Share

Chapter 5

“Camille! Apa kamu sudah gila?”

Camille begitu terkejut melihat Allen yang berada di hadapannya, menatapnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

“A-Allen?!”

Camille melirik ke bawah dan melihat dirinya melayang di atas permukaan tanah dan perlahan semakin menjauh dari permukaan tanah.

“Allen? Kenapa kita semakin naik?”

Saat Camille bertanya, Camille melihat di belakang Allen ada sebuah sayap berwarna hitam yang sangat indah. Jemari Camille bergerak untuk menyentuhnya, tatapannya bertemu dengan Allen dan Allen mengangguk seakan-akan memberikan Camille izin untuk menyentuh sayapnya.

Camille menyentuh sayap Allen dan sayap itu terasa sangat lembut. Ia tidak menyangka sayap seorang iblis ternyata begitu lembut dan halus.

“Camille.” panggil Allen. Suaranya menyadarkan Camille yang sedang terpesona akan sayap Allen. Ekspresi khawatir itu masih terlukis di wajahnya. “Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu membahayakan dirimu sendiri?”

“A-Aku…”

“Sebentar, biar aku turunkan kamu dulu” Mendengar itu Camille tiba-tiba menyadari bahwa bisa saja ada orang yang melihat mereka berdua melayang di udara dengan sayap Allen yang terbuka dengan lebar. Tetapi bukannya semakin turun, Allen malah membawanya menuju ke sebuah daerah yang terpencil. Setibanya di tempat itu, Allen menurunkan Camille dengan hati-hati.

“Allen! Bagaimana kalau ada orang yang melihatmu?”

“Mereka tidak akan bisa melihatku. Itu tidak penting. Camille, boleh aku lihat tanganmu?”

“Tanganku..?”

“Aku tahu kamu terluka.”

“E-Eh?”

Camille mengulurkan tangannya yang terluka dan Allen dengan berhati-hati membuka kain yang Camille gunakan untuk menutup lukanya. Luka itu terasa sangat sakit dan perih, saat diperhatikan lebih jelas, ia melihat luka yang dihasilkan oleh pecahan kaca itu terlihat cukup dalam.

“…” Allen hanya menatap luka itu tanpa mengatakan sepatah kata pun.  

“Allen?”

Tangan Allen memegang bagian yang terluka itu dan Camille langsung merasa kesakitan. Sesaat kemudian rasa sakit itu hilang dan ketika Allen melepaskan tangannya, luka yang ada di tangan Camille menghilang secara misterius.

“A-Apa yang terjadi? Bagaimana lukanya bisa hilang?”

Allen tidak menjawab pertanyaan Camille dan kali ini ia mendekatkan wajahnya ke telapak tangan Camille. Bibirnya menyentuh telapak tangan Camille dengan lembut, seketika pipi Camille merona. 

“Sudah tidak sakit lagi?”

“T-Tidak.”

“Lain kali, berhati-hatilah.”

“A-Aku akan hati-hati.”

Allen tersenyum lembut lalu ia mengangkat tangannya dan membelai pipi Camille.

“Allen! Bagaimana orang-orang tidak bisa melihatmu tadi?”

“Ra-ha-si-a~!”

Sebuah senyuman usil terukir di wajah Allen dan melihat senyuman itu membuat Camille cemberut.

“Tapi itu tidak penting. Kamu yang lebih penting. Kenapa kamu melakukan hal itu, memanjat dinding rumah?”

“Tidak ada cara lain untuk melarikan diri selain memecahkan jendela dan keluar dari sana. Ada dua orang berbadan besar, penjaga yang diperintahkan oleh Anna, berjaga di depan kamarku sampai Anna memperbolehkanku untuk keluar.”

“Camille. Kamu tidak akan bisa dihidupkan kembali untuk ketiga kalinya apabila kamu menyia-nyiakan hidupmu yang sekarang. Aku tidak akan bisa terus-menerus menyelamatkanmu apabila dalam bahaya.”

Mendengar itu Camille tiba-tiba teringat bahwa dirinya tidak menghubungi ataupun memanggil nama Allen, tetapi bagaimana bisa pemuda itu mengetahui bahwa Camille sedang dalam bahaya?

