Share

Chapter 4

“Camille!”

Camille menoleh dan melihat ke arah sumber suara. Seorang wanita berpenampilan mewah terlihat berjalan ke arahnya. Dari cara berpakaian dan caranya bersikap, Camille dapat menilai bahwa wanita itu adalah istri dari Duke. Di belakang wanita itu ada beberapa pelayan yang berjalan mengikutinya.

“Istri Duke? Dia terlihat sangat marah… Ada apa?”

 Wanita itu berhenti di hadapan Camille dan Ashe, ia menatap Camille dengan penuh amarah. Tapi saat ia melihat Ashe, tatapannya melunak dan seketika ia menunduk untuk memberi hormat.

“Salam, Yang Mulia. Apa putri saya merepotkan anda sampai anda harus mengantarnya pulang ke kediaman Duke Kranz? Saya akan menasehatinya jika memang itu yang terjadi. Maafkan putri saya, Yang Mulia.”

“Hm? Dia tidak melakukan kesalahan apapun, Nyonya. Memang itu adalah tanggung jawab saya untuk mengantar seorang gadis, terlebih lagi gadis seorang Duke yang begitu berpengaruh untuk pulang ke rumahnya.”

“Terima kasih yang sebesar-besarnya, Yang Mulia. Saya sangat berterima kasih. Camille! Jangan lupa ucapkan terima kasih pada Yang Mulia.”

“Terima kasih, Yang Mulia.” ujar Camille sambil membungkukkan badannya.

“Bukan masalah, Nyonya dan Nona Kranz. Kalau begitu saya izin pamit terlebih dulu.”

Camille dan istri Duke memberi hormat pada sang Pangern sebelum Ashe kembali menaiki kuda dan memacu kudanya kembali ke ibu kota. Setelah Ashe pergi, ibunya menatapnya dengan tajam.

“Ke dalam. Sekarang!”

Dua orang pelayan menahan tangannya dan membawanya masuk sampai ke sebuah ruangan yang terlihat seperti ruangan kerja. Di dalam ruangan itu, sang Nyonya Kranz berdiri di belakang meja sambil menatap keluar jendela.

“Nyonya Anna.”

Anna Kranz. Istri dari Duke Kranz. Baru kali ini ia melihat wajah istri dari kepala keluarga itu. Kedua pelayannya mendudukkan Camille di salah satu kursi yang ada di ruangan dan Anna menghampirinya.

“Katakan apa yang terjadi sampai kamu bisa bersama dengan pangeran?”

“Aku tidak sengaja bertemu dengannya dan ia memaksa untuk mengantarkanku pulang meskipun aku sudah menolaknya dengan mengatakan kalau aku bisa pulang sendiri.”

“Kapan kamu pergi ke kota? Kenapa kamu tidak mengatakan sepatah kata pun padaku?”

“M-Maaf…”

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Camille. Camille begitu terkejut dengan tamparan dari Anna. Sambil menahan rasa sakit, Camille memegang pipinya sendiri yang terasa panas dan perih. Ia melirik Anna yang sedang memelototinya.

“Bersyukurlah karena aku sedang bermurah hati.”

“Bermurah hati? Seperti ini disebut bermurah hati?”

Pipi Camille masih terasa sakit akibat dari tamparan itu.

“Sekarang, dengarkan aku baik-baik, gadis sialan.” ucap Anna sambil memegang dagu Camille dan menatapnya. “Jangan pernah terlibat hal apapun dengan para pangeran, terlebih lagi kalau aku melihatmu seperti tadi.”

Kemudian Anna mendekat ke telinga Camille dan berbisik padanya. “Karena apa yang terjadi di masa lalu akan terulang kalau kamu berani melanggar perintahku.”

“Sesuatu di masa lalu? Apa yang pernah terjadi pada Camille? Kenapa Anna begitu membencinya?”

Anna melambaikan tangannya pada para pelayan, “Bawa dia kembali ke kamarnya.”

“Baik, Nyonya.”

Camille kehabisan kata-kata, dia sungguh tidak tahu harus berkata apa untuk menghadapi Anna. Camille tidak bisa memberontak mengetahui bahwa Anna dapat melakukan apapun. Ia harus mempelajari mengenai kehidupan Camille dan keluarga Kranz sebelum dapat bertindak. Dengan pasrah, Camille dibawa menuju kamarnya dan pintu kamarnya langsung dikunci dari luar ketika ia sudah berada di dalam.

Camille masih terkejut dengan sikap Anna yang begitu kasar padanya. Camille menoleh ke luar jendela kamarnya dan matahari masih bersinar dengan terang. Ia mencoba untuk membuka jendela kamarnya tetapi jendelanya tidak dapat dibuka.

“Apa? Bahkan ia mengunci jendela kamarku? Luar biasa!”

