Berbagai macam kejadian mulai bermunculan di benak.
'Mas Indra yang tidak bisa mengendalikan diri dan memukuli Fay. Lalu keduanya adu mulut dan rahasiaku terbongkar di depan semua orang.''Fay tidak terima atas pernikahanku, lalu dia cari gara-gara dengan menceritakan semuanya pada semua orang, lalu Gus Bed tak terima dan bertengkar dengan Fay.''Atau yang paling ringan .... Fay mabuk dan menyerang Gus atau siapa pun sambil berteriak bahwa dia telah meniduriku.'Ah, Fay kamu benar-benar membuatku snewen setiap harinya!Raudah dan beberapa santri yang memegang urusan konsumsi sampai ikut ke luar dari tenda dan berdiri bersama tamu lain di kain pembatas antara laki-laki dan perempuan. Aku sangat penasaran dan takut sekaligus. Kalau saja tanpa dandanan ini, aku sudah berlari ke arah mereka dan membantah semua ucapan Fay.Namun, apa daya? Aku seorang pengantin yang didandani sedemikian rupa cantiknya, hingga akan jadi fitnah jika keluar dan dipandang semua lelaki yang bukan mahram.Sabar Li ... sabar ... tetaplah berada di tempatmu. Bumimu berpijak sekarang adalah tempat teraman untuk melindungi kehormatanmu!'Sholallah ala Muhammad sholallah ala Muhammad sholallah ala Muhammad'Ya Allah berkat sholawat jauhkan hamba dari petaka besar hari ini. Betapa aib yang menimpaku akan menjadi sejarah buruk dan panjang di pesantren Darul Falah. Nama baik Kiai Abdullah, keluarga dan pesantren seketika akan ternoda, jika Fay membuka mulutnya.Jantung ini terpompa lebih cepat dari biasa. Detaknya tak bisa kukendalikan sesuai mauku. Meski kutenang-tenangkan hati.Aku harus siap dengan kemungkinan terburuk. Menguatkan hati dan menerima takdir Rabbul Izzati."Huft, syukurlah bisa di atasi." Seseorang mendesah lega menjauhi kerumunan."Alhamdulillah. Ada-ada saja.""Itu dia bilang si penganten wanitanya ndak beres."Deg. Penganten wanita? Aku kah? Jangan-jangan benar Fay mengatakannya pada semua orang?"Kok bisa ada tamu begitu di sini, untungnya bukan santri."Racau orang-orang itu tidak membuatku cukup puas. Disusul yang lain, mereka menjauhi kerumunan hingga suasana kembali tenang seperti semula.Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih berdiri dengan gelisah sampai Ibu datang."Dasar anak itu di mana-mana cari masalah," omel Ibu yang sudah duduk di dekatku. Ia kibas tangan, mungkin karena kepanasan berdesakan dengan orang-orang tadi."Benar, Fay, Bu?" tanyaku yang penasaran."Iya, siapa lagi? Kalau bukan karena kamu Li, Ibu sudah polisikan dia," geram Ibu."Memangnya kenapa, Bu? Maksud Li, apa yang dia lakukan tadi?" tanyaku ingin memperjelasnya. Ah, mana bisa kubuang rasa penasaran ini begitu saja. Apalagi orang-orang itu sempat menyebut penganten wanita yang ndak bener."Nah, itu, Nduk. Ndak jelas masalahnya."Aku mendesah panjang kecewa. Kukira setelah mengomel ke sana ke mari Ibu sudah ngeuh pada kasusnya."Ya sudah nanti saja, Li tanya Gus. Kita-kita yang di sini pasti ndak ada yang paham. Dan mereka tidak mungkin berspekulasi sendiri yang akan jadi fitnah di pesantren. Li, tahu betul karakter penduduk pesantren Bu.""Iya, Li. Itu kenapa Ibu memintamu terus maju. Pesantren ini adalah lingkungan terbaik, orang tua seperti Ibu pasti menginginkan putrinya bahagia di tempat terbaik. Karena masyarakat yang mengerti Islam tidak akan mudah bicara sesuatu yang jauh dari pengetahuan mereka."Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Ibu. Baru saja aku akan memeluknya, seorang santri menghampiriku."Mbak.""Ya?""Njenengan dipanggil sama Gus." Santriwati itu menunjuk pada Gus yang berdiri di ujung pembatas. Ia lambaikan tangannya ke arahku.Duh, ada apa ya? Apa ini soal keributan tadi?Tak membuang waktu, aku bangkit berpamitan pada Ibu dan meninggalkan tamu-tamu yang akan menyalami kemudian.Aku berjalan dengan hati-hati, lantaran gaun yang kukenakan nyaris lebih satu hasta dari biasa lebarnya. Dari kejauhan, wajah Gus tampak gelisah. Ada apa ini ya Allah? Kenapa aku punya firasat buruk untuk ini?Langkahku semakin dekat dan dekat."Gus," sapaku yang bahkan tak berani memanggil dengan panggilan kesayangan seperti biasa."Hem?" Gus Bed menoleh. Detik kemudian dua sudut bibirnya naik. Gus tersenyum ... Ya Rabb. Alhamdulillah. Berarti tidak ada masalah."Ada apa?""Abang lapar, Dek. Ayuk temenin." Pria itu menggenggam jemariku meninggalkan semua orang melangkah masuk ke rumah.Tidak ada kegiatan di dalam rumah, kecuali orang-orang tertentu yang punya keperluan.Kami duduk di ruang tamu. Makanan sudah disediakan untuk kami. Mereka sangat jeli, setiap detailnya. Termasuk keperluan sepasang pengantin. Karena memang acara ini sudah disiapkan sedemikian rupa."Makanlah dulu, Dek. Abang tau Adek pasti juga lapar. Kita kan makan sedikit tadi pagi." Pria itu menyuapkan nasi ke mulutku.MaasyaAllah, sweet banget sih kamu Gus. Sikap manisnya membuatku semakin yakin, bahwa aku akan memperjuangkan dan melindungi pernikahan kami sampai titik darah penghabisan. Biar lah setiap hari spot jantung, asal terus bisa di sisi Gus Bed yang kebaikannya melelehkan hatiku.Lagi, kudustai diri sendiri.Sejujurnya yang kuharap adalah ketenangan. Jauh dari was-was dan ketakutan rahasiaku akan terbongkar. Tapi, aku juga tak siap mengatakan semuanya pada Gus Bed.Lebih baik seperti ini.Was-was dan tetap bersamanya daripada berpisah sama sekali. Aku yakin sakitnya tak terperi, dan aku tak yakin akan kuat dengan itu."Em, oya Bang. Tadi ada apa ribut-ribut?""Em. Oyah abang lupa. Abang juga mau cerita itu pada Adek." Gus bicara sambil sesekali menelan makanannya."Ya sudah habiskan yang di mulut itu. Ndak enk dilihat, gantengnya jadi kurang satu ons."Pria itu tersenyum. Ia raih gelas mineral yang kusiapkan dengan sedotannya."Itu si Fay, Dek. Nonjok temen Adek.""Temen?" Mataku sampai menyipit karenanya."Siapa sih, em tadi Kang Fay nyebut namanya Doddy.""Oh ya dia dulu temen SMA-ku, Bang. Sekarang kerja di Bank seberang kampus. Emangnya dia bilang apa sampai sepupu Abang marah?" Ah, aku sangat penasaran. Tak kusia-siakan kesempatan bertanya padanya."Yah, dia bilang 'ndak nyangka anak Kiai Abdullah nikah sama cewek pecandu narkoba, mana gaulnya bebas.' Fay ndak terima kali, sebagai saudara dan sepupu Abang, pengantinnya dihina.""Oya?" Aku tak menyangka sekaligus syok. Untuk apa Fay membiarkan dirinya jadi pusat perhatian hanya demi aku? Ah, mau sebaik apapun dia tetap saja sumber malapetaka dalam hidupku.Di sisi lain, aku sedih dan malu sekaligus, Gus Bed pasti malu karena itu."Abang pasti sangat malu, ya?""Ya ndak lah, Sayang. Kan abang sudah jelaskan kemarin-kemarin, manusia itu berproses. Dia hanya ndak tau aja, bebas bukan berarti Adek menyerahkan