“Allen, bagaimana kamu tahu kalau aku sedang dalam bahaya?”

“Itu… Aku tidak bisa menjelaskannya, kamu tidak akan mengerti.”

“Coba saja, Allen.”

Allen menggelengkan kepalanya, menolak untuk menceritakan tetapi bagi Camille hal itu sangat aneh dan dia sangat ingin mengetahui caranya. Camille menyentuh tangan Allen dan menggenggamnya, ia menatap Allen dengan tatapan lembut.

“Allen, beritahu aku.”

“…”

Allen terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menghela nafas dan mulai berbicara.

“Ingatkah saat aku bilang akulah orang yang memberikanmu kehidupan kedua?”

“Iya, aku ingat.”

“Ada sebuah perjanjian yang aku buat dengan ayahku. Jiwa orang yang kuhidupkan kembali harus dijaga dengan baik dan tidak boleh disia-siakan. Menghidupkan kembali seseorang yang telah mati adalah hal yang dilarang tetapi saat aku melihatmu sekarat, entah mengapa dari dalam hatiku ada perasaan dimana aku tidak mau membiarkanmu mati.”  

“Allen…”

“Karena itu aku memaksa ayah untuk memberikanmu kehidupan kedua dengan sebuah syarat yang tidak bisa aku beritahu. Itu adalah sebuah rahasia yang tidak boleh diungkap sama sekali.”

“Aku mengerti.”

Mungkin ada sebuah perasaan kasihan dalam diri Allen ketika melihat Camille terbaring tidak berdaya bersimbah darah di tengah jalan. Hanya itu yang bisa Camille pikirkan, tidak ada kemungkinan lain selain itu. Tapi kalau memang karena rasa kasihan, kenapa hanya dirinya? Ada orang lain juga yang mungkin saja mengalami hal yang sama dengan Camille. Apa ini hanya kebetulan? Entahlah, Camille tidak ingin bertanya lebih jauh.

“Sekarang giliranmu untuk menjawab, Camille.”

Benar juga, Camille belum selesai menjelaskan pada Allen bagaimana bisa dia berakhir di keadaan seperti tadi.

“Aku melihat kebulan asap hitam yang berasal dari kota dan ketika sedang duduk di bingkai jendela, seorang pria tua memberitahuku bahwa di kota ada kebakaran besar di gedung pertemuan para bangsawan. Dia juga mengatakan kalau ayahku, maksudku Duke Kranz juga berada di sana. Saat itu aku merasa aku harus menyelamatkan ayahku karena… hanya dia yang begitu menyayangi Camille.”

Raut wajah Camille berubah murung, mengingat tidak ada orang lain lagi di keluarga Kranz yang menyayangi Camille selain ayahnya.

“Kebakaran? Oh itu.”

“Bagaimana bisa dia terdengar sangat tenang?!” ucap Camille dalam benaknya.

“Jangan khawatir, tidak ada korban jiwa.”

“Eh? Bagaimana kamu bisa tahu itu?”

“Aku seorang iblis. Aku bisa mengetahui kalau ada seseorang yang meninggal dunia.”

“Bagaimana dengan papa? Apa dia terluka?”

Allen menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu itu.”

Mendengar jawaban itu, Camille menghela nafas. Ia melihat sekitarnya dan tempat itu terasa asing baginya. Bagaimana ia bisa pergi ke kota dari tempat ini. Allen, seakan-akan bisa membaca pikirannya, mengulurkan tangannya.

“Kamu mau ke kota? Aku bisa mengantarmu.”

“Hm? Terbang lagi?”

“Tentu tidak. Ayo?”

Dengan ragu-ragu, Camille meraih tangan Allen dan keduanya berjalan menuju sebuah bangunan terdekat. Allen tanpa ragu menyentuh gagang pintu, “Allen?! Rumah siapa ini? Jangan seenaknya membuka pintu tanpa mengetuknya dulu.”

Allen tertawa mendengar ucapan Camille. “Kamu akan lihat nanti.”

Menghiraukan ucapan Camille, Allen membuka pintu itu dan membimbing Camille keluar dari pintu itu. Setelah keluar dari pintu itu, Camille terkejut bukan main. Ia berdiri di sebuah taman yang terletak dekat dengan lokasi kejadian. Asap hitam masih mengepul di udara tetapi sudah tidak ada tanda-tanda adanya api yang masih membara.

