Share

5. Kesedihan Paman

Alin baru saja selesai membuka toko jualan snack-nya. Telpnya berdering dari debt collector yang mengingatkan tanggal jatuh tempo pembayaran pinjamannya. Debt collector ini menelpon tidak kenal waktu dan sehari bisa sampai sepuluh kali telpon masuk dari nomor yang berbeda. Jika di jawab selalu suara operator yang berbicara.

"Siapa Lin? Kok ga di jawab?" tanya pak Rustam, Paman Alin yang baru saja datang ke toko Alin ingin minum kopi herbal yang dititipin Aisyah untuk di jual di toko Alin.

"Uhm, salah sambung," jawab Alin sekenanya.

Hp Alin kembali berdering dari nomor yang berbeda dan layar ponselnya terlihat merah yang berarti itu adalah telpon dari nomor debt collector lagi. Alin segera mematikan namun terlambat, pak Rustam sudah terlanjur melihatnya.

"Telp debt collector ya? Kamu minjam online?" cecar pak Rustam menatap Alin lekat-lekat.

"Enggak. Pinjaman yang sebelumnya sudah mau jatuh tempo dua hari lagi. Jadi tiga hari sebelum jatuh tempo, akan ada telpon pengingat seperti tadi. Sehari bisa beberapa kali dari nomor yang berbeda," jelas Alin pada akhirnya.

Alin memang tidak pernah menceritakan pada pamannya soal kondisi keuangannya, semuanya dia putuskan sendiri. Jadi dia juga yang akan mempertanggungjawabkannya sendiri.

"Itu karena kamu ga jawab kali! Cobalah jawab dan jelaskan keadaan kamu pada mereka,"

"Pernah di jawab tapi operator yang berbicara. Kita tidak bisa menjelaskan keadaan kita sama sekali. Kita hanya bisa mendengar tidak bisa berbicara,"

Alin sebenarnya tidak ingin membahas mengenai ini dengan Pamannya karena hanya akan menambah keruwetan paginya. Berpura-pura semuanya baik-baik saja adalah yang selalu Alin lakukan agar hatinya tidak terlalu sedih dan emosinya naik.

"Astaghfirullah ...Alin!" hanya itu yang bisa terlontar dari mulut pak Rustam.

"Maaf ..."

Inilah yang sebenarnya Alin tidak ingin Pamannya tahu kalau dia melakukan pinjaman online. Pamannya pasti marah dan sedih. Alin hanya bisa menunduk, menyembunyikan airmatanya yang berlinang. Alin tidak sanggup betapa murkanya Pamannya saat ini meskipun tidak ada kata-kata makian ataupun cacian yang keluar dari mulutnya.

Sungguh Alin merasa tidak punya pilihan dari kesalahan yang coba-coba dia lakukan.

Alin tahu, sangat tahu jika pinjaman online bukan solusi yang tepat untuk membantu keuangannya. Pinjaman online dengan bunga tinggi yang sangat mencekik bahkan bisa membuat orang yang terkena jeratannya melakukan bunuh diri. Belum lagi teror ketakutan dari debt colletor. 

Alin sangat tahu hal itu karena beberapa tahun sebelumnya Alin bahkan tergabung dalam group donasi yang khusus memberikan bantuan untuk para korban pinjaman online. Mirisnya sekarang Alin sendiri yang menjadi korban.

"Berapa total pinjaman onlinemu? Itu riba Alin! Kamu tau 'kan larangan keras untuk riba dalam agama kita?" tanya pak Rustam kemudian setelah beberapa menit terdiam.

Alin mengatakan jumlah total dari beberapa aplikasi yang dia pakai untuk pinjaman online.

"Astaghfirullah ..."

Berulang kali terdengar dari mulut Paman Alin yang tidak habis pikir akan keponakannya yang kok bisa-bisanya dia melakukan pinjaman online.

"Seiji ada kabarnya? Ga bisa kamu telpon dia? Minta uang padanya, kalian ada Sean. Setidaknya dia bisa mengirimkan uang untuk biaya sekolah Sean,"

"Ga ada kabarnya. Telponnya tidak tersambung,"

"Kamu melakukan kesalahan?" Paman Alin tahu betapa sayangnya Matsuyama Seiji pada Alin dan dia juga pria yang bertanggung jawab meskipun Alin dijadikan istri kedua olehnya tapi tidak mengurangi perhatiannya pada keponakannya itu.

Orangtua Alin sudah meninggal sejak dia bayi. Pak Rustam, satu-satunya paman Alin, membawanya datang ke Jakarta setelah Alin selesai menamatkan Pendidikan Menengah Atasnya di kampung.

Jika bukan karena Alin yang melakukan kesalahan, rasanya tidak mungkin seorang Matsuyama Seiji akan sampai menelantarkan Alin dan anaknya di Jakarta.

"Uhm!" Alin hanya ber 'uhm' menjawab pertanyaan pamannya.

"Uhm? Bener kamu membuat kesalahan?" Paman Alin semakin tidak habis pikir dengan Alin.

"Seiji dari dulu suka menyuruhku cari pacar atau pria lain biar aku ga jadi istri kedua katanya. Entah puluhan kali ngomongnya ga jauh-jauh dari situ. Bosan dengarnya dan aku juga ga mikir yang aneh-aneh juga dulu,"

"Trus ...masalahnya apa?"