semua milik Adek pada pria lain. Abang sangat percaya orang baik akan Allah jodohkan dengan orang baik. Hem?" Pria itu mengangkat dua alisnya memberi penegasan padaku."Dan perlu Adek tau abang juga punya masa lalu, bukankah tugas kita sekarang menyongsong masa depan dan meninggalkan masa lalu sebagai pelajaran."Nah, aku juga penasaran seperti apa masa lalu Gus? Mungkinkah Raudah adalah bagian dari masa lalunya, melihat dari keanehan gadis itu saat menjawab pertanyaanku tadi. Tapi, bukankah tak etis membahas itu sekarang, karena objeknya adalah aku yang menjadi noda dalam keluarganya.Meski niatnya untuk menghibur, tetap saja kata-katanya seperti sembilu yang menyayat-nyayat hati. Dia bahkan mengira aku sebaik itu. Aku tersenyum miris dengan mata yang sudah memanas karena ucapannya."Maafkan adek, Bang." Airmataku jatuh satu-satu tanpa suara. Gus sampai berhenti mengunyah."Lho Dek. Kan abang bilang ndak papa, kenapa malah nangis? Sudah hayo jangan nangis, nanti hilang make-upya. Mahal itu loh."Aku tersenyum di ujung kalimat yang ia lontarkan.Gus, bisa aja kamu menghiburku. Aku bisa tersenyum karenamu, meski hatiku tengah remuk karena masa lalu.Sedang asik dengan obrolan kami, Bude Arina masuk dengan membawa serta Fay. Ya Rabb, aku sampai hampir jantungan dibuatnya. Tapi seperti biasa, aku harus mengendalikan diri di hadapan pria itu. Semakin aku lemah dia akan semakin semena-mena."Eh, Kang makasih soal tadi. Wah, kalau aku denger langsung tak seret keluar orangnya tadi." Gus bicara begitu saja saat melihat sosok Fay. Sedang aku sama sekali tak menatapnya."Ya, santai Bro. Ente mah jangan gaduh, soal bikin keributan serahkan ke ane!" Fay menepuk dadanya.Pandai sekali musang itu bersandiwara! Apa gunanya membelaku di depan orang tapi mengahncurkanku di belakang mereka?...Segini dulu besok sambung lagi donk?Ayo tap lope dan koment2 biar semangat nerusin. đđjangan lupa baca cerita Wafa Farha yang lain ya......"Loh, tole di sini." Kiai Abdullah masuk dan menyapa begitu melihat Fay."Hehe, iya Paklek. Kata Mama malu anaknya jadi pusat perhatian.""Yah, biasalah ... namanya orang banyak, pasti punya pikiran lain. Dan itu resikonya orang hijrah." Kini Kiai melihat padaku, hingga aku tersenyum tipis merespon ucapan Abah Yai.Betapa baik keluarga ini, mereka bisa menerima apa yang terjadi di masa laluku. Entah, jika keluarga lain, mereka pasti malu saat pengantinnya dihina di depan semua orang. Mungkin kah, jika aku jujur nanti mereka juga akan memaafkanku dan tetap menerima sebagai bagian dari keluarga?"Li juga kudu sabar. Tidak menutup kemungkinan suatu hari akan ada yang mengungkitnya lagi." Nasehat ayah mertua kini ditujukan padaku. Kuanggukkan kepala untuk menghormatinya."Ya wes, Rifay. Paklek mau masuk dulu." Pria yang rambutnya mulai beruban itu memegang pundak Fay sebentar lalu meneruskan tujuannya masuk ke rumah."Nggeh, Paklek.""Loh, Abah mau nyari apa? Biar Ubed bantu." Gus baru bu
