Share

Kegaduhan dalam Resepsi

Waktu telah berganti. Namun, bayangan menjijikkan Fay dan anaknya yang bisa saja sudah tumbuh dalam rahim tidak juga hilang. Aku harus berpura-pura tak terjadi apa pun di depan Gus Bed dengan bahagia. Layaknya pengantin baru.

Semoga saja kehamilan benar tidak datang di tahun pertama, agar Fay tak mengira ini anaknya dan terus menerorku.

Tuhan, kebohongan ini sungguh menyiksa. Sampai kapan aku terus dihantui rasa takut seperti sekarang?

"Tidak, Li! Kamu tidak boleh lemah."

Setelah frustasi dengan pesan yang Fay kirim, aku memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi. Dengan atau tanpa izin Gus. Kuharap memang belum ada pembuahan dalam rahim.

Tak membuang waktu kutekan kontak temanku 'Shinta' yang kini berprofesi sebagai seorang bidan.

[Shin, lo bisa ke pesantren malam ini. Gue butuh bantuan lo buat pasang KB.]

Tak berapa lama Shinta membalas.

[Boleh, Li. Jam berapa?]

Cepat aku membalas.

[Habis magrib aja, ya, Shin. Tolong jangan bilang siapa-siapa tujuan kamu nemuin aku. Tar aku ceritain.]

[Oke]

Maaf, Gus. Semua ini demi masa depan kita.

Kubuang napas kasar, aku telah membohongi diriku sendiri. Mungkin ini bukan demi kami, tapi hanya demi aku yang takut kehilangannya.

___________

"Adek, sedang apa?" Suara itu menyentak. Suara yang hadir bersamaan bau wangi yang menguar masuk ke indra penciuman. Aku menyukai bau ini.

Saat menoleh, Gus Bed sudah berdiri membungkuk. Entah, sejak kapan ada di sana. Tak ada salam atau pun ketukan pintu, apa karena aku tak mendengar lantaran pikiran ini melayang ke mana-mana?

"Loh, kiraen lagi beberes. Kok malah banyak kertas berserakan di sini."

"Astagfirullah!" Mataku melotot melihat banyak serpihan kertas di lantai. Makalah mahasiswaku hancur separuh halamannya. Mati aku! Baru juga ngajar selama satu semester, Pak Setto pasti akan memberi teguran kalau sampai tahu kejadian ini.

Maksud hati sekalian cuti kuselesaikan tugas dari kampus, malah tugas mereka jadi korban kalalaianku. Kebiasaan burukku kambuh. Menghancurkan benda-benda tak bersalah tanpa sadar.

Beginilah hidup dengan dusta. Aku selalu was-was dan membayangkan yang tidak-tidak. Ini semua karena kamu, Fay!

"Em. Maaf, Bang," pintaku lemas.

Menyesal. Pasti Gus Bed berpikir tidak-tidak tentang istrinya. Jangan sampai ia berpikir istrinya seorang psikopat yang suka tak sadar dengan perbuatannya.

"Kok minta maaf sama Abang, minta maafnya sama yang dihancurin ini," ledek Gus Bed, ia tersenyum sampai kelihatan sedikit gigi yang putihnya yang berjejer rapi.

"Sini biar abang bantu beresin. Apa ada masalah sampai Adek ngelamun begini?"

"Ah, ndak ada," jawabku cepat. "Mungkin kena sydrom pengantin baru. Hehe."

"Syndrom pengantin baru?" Gus menelengkan kepala seperti tampak berpikir. Entahlah, apa yang ada di kepalanya. Aku hanya refleks menjawab dengan asal.

Pria itu berjongkok memungut satu persatu banyaknya kertas dan serpihannya yang berserak di lantai kamar.

"Apa ini tugas mahasiswa, Adek?" Sejenak pria itu memperhatikan judul makalah dan lambang universitas di sampulnya.

"Iya." Segera kubereskan sebelum Gus membenahi semua yang harusnya menjadi tugasku.

"Abang masih ndak nyangka bakal punya istri dosen," ucapnya dengan mata menggoda.

"Apalagi Adek, lebih ndak percaya menikah sama calon kiai besar, ganteng pula."

"Duh, bucin. Hahaha."

"Hahaha." Tawa kecil kami bersahutan sementara tangan kami sibuk membereskan makalah dan serpihan kertas yang berserak.

"Ya, sudah. Sebaiknya Adek istirahat, besok adalah resepsi yang melelahkan." Tangannya mengacak pelan rambutku.

"Enjeh, Sayang." Aku berbalik merapikan buku-buku ke lemari.

"Hem, dah berani panggil, Sayang. Alamat ndak jadi istirahat, nih." Tangan Gus malah memeluk dari belakang dengan tangan melingkar di perutku. Ia berbisik mesra, tersenyum memberi kode.

Gus, mana bisa aku menolakmu?

_________

Resepsi digelar. Halaman luas rumah Kiai Abdullah yang menyatu dengan halaman masjid dan kantor pesantren dipadati manusia. Seperti sebelumnya, tamu laki-laki dipisahkan dengan perempuan. Aku yang didandani seperti ratu tak mendapatkan kunjungan dari tamu pria, kecuali kerabat dekat.

Ibu duduk menemaniku di pelaminan. Sedang Umi agak berjauhan menyambut tamu wanita yang akan menyalamiku.