“Eh? Bagaimana bisa?” tanya Camille dengan kebingungan.

Allen tidak memberikan sebuah jawaban melainkan Allen hanya mengedipkan matanya pada Camille. Allen kemudian membawa Camille ke lokasi dan orang-orang yang ada di sana terkejut melihat kedatangan Allen. Semuanya langsung memberi hormat.

“Yang Mulia dan juga nona Kranz?”

Mereka bingung ketika melihat Camille yang berada bersama Allen.

“Apa yang terjadi?” tanya Allen pada seorang pemuda yang tengah membantu orang-orang yang terluka. Pemuda itu terkejut dan segera memberi hormat pada Allen.

“Yang Mulia, hari ini ada pertemuan bulanan yang biasa dilakukan oleh para kepala keluarga bangsawan dan tiba-tiba terdengar suara ledakan keras yang disusul dengan api yang membara dengan cepat.”

“Apa ini murni kecelakaan atau ada campur tangan seseorang?”

“Saya belum tahu itu, Yang Mulia, hanya saja beberapa orang mengaku melihat ada seseorang yang keluar masuk dari balai pertemuan.”

“Siapa orang itu?”

“Sebentar, Yang Mulia, akan saya panggilkan orang-orang tersebut yang melihat orang mencurigakan itu. Dan! Tolong gantikan aku sebentar!”

Seseorang yang bernama Dan segera berlari menggantikan pemuda itu dan langsung memberi hormat pada Allen.

“Permisi, Yang Mulia.”

“Tolong rawat mereka dengan baik.”

Camille memperhatikan setiap gerak-gerik Allen, cara Allen berbicara dan bersikap. Persis seperti seorang pangeran Allen yang sesungguhnya, bukan pangeran iblis. Sebuah senyuman terlukis di wajah Camille dan dia langsung memalingkan wajahnya ketika Allen berbalik badan menghadap Camille.

“Hm? Ada apa?”

“T-Tidak kok!”

“Sepertinya ada seseorang yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Aku akan menyuruh seseorang untuk menyelidikinya.”

“Bagaimana dengan papa? Dimana dia?”

Allen hampir lupa dengan itu. Segera Allen mengajak Camille mencari dimana para kepala keluarga berada. Seseorang cukup baik dan memberitahu mereka bahwa para kepala keluarga sudah dibawa ke rumah sakit yang berada tidak jauh dari sana.

“Allen! Ayo kita ke rumah sakit sekarang!”

Tanpa berpikir panjang, keduanya langsung bergegas pergi menuju rumah sakit. Para dokter dan perawat langsung menghampiri Allen dan memberi hormat padanya.

“Dimana Duke Kranz sekarang?”

“Yang Mulia! Tolong ikuti saya.” ucap seorang dokter dan mereka mengikuti sang dokter menuju tempat Duke Kranz.

Di sebuah ruangan VIP.

Sang dokter mengetuk lalu membuka pintu kamar itu, “Duke Fredericus Kranz? Permisi.”

Di dalam kamar itu, ada seorang pria tua berambut pirang seperti Camille, duduk di tempat tidur pasien sambil melihat keluar jendela. Ketika pintu terbuka, pria tua itu menoleh dan sangat terkejut mendapati Camille yang menatapnya dengan khawatir.

“Sosok ayah dari Camille Kranz. Dia terlihat sangat berbeda dari Anna.” batinnya.

“Camille?”

“Papa!”

Camille bergegas menghampiri Duke Kranz. Allen mengikutinya dari belakang lalu ia mengambil sebuah bangku dan memberikan bangku itu pada Camille.

“Yang Mulia!” Duke Kranz semakin terkejut ketika ia melihat sang pangeran juga ada bersama Camille.

“Duke. Bagaimana keadaannya?”

“Saya tidak apa-apa, Yang Mulia. Hanya saja para dokter meminta semua orang untuk tetap di rumah sakit sampai mereka memastikan semua orang dalam keadaan baik.”

“Bagaimana yang lainnya?”

“Entahlah, ada beberapa yang terkena luka bakar cukup serius. Beruntungnya saya hanya terluka sedikit di bagian lengan.”