"Yakin, ndak mau dijemput?" Gus Bed bertanya menggoda. Kenapa sikap pria berkulit putih bersih itu selalu membuatku senyum-senyum begini? Rasanya tubuhku selalu panas ada di dekatnya, padahal AC menyala sepanjang jalan.Sudah lebih sepuluh menit mobil yang kami tumpangi berhenti di parkiran universitas, tapi aku tidak juga turun. Entahlah, berat sekali perpisahan ini. Padahal cuma mau pisah beberapa jam. Apa ini alasan Dilan bilang kalau rindu itu berat? Tapi buatku lebih dari itu, rindu itu sangat teramat berat, lebih untuk kami yang baru halal seperti ini. Kebersamaan yang baru dimulai selepas akad. Sama-sama menjaga diri dari apa pun aktifitas yang mendekati zina. Kami menahan-nahan seperti layaknya tengah berpuasa, begitu berbuka bahagia dan nikmatnya tak terkira."Iya, nanti biar Adek naik taksi. Kan Abang katanya mau ikut nyimak pengajian Abah Yai di majlis Kiai Hanafi. Ndak enak kalau belum selesai pulang duluan.""Ya udah sana turun!" titahnya seperti merajuk. Duh, menggema
Mendengar dengkuran kecil, kualihkan tangan kekar Gus Bed yang melingkar di perut perlahan. Sepertinya dia sudah lelap dalam tidur. Sampai kugerakan-gerakan tapak tangan di depan wajahnya untuk memastikan.Menyerupai maling, diam-diam meraih pakaian luar lingerie, lantaran hawa terlalu dingin. Lebih setelah lepas dari selimut dan tubuh hangat Gus Bed. Lalu mengambil ponsel sebelum masuk ke kamar mandi. Agar aman tak mendapat gangguan dari suami, atau tertangkap basah tengah menelepon seseorang, pintu kukunci.Kutekan sebuah kontak atas nama 'Shinta'. Tadinya aku mau sabar sampai besok. Ke apotik terdekat untuk membeli tes pack, untuk mengetahui apakah yang kualami datang bulan atau implantasi karena hamil? Tapi aku tak sabar dan dipenuhi kekhawatiran. Setidaknya aku harus tenang sebelum tidur.Tak lama panggilan tersambung dan seseorang mengangkatnya."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Suara di seberang sana terdengar sedikit serak. Sepertinya perempuan berusia 25 tahun itu baru te
Ini hanya soal waktu Ibu. Semua akan terbongkar seiring berjalannya waktu yang kulalui bersama kekasihku. Jika saja hari itu aku memilihi jujur, perasaanku mungkin belum sebesar sekarang pada Gus Ubaidillah. Hingga rasa sakit kehilangannya tidak akan membuat terluka lebih dalam.Namun, semua sudah terjadi. Masa lalu tak bisa diubah meski kita memilihnya sekali pun. Aku tak bisa menyalahkan Ibu. Sebab, wanita yang melahirkan dan membesarkanku hanya menginginkan kebaikan untuk putrinya.Bukan hanya perut mual, kepala juga terasa sedikit berputar. Ada apa ini? Perasaan datang bulan yang kujalani selama ini tidak semenyakitkan sekarang. "Adek ndak papa? Masuk angin mungkin," ucapnya cemas. Tangan kiri Gus bergerak memegang pundakku lalu beralih mematikan AC dan membuka kaca mobil sedikit, memberi ruang oksigen untuk masuk.Aku mengangguk sambil menutup mulut karena mual."Iya, akhir-akhir ini kita sering begadang malam." Ucapan itu mengingatkan bahwa aktivitas malam kami memang menyita b
"Hamil?" Gus tersentak. Ia memandangku setelah sempat menoleh pada Fay. Detik kemudian, senyum terbentuk di bibirnya. Gus Bed pasti senang aku hamil. Tapi, apa jadinya jika yang kukandung adalah anak Fay dan dia mengetahui itu?"Wah, MaasyaAllah. Cepat sekali ...." Tangan kanan Bude memegangi pundakku, sementara tangan lain memegangi perut."Tapi kan Adek datang bulan." Gus menimpali kemudian."Oh." Wajah Fay meredup. Syukurlah, ucapan Gus menghancurkan dugaannya. Apa kamu sangat ingin aku hamil anakmu, Fay? Jika iya, kamu sungguh di luar batas. "Em, ya. Li sedang datang bulan Bude. Hehe." Aku meringis senang."Ouh, jadi datang bulan. Kalau begitu mungkin sedang masuk angin kali." Bude berasumsi. "Ya, sudah. Lebih baik kita masuk sekarang. Barusan sudah ada panggilan.""Ya, Bude." Gus Bed setuju, ia lalu memegangi dua pundakku dan merangkulnya sembil berjalan. Lalu pria itu menyempatkan berpamitan pada Fay."Mari Kang, kami pergi dulu.""Ya." Fay menjawab singkat sembari meraih tan
