Share

Demi Bella

Quin masih menunggu Bella yang sibuk menelpon keluarganya yang ada di Seatle, berdasarkan penjelasan singkat yang diberikan Bella padanya.

Penyakit jantung mr Robert—ayah Bella—kambuh setelah para debt collector berusaha menghancurkan pabrik percetakan milik keluar Bella.

Bella merasa sangat menyesal karena dia tak mau apapun tentang utang ataupun masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Setiap kali dia berkomunikasi dengan orang tua maupun adiknya, tak pernah sedikitpun keluarga Bella berkeluh kesah tentang permasalahan yang mereka alami. Sebaliknya mereka justru meminta Bella untuk tidak memikirkan apapun dan fokus pada mimpinya.

Inilah yang paling membuat manajer Quin itu kecewa. Bella merasa pecundang, karena setelah ini pun dia tidak tahu harus melakukan apa. Bella tak punya cukup uang untuk menyelamatkan pabrik percetakan keluarga, juga biaya operasi ayahnya yang cukup besar jelas membuat Bella khawatir. Dari mana dia bisa mendapatkan jutaan dollar dalam sekejap?

"Quin…" mendengar Bella menyerukan namanya, Quin bergegas bangkit dari duduknya menghampiri sahabatnya yang tampak sangat kacau. Air matanya bahkan seolah tak ingin berhenti meluncur meski matanya sudah sangat bengkak.

"What-what should i do? Da--daddy?" pacah sudah pertahanan Quin yang berusaha dia tahan sejak tadi, kini Quin sudah ikut menangis bersama dengan Bella. 

Mereka hanya berpelukan dengan isakan yang bersahut-sahutan. Tak ada satupun kata-kata penguat yang lebih baik dari dekapan hangat untuk memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja, walaupun kini Quin juga sudah tidak bisa lagi berpikir lebih positif terhadap apapun yang terjadi kedepannya.

****

"Aku...aku harus pulang ke Seatle!" Quin terlihat hendak ingin mengatakan sesuatu sebelum Bella memotongnya terlebih dahulu.

"Kau tetap di sini!" katanya tegas membuat Quin membulatkan matanya tak terima. 

Bagaimana mungkin dia membiarkan Bella mengatasi semuanya sendirian. Dan meskipun mr. Robert bukanlah ayahnya, keluarga Bella sudah seperti keluarnya sendiri. Quin begitu menghormati dan sudah menganggap mr. Robert layaknya ayahnya sendiri.

"Aku berjanji akan kembali ke sini. Meskipun mungkin butuh waktu yang tidak sebentar aku pasti kembali." Bella berusaha memberikan keyakinan pada Quin bahwa dia bisa menyelesaikan masalah keluarganya sendiri, dan bahwa apapun yang terjadi dia akan kembali untuk mimpinya dan Quin.

"Tapi ini masalah serius Bell, where you can get the money? Jumlahnya bukan sedikit. Kalau aku ikut, aku bisa membantumu bertemu beberapa kenalanku untuk meminjam beberapa dollar." 

Meski terdengar menjanjikan, Bella tidak bisa membiarkan Quin ikut terlibat dengan permasalahan keluarganya. Tidak...karena Bella tau pasti, Quin sudah menderita karena banyak hal, dan Bella tak ingin menambah beban pada sahabatnya lagi.

"Kau tidak perlu khawatir. I can handle this!"

"You can't!" bantah Quin cepat.

"I can!"

"You can't, berhenti berlagak kuat Bell, aku tau aku juga tidak bisa langsung membantumu, tapi biarkan setidaknya aku ikut melakukan sesuatu Bell!" Quin mendesah keras. Matanya menunjukkan keseriusan pada setiap penekanan kata yang dia ucapkan, namun Bella tetap pada pendiriannya.

"Bella?"

Bella menggelang ribut, kalau biasanya suara memohon Quin selalu bisa membuatnya luluh, kali ini Bella mengeraskan hatinya untuk tidak terpengaruh.

"You stay, i promise you--Everything gonna be okay. Just stay and wait for me." Quin tidak bisa untuk tidak kembali menangis keras, meski Bella mengatakan bahwa dia akan kembali—Quin justru merasa perkataan Bella layaknya kalimat perpisahan yang biasa diucapkan dalam sebuah roman picisan.

*****

"Wow… lihat siapa yang bertamu?" Quin rasanya sudah ingin memaki ketika lagi-lagi kalimat angkuh itu keluar dari mulut lelaki di hadapannya. 

Demi Neptunus, Quin juga enggan berhadapan lagi dengan orang ini dan dengan situasi yang membuatnya harus menekan harga dirinya tinggi-tinggi.

Semua demi Bella!!

"Hai...long time no see, i guess?" sahutnya berbasa-basi.

"Belum terlalu lama nona kurang terkenal," Quin bisa melihat dengan jelas senyuman miring meremehkan khas milik Lucas, tapi masa bodoh. Quin perlu sesuatu untuk membantu temannya maka dia akan bertahan.

"Jadi ada perlu apa?" Lucas—lelaki itu harus Quin akui memang memiliki paras bak pahatan patung seorang seniman hebat. Tiada cacat, sangat tampan.

"Sampai kapan kau mau berdiam diri mengagumi ketampanan yang ku miliki."

"Oh kau benar-benar sialan sekali," Lucas terkekeh puas karena akhirnya wanita yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu ini kembali pada wajah aslinya—tidak lagi menampilkan senyum bodoh seperti para penjilat yang selalu menginginkan sesuatu dari dirinya.

" -tapi bukan itu yang ingin ku sampaikan. Mr Lucas Alexander ayo pacaran denganku!" 

Meski Lucas sudah tau kalau Quin itu sedikit berbeda dari kebanyakan perempuan yang dikenalnya, Lucas tidak tahu kalau perempuan ini, segila ini!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status