"Pas Alin dekat dengan Buyung, Alin bilang kalau Alin sudah punya pacar,"

"Astagfirullah Alin ...kamu tuh bodoh ya? Bisa aja kan itu Seiji nguji kamu secara kalian jarang ketemu dan dia jarang pulang juga ke sini," Paman Alin istighfar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Alin kan bosan, ga becanda atau serius ...Seiji nyuruh Alin cari pacar. Ya udah deh sekalian Alin kasih tau dan kirim photo berdua Buyung ke dia, biar dia puas!"

"Iyah, saking puasnya dia jadi nelantarin kalian! Mana tuh Buyung, dia juga nikah sama cewe lain kan? Tinggalin kamu. Alin ...Alin! Kirain pintar, ternyata ...ach sudahlah ..."

"Biarinlah, emang udah jalanNYA kali kaya gini," Alin berusaha cuek, airmata yang tadi sempat mengenang. Kering kembali karena membahas pria yang sudah membuatnya menjadi wanita bodoh.

"Sekarang gimana rencanamu?

"Lunasin hutang pinjaman online ini. Berisik banget tiap hari ganggu ingetin bayar cicilannya,"

"Ya iyalah! Pinjaman online itu kan ganas-ganas loh debt collectornya. Udahlah, kamu udah makan?"

"Udah," jawab Alin singkat. Airmatanya kembali menggenang hanya dengan pertanyaan kecil bentuk perhatian pamannya itu.

"Makan apa?" duh pake nanya itu lagi, dada Alin benar-benar terasa sesak mau menjawab apa pada Pamannya itu.

"Makan gorengan ama minum teh," sahut Alin sambil tertawa yang tidak lucu sama sekali.

"Kontrak rumah sama toko udah bayar?"

"Blom ada duitnya,"

"Ya dah, ntar klo Paman dapat arisan, kasih kamu! Kamu bantu promosiin toko Paman yang kosong itu, ntar 20 persen dari harga jual buat kamu. Nanti malam suruh Sean ke toko Paman, beli beras dan buat masak kalian. Paman ke toko dulu,"

Alin tahu keadaan toko juga sangat sepi sekarang bukan hanya toko Pamannya saja tapi merata ke yang lainnya juga. Pembeli hanya sedikit yang datang ke pertokoan.

"Halo Nona Alin ..." sapa seorang pria yang sudah pernah bertemu dengan Alin sebelumnya.

"Och, hai mas Daffa ...apa kabar mas?" jawab Alin dengan wajah ceria.

"Alhamdulillah kabar baik. Nona Alin bagaimana keadaannya? Masih lemas?"

"Alhamdulillah sudah baikan. Sudah biasa kaya gitu juga sih mas, jadi ga papa! Bagaimana kabar teman mas Daffa?"

Sebulan telah berlalu sejak Alin mendonorkan darahnya ke Sky Yuan waktu itu.

"Dia juga sudah baikan! Teman saya ingin bertemu dengan Nona Alin, apakah Nona ada waktu?" Daffa merasa sangat nyaman melihat wajah ceria Alin dan senyumnya yang manis dan tulus tidak di buat-buat.

"Kapan mas?" Alin mempersilakan Daffa untuk masuk dan duduk di dalam toko kecilnya.

"Sekarang! Bisakah?" Daffa memperhatikan Alin sibuk melayani pembeli yang membeli snack di tokonya.

"Apa mas, sekarang?" bola mata Alin membulat menatap Daffa yang seakan tenggelam dalam danau coklat hazel netra Alin.

"Ehm ...iya, sekarang,"

Daffa berdehem menyadarkan dirinya agar tidak bersaing dengan Sky Yuan karena Daffa sangat yakin bos nya itu pasti sudah jatuh cinta pada Alin meskipun belum bertemu langsung. Kalau tidak, untuk apa seorang Sky Yuan mau repot-repot untuk bertemu Alin dengan menyamar ke jakarta kembali setelah penembakan yang dia alami. 

Meskipun begitu, jantung Daffa sudah menari-nari seakan mau loncat ke luar dadanya hanya dengan berdua bersama Alin seperti ini.

"Baiklah. Aku tutup dulu tokonya sebentar. Ga lama kan mas?"

"Beliau mengatakan ingin berterima kasih pada Nona Alin secara pribadi. Ku rasa tidak akan lama,"

"Kan waktu itu mas Daffa sudah kasih aku bayaran. Banyak loh! Apa ga usah aja ya mas? Aku kan ga jual darah. Sudah biasa juga kalau donor darah sekali tiga bulan. Ga usah ya aja mas Daf, ga usah ketemu teman mas Daffa,"

Alin merasa tidak enak hati karena dia membantu tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun. Cukup berharap pada Tuhan saja untuk mempermudah segala urusannya.

"Lebih baik ketemu aja! Sapa tau nanti berpapasan di jalan, 'kan bisa tegur sapa kalau sudah kenal. Yuk, aku bantu tutup tokonya,"

Alin pun akhirnya mengangguk menuruti namun Daffa bukannya senang malah merasa kuatir di hatinya yang dia tutupi dengan senyuman.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ulyana
wkwkwwk hahaha
goodnovel comment avatar
Mah_ai
Bambang Daffa sama aku aja mau gak? aku anak satu juga wkwkkwk tapi punya suami.........
goodnovel comment avatar
Arief Mixagrip
mantaf gaes
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status