelah itu Ibu pergi ke belakang. Perhatianku kembali beralih pada ponsel yang berbunyi. Setelah diliha, ada satu pesan masuk ke aplikasi dari Siska. Tidak biasanya Siska mengirim pesan padaku. Penasaran aku pun membukanya.

Mataku sontak terbelalak ketika melihat video yang dikirim oleh Siska dengan caption 'pantesan kirim uang banyak, ternyata ini pekerjaan Mas Akbar?'

Bersambung

.

.

Kira-kira video apa yang dikirim oleh Siska ya? Nantikan bab selanjutnya 😍🥰

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    42. Pov Lestari

    Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    41. Ambisi

    Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    40 Saras

    Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    39. Nama Wanita Lain

    Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    38. Pulang

    Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    37. Identitas Palsu

    Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status