Share

Sholu Alaa Muhammad

Berbagai macam kejadian mulai bermunculan di benak.

'Mas Indra yang tidak bisa mengendalikan diri dan memukuli Fay. Lalu keduanya adu mulut dan rahasiaku terbongkar di depan semua orang.'

'Fay tidak terima atas pernikahanku, lalu dia cari gara-gara dengan menceritakan semuanya pada semua orang, lalu Gus Bed tak terima dan bertengkar dengan Fay.'

'Atau yang paling ringan .... Fay mabuk dan menyerang Gus atau siapa pun sambil berteriak bahwa dia telah meniduriku.'

Ah, Fay kamu benar-benar membuatku snewen setiap harinya!

Raudah dan beberapa santri yang memegang urusan konsumsi sampai ikut ke luar dari tenda dan berdiri bersama tamu lain di kain pembatas antara laki-laki dan perempuan. Aku sangat penasaran dan takut sekaligus. Kalau saja tanpa dandanan ini, aku sudah berlari ke arah mereka dan membantah semua ucapan Fay.

Namun, apa daya? Aku seorang pengantin yang didandani sedemikian rupa cantiknya, hingga akan jadi fitnah jika keluar dan dipandang semua lelaki yang bukan mahram.

Sabar Li ... sabar ... tetaplah berada di tempatmu. Bumimu berpijak sekarang adalah tempat teraman untuk melindungi kehormatanmu!

'Sholallah ala Muhammad sholallah ala Muhammad sholallah ala Muhammad'

Ya Allah berkat sholawat jauhkan hamba dari petaka besar hari ini. Betapa aib yang menimpaku akan menjadi sejarah buruk dan panjang di pesantren Darul Falah. Nama baik Kiai Abdullah, keluarga dan pesantren seketika akan ternoda, jika Fay membuka mulutnya.

Jantung ini terpompa lebih cepat dari biasa. Detaknya tak bisa kukendalikan sesuai mauku. Meski kutenang-tenangkan hati.

Aku harus siap dengan kemungkinan terburuk. Menguatkan hati dan menerima takdir Rabbul Izzati.

"Huft, syukurlah bisa di atasi." Seseorang mendesah lega menjauhi kerumunan.

"Alhamdulillah. Ada-ada saja."

"Itu dia bilang si penganten wanitanya ndak beres."

Deg. Penganten wanita? Aku kah? Jangan-jangan benar Fay mengatakannya pada semua orang?

"Kok bisa ada tamu begitu di sini, untungnya bukan santri."

Racau orang-orang itu tidak membuatku cukup puas. Disusul yang lain, mereka menjauhi kerumunan hingga suasana kembali tenang seperti semula.

Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih berdiri dengan gelisah sampai Ibu datang.

"Dasar anak itu di mana-mana cari masalah," omel Ibu yang sudah duduk di dekatku. Ia kibas tangan, mungkin karena kepanasan berdesakan dengan orang-orang tadi.

"Benar, Fay, Bu?" tanyaku yang penasaran.

"Iya, siapa lagi? Kalau bukan karena kamu Li, Ibu sudah polisikan dia," geram Ibu.

"Memangnya kenapa, Bu? Maksud Li, apa yang dia lakukan tadi?" tanyaku ingin memperjelasnya. Ah, mana bisa kubuang rasa penasaran ini begitu saja. Apalagi orang-orang itu sempat menyebut penganten wanita yang ndak bener.

"Nah, itu, Nduk. Ndak jelas masalahnya."

Aku mendesah panjang kecewa. Kukira setelah mengomel ke sana ke mari Ibu sudah ngeuh pada kasusnya.

"Ya sudah nanti saja, Li tanya Gus. Kita-kita yang di sini pasti ndak ada yang paham. Dan mereka tidak mungkin berspekulasi sendiri yang akan jadi fitnah di pesantren. Li, tahu betul karakter penduduk pesantren Bu."

"Iya, Li. Itu kenapa Ibu memintamu terus maju. Pesantren ini adalah lingkungan terbaik, orang tua seperti Ibu pasti menginginkan putrinya bahagia di tempat terbaik. Karena masyarakat yang mengerti Islam tidak akan mudah bicara sesuatu yang jauh dari pengetahuan mereka."

Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Ibu. Baru saja aku akan memeluknya, seorang santri menghampiriku.

"Mbak."

"Ya?"

"Njenengan dipanggil sama Gus." Santriwati itu menunjuk pada Gus yang berdiri di ujung pembatas. Ia lambaikan tangannya ke arahku.

Duh, ada apa ya? Apa ini soal keributan tadi?

Tak membuang waktu, aku bangkit berpamitan pada Ibu dan meninggalkan tamu-tamu yang akan menyalami kemudian.

Aku berjalan dengan hati-hati, lantaran gaun yang kukenakan nyaris lebih satu hasta dari biasa lebarnya. Dari kejauhan, wajah Gus tampak gelisah. Ada apa ini ya Allah? Kenapa aku punya firasat buruk untuk ini?

Langkahku semakin dekat dan dekat.

"Gus," sapaku yang bahkan tak berani memanggil dengan panggilan kesayangan seperti biasa.

"Hem?" Gus Bed menoleh. Detik kemudian dua sudut bibirnya naik. Gus tersenyum ... Ya Rabb. Alhamdulillah. Berarti tidak ada masalah.

"Ada apa?"

"Abang lapar, Dek. Ayuk temenin." Pria itu menggenggam jemariku meninggalkan semua orang melangkah masuk ke rumah.

Tidak ada kegiatan di dalam rumah, kecuali orang-orang tertentu yang punya keperluan.