"Apa Fay mengganggumu, Nduk?" bisik Ibu. Ia pasti penasaran apa saja yang kualami selama berpisah dengan mereka.

Aku menggeleng. Tidak lagi mau menambah beban pikiran Ibu dengan pesan laknat yang datang dari Fay.

"Ndak, Bu. Tenang saja."

"Kemarin Indra ngamuk-ngamuk. Dia mau cari tahu rumah Fay dan akan memberi pelajaran. Untung Ibu bisa menenangkannya. Semua demi kamu, Nduk. Kami menahan diri meski marah luar biasa, agar Gus dan keluarga Kiai Abdullah tidak curiga."

"Em. Iya, Bu. Makasih. Maaf Li sudah banyak merepotkan kalian." Ah, bicara begini saja aku ingin menangis.

"Oya, Bu. Gus ngajak bulan madu ke Belanda." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan agar tak larut dalam pikiran.

"Wah, jauh sekali ke Belanda."

"Iya, mau bareng Bude Arina katanya?"

"Ibu Arina? Ibunya Fay?"

Aku mengangguk. "Ibu tenang saja, sejauh ini Gus tidak menyebut kalau Fay juga ikut serta."

"Yah, bagus kalau begitu." Ibu mendesah lega.

Obrolan kami berhenti, saat Ning Aishwa datang dengan gadis bernama Raudah. Ya Allah, kenapa gadis itu selalu dekat-dekat dengan keluarga Gus. Aku tadi juga melihat bagaimana ia disambut hangat oleh Umi Aisyah.

Menit kemudian mereka duduk di sampingku untuk ikut menemani.

"MaasyaAllah, cantik sekali Njenengan, Mbak," puji Raudah memegang pundakku.

"Makasih."

Tentu saja dia akrab dengan orang lain, sikapnya saja seramah ini. Jika aku pria pasti akan jatuh cinta padanya. Itu kenapa meski tak melihat Gus bertemu dengannya mendengar mereka satu angkatan saja sudah membuatku cemburu.

"Kenal di mana sama Gus dulu?" tanyanya begitu saja. Tak tahu kenapa aku tak suka dengan pertanyaan itu.

"Em, di kampus."

"Wah, tempat yang bagus untuk bertemu. Gus memang sangat mencintai pendidikan. Mungkin itu alasannya memilih Mbak. Dia tidak mungkin memilih wanita dari luar pesantren jika tak ada kelebihan dalam hal itu. Ning Aishwa bilang Mbak juga berprestasi saat masih jadi mahasiswi," sebutnya panjang lebar.

Ya Tuhan, kenapa dia bicara seolah sangat tahu tentang Gus. Bikin dadaku tambah panas saja. Ingin sekali aku katakan padanya, jangan membahas Gus Bed-ku, karena itu membuat aku cemburu.

"Em, ya. Sebenarnya saya mahasiswi biasa-biasa saja," ucapku merendah.

Tak ada gunanya membanggakan prestasi di depan orang lain. Menurutku itu bukannya membuat nilai kita naik di hadapan orang lain, tapi justru menjatuhkannya. Mereka akan memandang ilfeel pada kita.

"Ah, Mbak rendah hati sekali."

"Kami bertemu karena jodoh." Ucapanku seperti membuatnya terkejut.

"Hem?"

"Mau seperti apa pun lika-liku yang kami hadapi, karena jodoh maka Allah pertemukan," sambungku lagi.

"Ah, ya benar." Raudah kini tersenyum seperti tengah dipaksakan.

"Maaf, kalau boleh tau, mungkin kah Mbak Raudah pernah dekat dengan Gus. Em, maksud saya, Mbak seperti sangat mengenal Gus. Sementara saya tau sangat menjaga pergaulannya."

Ya Tuhan, meledak juga yang kutahan-tahan. Semoga pertanyaan ini tampak wajar baginya.

"Oh. Soal itu ... sebaiknya Mbak tanya sendiri sama Gus. Saya tidak mau dianggap berbohong atau terkesan mengganggu." Raudah mulai bicara dengan nada canggung. Ini aneh sekali. Kenapa sikapnya seperti itu?

Aku sampai bingung bagaimana meresponnya.

"Em, maaf Mbak. Saya ke belakang dulu bantu-bantu di dapur." Ia berdiri dan berpamitan seperti sedang salah tingkah.

Pasti karena pertanyaanku tadi. Apa dia baper?

Suara ramai dari arah tamu-tamu ikhwan membuat perhatianku dan semua orang beralih ke sana.

"Ada apa?"

Aku sampai berdiri karena penasaran apa yang terjadi di sana.

"Duduk lah, Li! Biar ibu melihatnya." Ibu akhirnya turun dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Rasanya tidak lucu jika terjadi perkelahian di tengah hajat keluarga pesantren. Semoga saja bukan keributan karena perkelahian.

Belum juga Ibu kembali, Bude Arina yang keluar dari dalam rumah berjalan cepat, mengomel dengan suara tinggi.

"Oalah ... Fay, kenapa lagi kamu bikin ulah di acara Paklekmu!?"

Fay? Bikin ulah. Mungkin kah dia berkelahi dengan Mas Indra atau justru dengan Gus Bed?

Bersambung

Sudah baca cerita author yang lain? ?

Ayuk buruan subcribe sudah ada yang tamat juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status