Camille tidak menyangka Anna akan berbuat sejauh itu. Tidak ada jalan keluar selain menunggu hingga waktu yang tepat. Sambil menghabiskan waktu, Camille memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak mengenai kehidupannya sebelum Yena masuk ke tubuh Camille.

Ia membuka setiap lemari yang ada di kamar Camille, mengambil semua dokumen-dokumen, melihat setiap album foto yang Camille simpan di dalam lemari sampai akhirnya ia melihat sebuah buku berwarna coklat tua dengan sampul yang dikunci di dalam salah satu laci di kamar itu. Di samping buku itu ada sebuah kotak kecil yang juga dikunci. Camille mencari-cari dimana kuncinya dan selagi mencari ia melihat bentuk dari lubang kuncinya untuk memudahkan Camille untuk mencari kuncinya.

“Lubang kuncinya berbentuk bunga? Uniknya.”

Camille menyimpan kotak itu di meja riasnya dan sekilas ia melihat sebuah kalung dengan bandul berbentuk bunga yang persis seperti lubang kunci pada kotak kecil itu. Dengan hati-hati, Camille mengambil kalung itu dan menempelkan bandul pada lubang kunci berbentuk bunga pada kotak.

KLAK!

Kotak itu terbuka dan di dalamnya ada sebuah kunci berwarna perak dengan hiasan batu ruby berwarna merah. Camille mengambil kunci itu dan membuka buku berwarna coklat tua yang tadi ia temukan. Kunci pada buku itu terbuka dan saat Camille hendak membuka buku tersebut, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari balik pintu. Camille terkejut dan secepat mungkin menyembunyikan buku dan kotak itu di dalam laci meja riasnya dan pintu pun terbuka. Seorang pelayan membawakan nampan berisi makanan untuk Camille.

“Nona Camille, saya bawakan makan malamnya.”

“Terima kasih.”

“Anna masih cukup murah hati untuk memberikanku makan malam.”

Camille melihat pintu kamarnya terbuka dengan lebar dan seketika ia merasa bahwa itu adalah kesempatan emas baginya untuk bisa kabur dari rumah itu.

“Kesempatan! Aku harus menggunakan waktu ini dengan baik!”

Camille mengintip keluar dan ia melihat di depan kamarnya berdiri dua orang penjaga yang sedang berjaga seakan-akan tidak akan membiarkan Camille keluar dari kamar tanpa izin Anna. Melihat itu hilang sudah harapan Camille untuk bisa kabur. Setelah pelayan itu menaruh baki berisi makan malamnya di atas meja, pelayan itu segera keluar dari kamar Camille dan pintu kembali di kunci.

“Sial! Apa perlu sampai seperti ini?! Anna memperlakukanku bak tahanan yang tengah menjalani masa hukuman di penjara karena kejahatan berat!

Oh Camille, apa sebelum aku datang, kamu juga merasakan hal seperti ini?”

Camille mengambil kembali buku coklat itu dan membukanya. Tulisan yang kecil dan rapi memenuhi setiap lembar dari buku itu. Camille merasa apakah ia sudah melakukan sesuatu yang benar, terlebih lagi tanpa izin dari pemilik sesungguhnya untuk membaca sebuah buku diary.

“Maafkan aku, Camille yang sesungguhnya!”

Camille membaca lembar pertama dari buku diary itu.

‘Kamis, 20 Januari XXXX

Papa memberikanku sebuah buku ini sebagai hadiah karena aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi di sekolah bangsawan. Papa selalu berharap suatu hari nanti, aku dapat mengangkat nama keluarga Kranz.’

Sebuah senyuman terukir di wajahnya ketika ia membaca tulisan Camille kecil.

‘Minggu, 1 Desember XXXX

Nyonya menghukumku lagi karena kali ini aku memergokinya bersama seseorang berseragam. Dari penampilannya mungkin ia adalah utusan dari kerajaan. Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang begitu penting. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa Nyonya harus menghukumku karena hal itu?’

“Nyonya? Kenapa Camille memanggilnya Nyonya?”

Camille membuka halaman lain dari diary itu.

‘Selasa, 14 Februari XXXX

Papa mengajakku pergi ke istana untuk menghadiri pertemuan para bangsawan. Ini adalah kali pertama aku masuk ke istana! Aku baru mengetahui kalau Yang Mulia Raja dan Ratu memiliki dua orang putra karena selama ini yang selalu muncul adalah Pangeran Allen. Papa mengenalkan aku pada Pangeran Allen dan adiknya, Pangeran Ashe. Keduanya menyambutku dengan ramah tetapi Pangeran Allen terlihat jauh lebih ramah daripada Pangeran Ashe. Aku ingin bertemu lagi dengan mereka suatu hari nanti.’