Kami duduk di ruang tamu. Makanan sudah disediakan untuk kami. Mereka sangat jeli, setiap detailnya. Termasuk keperluan sepasang pengantin. Karena memang acara ini sudah disiapkan sedemikian rupa.

"Makanlah dulu, Dek. Abang tau Adek pasti juga lapar. Kita kan makan sedikit tadi pagi." Pria itu menyuapkan nasi ke mulutku.

MaasyaAllah, sweet banget sih kamu Gus. Sikap manisnya membuatku semakin yakin, bahwa aku akan memperjuangkan dan melindungi pernikahan kami sampai titik darah penghabisan. Biar lah setiap hari spot jantung, asal terus bisa di sisi Gus Bed yang kebaikannya melelehkan hatiku.

Lagi, kudustai diri sendiri.

Sejujurnya yang kuharap adalah ketenangan. Jauh dari was-was dan ketakutan rahasiaku akan terbongkar. Tapi, aku juga tak siap mengatakan semuanya pada Gus Bed.

Lebih baik seperti ini.

Was-was dan tetap bersamanya daripada berpisah sama sekali. Aku yakin sakitnya tak terperi, dan aku tak yakin akan kuat dengan itu.

"Em, oya Bang. Tadi ada apa ribut-ribut?"

"Em. Oyah abang lupa. Abang juga mau cerita itu pada Adek." Gus bicara sambil sesekali menelan makanannya.

"Ya sudah habiskan yang di mulut itu. Ndak enk dilihat, gantengnya jadi kurang satu ons."

Pria itu tersenyum. Ia raih gelas mineral yang kusiapkan dengan sedotannya.

"Itu si Fay, Dek. Nonjok temen Adek."

"Temen?" Mataku sampai menyipit karenanya.

"Siapa sih, em tadi Kang Fay nyebut namanya Doddy."

"Oh ya dia dulu temen SMA-ku, Bang. Sekarang kerja di Bank seberang kampus. Emangnya dia bilang apa sampai sepupu Abang marah?" Ah, aku sangat penasaran. Tak kusia-siakan kesempatan bertanya padanya.

"Yah, dia bilang 'ndak nyangka anak Kiai Abdullah nikah sama cewek pecandu narkoba, mana gaulnya bebas.' Fay ndak terima kali, sebagai saudara dan sepupu Abang, pengantinnya dihina."

"Oya?" Aku tak menyangka sekaligus syok. Untuk apa Fay membiarkan dirinya jadi pusat perhatian hanya demi aku? Ah, mau sebaik apapun dia tetap saja sumber malapetaka dalam hidupku.

Di sisi lain, aku sedih dan malu sekaligus, Gus Bed pasti malu karena itu.

"Abang pasti sangat malu, ya?"

"Ya ndak lah, Sayang. Kan abang sudah jelaskan kemarin-kemarin, manusia itu berproses. Dia hanya ndak tau aja, bebas bukan berarti Adek menyerahkan semua milik Adek pada pria lain. Abang sangat percaya orang baik akan Allah jodohkan dengan orang baik. Hem?" Pria itu mengangkat dua alisnya memberi penegasan padaku.

"Dan perlu Adek tau abang juga punya masa lalu, bukankah tugas kita sekarang menyongsong masa depan dan meninggalkan masa lalu sebagai pelajaran."

Nah, aku juga penasaran seperti apa masa lalu Gus? Mungkinkah Raudah adalah bagian dari masa lalunya, melihat dari keanehan gadis itu saat menjawab pertanyaanku tadi. Tapi, bukankah tak etis membahas itu sekarang, karena objeknya adalah aku yang menjadi noda dalam keluarganya.

Meski niatnya untuk menghibur, tetap saja kata-katanya seperti sembilu yang menyayat-nyayat hati. Dia bahkan mengira aku sebaik itu. Aku tersenyum miris dengan mata yang sudah memanas karena ucapannya.

"Maafkan adek, Bang." Airmataku jatuh satu-satu tanpa suara. Gus sampai berhenti mengunyah.

"Lho Dek. Kan abang bilang ndak papa, kenapa malah nangis? Sudah hayo jangan nangis, nanti hilang make-upya. Mahal itu loh."

Aku tersenyum di ujung kalimat yang ia lontarkan.

Gus, bisa aja kamu menghiburku. Aku bisa tersenyum karenamu, meski hatiku tengah remuk karena masa lalu.

Sedang asik dengan obrolan kami, Bude Arina masuk dengan membawa serta Fay. Ya Rabb, aku sampai hampir jantungan dibuatnya. Tapi seperti biasa, aku harus mengendalikan diri di hadapan pria itu. Semakin aku lemah dia akan semakin semena-mena.

"Eh, Kang makasih soal tadi. Wah, kalau aku denger langsung tak seret keluar orangnya tadi." Gus bicara begitu saja saat melihat sosok Fay. Sedang aku sama sekali tak menatapnya.

"Ya, santai Bro. Ente mah jangan gaduh, soal bikin keributan serahkan ke ane!" Fay menepuk dadanya.

Pandai sekali musang itu bersandiwara! Apa gunanya membelaku di depan orang tapi mengahncurkanku di belakang mereka?

.

.

.

Segini dulu besok sambung lagi donk?

Ayo tap lope dan koment2 biar semangat nerusin. 😍🙏

jangan lupa baca cerita Wafa Farha yang lain ya......

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Loveyou24 Sunshine
...️ lanjut lagi klu boleh cepat² siapkan dan jangan panjang² cerita nya
goodnovel comment avatar
Bibiana Bili
nice cerita merasa penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status