“Papa…”

“Camille, bagaimana bisa kamu ada disini?”

“A-Aku…” Camille tidak tahu apa ia harus mengatakan pada Duke Kranz mengenai kejadian tadi, dimana ia memecahkan kaca untuk bisa keluar.

“Oh, tadi saya mengajak Camille untuk makan malam lalu dari balik jendela restoran, kita berdua melihat banyak orang berlari dengan panik. Lalu saya dengar dari beberapa orang bahwa ada kebakaran di gedung balai pertemuan para kepala keluarga.”

“Begitu ya… Apa keluarga saya yang lain tahu akan hal ini?”

“Saya yakin ada orang yang memberitahu mereka, Duke.”

“Terima kasih, Yang Mulia, telah mengajak putriku untuk makan malam.”

“Bukan masalah, Duke. Saya senang melalui makan malam ini, saya bisa mengenal Camille lebih jauh. Kalau begitu saya akan melihat keadaan-keadaan para kepala keluarga lain.”

“Yang Mulia! Biar saya antar keluar.” Duke Kranz hendak turun dari tempat tidurnya untuk mengantar Allen tetapi Camille menahannya sambil menggelengkan kepala.

“Biar Camille yang mengantarnya.”

Duke Kranz mengangguk lalu Camille pergi menghampiri Allen dan bersama-sama mereka menuju pintu kamar tersebut. Camille membukakan pintu untuk Allen dan Allen pun keluar dari kamar itu. Camille kembali ke sisi tempat tidur Duke Kranz dan duduk di sana.

“Camille…”

“Iya, papa?”

“Sepertinya kalian semakin dekat, eh?” goda Duke Kranz.

“Pa! Kita hanya makan malam saja sebagai teman, tidak lebih dari itu!”

Duke Kranz tertawa mendengar jawaban Camille. Tiba-tiba Duke Kranz terdiam lalu menunjuk ke arah jasnya yang tergantung di belakang pintu.

“Camille, tolong ambilkan jasku.”

Dengan segera Camille beranjak mengambil jas itu dan memberikan jas itu pada Duke Kranz. Duke Kranz lalu merogoh saku bagian dalam dari jas tersebut dan mengambil sebuah amplop lalu ia serahkan amplop itu pada Camille.

“Apa ini?”

Camille menerima amplop itu dan ia melihat sebuah segel dengan lambing yang kelihatannya seperti lambang kerajaan.

“Bukalah.”

Camille menatap Duke Kranz dengan ragu. Sebuah anggukan diberikan oleh sang Duke untuk meyakinkan Camille. Ia lalu membuka amplop itu dan di dalamnya ada sebuah undangan.

“Undangan Pesta Dansa ke-25. Kepada seluruh bangsawan yang ada di Kerajaan Sylle, diharapkan hadir di acara pesta dansa tahunan yang diadakan oleh Yang Mulia Raja Radulfus dan Yang Mulia Ratu Ela pada hari Sabtu pukul 6.”

Camille membaca undangan itu lalu menatap Duke Kranz.

“Sabtu itu… besok?”

“Iya, besok.”

“T-Tapi baru saja terjadi sebuah kebakaran di kota, apa istana tidak akan memundurkan acaranya?”

“Camille… Tidak mungkin Yang Mulia Raja akan memundurkan sebuah acara penting seperti itu. Bagaimana pun keadaannya, semua bangsawan HARUS datang.” Duke Kranz menekankan kata harus saat berbicara.

“Apa yang terjadi jika ada yang tidak datang?”

“Tidak ada yang tahu tetapi belum pernah ada yang berani menentang atau tidak menghadiri undangan dari istana.”

Sebelum Camille sempat bertanya lagi tiba-tiba pintu terbuka dan Allen kembali.

“Yang Mulia.” ucap Camille.

“Duke Kranz, Camille.”

“Bagaimana keadaan yang lainnya?” tanya Camille.

“Mereka semua dalam kondisi yang stabil. Saya sudah menyuruh orang untuk menyelidiki kejadian ini. Besok pagi semua orang sudah boleh pulang.”

“Syukurlah. Terima kasih, Yang Mulia karena telah mengunjungi kami semua disini. Camille, pulanglah, sudah terlalu larut.”