“Jadi, Camille memang sudah mengenal Allen dan Ashe dari lama dan itu semua berkat ayahnya. Tapi Allen yang sekarang bukanlah Allen yang pernah Camille temui dulu.”

Camille kembali membaca lembaran lain dari diary itu.

‘Sabtu, 29 Juni XXXX

Seperti biasa, Yuri mencoba untuk menggagalkan apapun yang ingin aku raih. Memang benar dia bukan adik kandungku tapi aku selalu bersikap ramah dan baik padanya tapi inilah balasan yang selalu aku terima. Nyonya juga selalu membela Yuri dan meskipun ia tahu kalau itu semua adalah ulah Yuri, ia akan selalu membelanya. Aku hanya memiliki Papa dan dialah yang akan selalu melindungiku dari orang-orang ini. Sejak kejadian itu, aku belum pernah bertemu Allen lagi, bahkan mendengar namanya. Ada apa di istana? Apa tragedi itu luar biasa berdampak bagi Allen?’

Camille mencoba mencari di halaman-halaman sebelumnya mengenai tragedi yang dimaksud oleh Camille yang dulu tetapi tidak ada detail apapun mengenai sebuah tragedi. Apa yang pernah terjadi di masa lalu? Camille harus mencari tahu tragedi apa yang pernah terjadi.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan langkah kaki orang yang berlari dari luar rumah. Camille berdiri dan berjalan ke arah jendela untuk mengintip keluar dan dari kejauhan, ia melihat kepulan asap yang berasal dari kota dan juga langit berubah menjadi berwarna jingga. Telah terjadi kebakaran yang cukup besar di kota.

Camille berlari ke pintu dan menggedor-gedor pintu, meminta pintu itu untuk dibuka.

“BUKA PINTUNYA!”

“TOLONG BUKA! SESUATU TERJADI!”

Tapi tidak ada jawaban ataupun suara pintu dibuka. Penjaga yang berada di belakang pintu mengabaikannya. Kesal, Camille berusaha mengambil barang apapun dan ia lemparkan ke arah jendela dengan harapan kaca jendela itu dapat pecah.

Camille mengambil sebuah benda yang cukup berat dan melemparnya ke arah jendela dan tiba-tiba terdengar suara kaca pecah.

PRANG!!

Camille tersenyum puas ketika ia berhasil menghancurkan kaca jendela kamarnya. Camille menyingkirkan pecahan kaca yang kecil-kecil agar tidak melukai dirinya tapi di saat itu sebuah kaca melukai telapak tangannya.

“A-Ahh!”

 Darah segar mengalir keluar dari lukanya. Tanpa pikir panjang, Camille langsung mengambil sebuah kain dan membalut lukanya. Setelah memastikan tidak ada pecahan kaca yang tersisa, Camille keluar dari jendela kamarnya dan berdiri di pinggir jendela.

“Tinggi sekali…” ucapnya ketika Camille melihat ke bawah. Jarak antara tanah dan tempat ia berdiri cukup jauh. Camille memejamkan mata berusaha berpikir cara untuk turun tanpa mematahkan kakinya sendiri. Ia terduduk di pinggiran jendela dan merenung, memikirkan caranya.

“Bagaimana caranya… Aku tidak mungkin melompat begitu saja, bisa-bisa mati aku.”

Tiba-tiba seseorang memanggil namanya dan berteriak dari balik pagar.

“Nona! Jangan melompat!”

Camille melihat seorang pria tua yang melambai-lambai dan memberikan sinyal untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Camille menjawab pria itu,

“Tuan! Apa yang terjadi di sana?”

“Kebakaran hebat di gedung pertemuan para bangsawan, nona! Ayah anda juga ada di sana!”

Mendengar itu, Camille terkejut dan menjadi ketakutan.

“Nona! Jangan melompat ya! Saya harus kembali membantu orang-orang!”

“Terima kasih informasinya, tuan!”

Pria tua itu berlari kembali ke kota. Seketika Camille merasa tidak berdaya, ada dua orang penjaga yang berjaga di depan kamarnya sedangkan ayahnya mungkin saja dalam bahaya karena kebakaran itu. Tanpa pikir panjang, Camille berusaha untuk memanjat dinding rumahnya untuk turun. Tetapi tiba-tiba ia terpeleset dan yang ada di benaknya adalah ia akan mati sekarang.

Camille memejamkan matanya dan bersiap-siap untuk menghantam tanah. Tetapi setelah beberapa lama ia tidak juga merasakan rasa sakit atau hantaman pada tubuhnya. Di pinggangnya, Camille merasakan ada sepasang tangan yang melingkar dengan lembut. Camille membuka matanya dan di hadapannya ada seorang pria yang menatapnya dengan wajah khawatir.

“Apa kamu sudah gila?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status