Ya Rabb ... bagaimana hamba akan menghadapi rasa bersalah yang makin besar ini? Apalagi yang bisa kulakukan sekarang selain memohon belas kasihMu, meratap atas banyaknya kesalahan dan dosa yang membuatMu murka ....Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis. Air mata yang terus saja luruh tanpa bisa kubendung barang setetes. Bagaimana jika ini adalah anak Fay? Apa yang akan kukatakan pada Gus Bed saat ia tahu anak dalam kandunganku bukan anaknya?Bagaimana juga caraku menghadapi Fay? Aku yakin dia tak akan tinggal diam begitu tahu aku tengah hamil anaknya."Mau kakak bikinin anak berapa, Li?" tanya Fay yang hari itu memelukku dalam posisi duduk. Aku yang duduk di pangkuannya, menelengkan kepala menggodanya. "Yang banyak ... sampai rumah kita penuh dengan anak-anak."Kami duduk di bawah pohon rindang di pagar belakang kampus. Tempat yang biasa kugunakan 'ngisep' narkoba dengan teman-temanku kini jadi tempat favorit kami menghabiskan waktu bersama."Banyak? Emang sanggup ngel
"Excuse me ...." (permisi)Suara seorang cabin crew datang mengejutkan. Kami sontak menoleh."Please don't make a fuss," sambungnya lagi.Lagi dan lagi. Ini seperti kebetulan yang diatur oleh Tuhan. Setiap kali aku akan bicara, ada saja sesuatu yang menahannya.Mungkin kah memang aku harus menutupnya rapat-rapat ya, Allah? Setidaknya itulah yang kuyakini sekarang. Aku seperti mendapat teguran dari sisi diriku yang lain, aib yang sudah Allah tutup rapat malah akan kubuka sendiri. Belum tentu anak yang kukandung anaknya Fay, mengingat KB yang kupasang sehari setelah akad. Dalam waktu itu aku sudah berkali-kali melakukan hubungan suami istri dengan Gus Bed."Oh, okay. Sorry." Gus Bed menyahut."Ayo, Dek. Adek dengar 'kan kita mengganggu orang lain di sini." Kini Gus mengajakku kembali ke kursi dengan mengarahkan tangannya ke sana."Can I help you, Mister?" (Bisakah aku membantumu, Pak?) Wanita berseragam seksi itu menawarkan bantuan."Are you sick, Miss?" (Anda sakit, Bu?) Belum lagi G
Apa yang sebenarnya terjadi, Gus? Jika kamu punya masa lalu, tak berkenan kah bercerita padaku?Apa karena masa lalu itu juga Gus Bed bisa menerima semua keburukan di masa laluku sebagai gadis bebas pecandu narkoba? Ya, bisa jadi.Jujur saja aku sangat penasaran wanita mana yang sempat singgah di hatinya? Apa mereka juga melakukan hal yang aku dan Fay lakukan? Karena jodoh itu adalah cermin. Jika kita tak bisa menjaga diri, maka jodoh kita yang bahkan belum bertemu, juga tidak menjaga diri.Nyeri. Cemburu. Itu lah dua kata menggambarkan hatiku sekarang. Aku menyesal dulu terlalu bebas dan berpacaran. Aku takut Gus pun berlaku hal yang sama di masa lalu.Pria yang sudah mengangkut koper-koper dari bagian bagasi itu mendekat. Sedikit pun tak tampak lelah di wajahnya. Kenapa binar selalu menghias wajah tampanmu, Gus? Belum pernah sekali saja terlihat gurat beban di sana.Yah, aku pasti salah paham. Gusku tidak mungkin seburuk aku. Kutekan prasangka itu kuat-kuat. Meski nanti ada waktuny