“Duke, izinkan saya mengantar Camille pulang.”

“M-Maaf merepotkan, Yang Mulia.”

“Sudah kewajiban saya untuk mengantar seorang gadis pulang setelah mengajaknya untuk pergi makan malam. Kalau begitu saya pamit terlebih dulu.”

“Papa… Sepertinya lebih baik aku disini menemanimu.”

“Tidak, Camille. Pulanglah, beritahu Anna dan Yuri bahwa papa akan pulang besok pagi.”

“Tapi…”

Duke Kranz menggelengkan kepalanya. Camille tidak ingin kembali ke rumah itu dan dikurung lagi di kamarnya. Tapi apa yang bisa dia perbuat? Tidak ada. Dengan pasrah Camille bersama Allen keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju kediaman Kranz.

“Allen…” panggil Camille tiba-tiba. “Aku tidak mau pulang.”

“Tidak ada tempat lagi yang bisa kamu tuju, Camille. Apa kamu mau membuat Duke khawatir?”

“Lagi pula aku tidak bisa masuk begitu saja lewat pintu depan. Anna tidak tahu kalau aku kabur dari rumah lewat jendela.”

“Aku bisa membawamu kembali ke kamar tanpa harus melewati pintu depan.”

Camille teringat bahwa Allen bisa terbang dengan sayapnya. Tapi Camille benar-benar tidak ingin pulang dan dikunci di dalam kamarnya sampai entah kapan.

“Ayo, Camille.”

Camille terdiam lalu menatap Allen dengan tatapan memelas, berharap pemuda itu tergerak hatinya dan merasa kasihan padanya tapi sepertinya itu tidak berlaku pada sang pangeran. Sambil cemberut, Camille kembali berjalan menuju kediaman Kranz.

 Setibanya di kediaman Kranz.

Camille menatap jendela kamarnya sambil menghela nafas. Allen mengeluarkan sayapnya dan dengan tiba-tiba ia langsung menggendong Camille. Sontak Camille melingkarkan lengannya di leher Allen dan perlahan Allen membawanya kembali ke kamar.

Setibanya di dalam kamar, Allen dengan lembut membaringkan Camille di atas kasurnya. Meskipun sudah berbaring, Camille belum mau melepaskan lengannya dari Allen. Allen menatap Camille dengan bingung.

“Camille?”

“Allen… Apa aku tidak boleh tinggal di tempat lain selain tempat ini?”

“Memangnya kamu mau tinggal dimana?”

“Entahlah. Selain itu, kenapa aku harus hidup kembali di tubuh Camille Kranz? Apa sebelumnya kamu tidak mencari tahu mengenai Camille Kranz?” tanya Camille sambil cemberut.

Melihat Camille seperti itu, Allen tidak dapat menahan senyumnya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Camille. Pipi Camille seketika merona dibuatnya.

“Bisakah kamu tidak membuat wajah seperti itu?”

“K-Kenapa memangnya?”

“Aku jadi tidak bisa menahan diri.”

“M-Menahan diri? Apa yang akan ia lakukan?” seketika Camille menjadi panik dan ia langsung memalingkan wajahnya.

Tangan Allen dengan lembut mengelus pipinya dan Camille seakan-akan tersihir untuk melihat ke arah Allen yang bergerak semakin dekat. Bibir Allen nyaris menyentuh bibirnya dan Camille memejamkan matanya, siap apabila Allen menempelkan bibirnya pada bibir Camille. Tidak terjadi apa-apa. Camille membuka matanya pelan-pelan dan melihat Allen yang tengah memandanginya sambil menahan tawa.

“Kamu…!”

Camille tidak melanjutkan ucapannya karena bibirnya terkunci dengan bibir Allen. Bibir Allen terasa sangat lembut dan wajah Camille seketika memanas. Tiba-tiba Camille mendengar suara langkah kaki di depan kamarnya dan suara langkah kaki itu semakin dekat. Sontak Camille langsung mendorong Allen menjauh dan menunjuk ke arah pintu. Terdengar suara kunci pintu yang dibuka dan Anna masuk ke dalam kamar Camille sambil berteriak.

“Camille!!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status