Share

Malam Pertama

Malam P

(4)

"Dek ...."

"Ya, Bang."

Tuhan ... beri hamba kekuatan menerima apa pun keputusannya. Kepada siapa lagi aku berharap? Bukankah makhluk adalah tempat bersandar yang lemah?

Pria yang kini hanya mengenakan sarung dan kaus oblong putih tipis itu menolehkan kepala. Dari samping hidung bangirnya mendominasi pandanganku. Pipi putih bersih ditumbuhi jenggot halus. Betapa paripurna ciptaan Allah itu? Fisik rupawan dengan akhlak menawan.

Bukankah wajar jika aku mati-matian berusaha menutupi kejadian sebelumnya?

Tak lama meluncur pernyataan dari bibirnya. "Maafkan, abang, ya."

Maaf? Apa? Apa aku tak salah dengar? Kenapa maaf kata yang keluar dari mulutnya? Harusnya ia murka saat mendapati istrinya sudah tidak lagi masih gadis.

Atau minta maaf karena tidak bisa menerima keadaanku?

Tidak. Pasti ada yang tak beres.

"Untuk apa, Bang?" tanyaku bingung. Sebisa mungkin kulembutkan suara di hadapannya. Aku pun ingin dia benar-benar jatuh cinta padaku, seperti halnya aku yang tak mau kehilangannya.

"Karena abang tak jantan."

"Tak jantan?"

Kini Gus Bed berbalik, duduk bersila menghadapku. Melihatnya akan bicara serius,  aku pun duduk bersandar dengan menarik selimut.

"Em, ya. Karena abang tak mampu jadi suami yang baik."

Apa mungkin Bang Bed sebenarnya pecandu sesuatu? Kenapa bicara soal suami yang baik? Atau dia beneran kesurupan? Ah, kan aku jadi ngelantur.

"Ada apa, Bang?" tanyaku sabar.

"Tapi ayok coba lagi besok, dengan begitu kita masih punya energi lebih."

Ya Tuhan, apa sebenarnya maksud, Gus?

"Adek ndak paham, Bang." Aku menjawab pelan.

"Em, karena abang membuat adek kecewa. Tak ada noda di malam pertama kita."

Deg.

"Em itu ...." Aku menunduk, menyiapkan kata-kata terbaik untuk jujur agar tak menyakitinya.

"Abang janji akan berusaha yang terbaik begitu pulih. Karena sekarang abang juga baru tau kalau ternyata menafkahi istri itu perlu kekuatan." Pria itu mengucap polos.

Aku tak bisa berkata-kata selain menatap wajah suami. Dari ucapannya aku yakin 1000 persen ini yang pertama buatnya, bersamaan mengingatkan bahwa aku bukan gadis suci dan bekas orang lain.

'Maaf Gus ... bukan kamu yang pertama.'

Mataku jadi berembun. Pandangan kabur karena air yang menggenang di sana.

Kalau saja Gus tahu, dua hari lalu noda itu sudah kutemukan karena perbuatan keji seorang pria, apa dia akan tetap sebaik sekarang?

"Heh, sudah Sayang. Lha kok malah nangis ini, gimana?" Satu tangannya mengusap pipi yang basah tak tahu sejak kapan.

Karena emosi, aku bergerak mendekat dan memeluknya erat-erat. Menahan keinginanku untuk jujur sekarang. Kutenggelamkan kepala di dada kekar Gus Bed hingga kaos tipis itu basah dan membuatnya menempel ke kulit.

"Sudah, Dek." Tangan pria itu bergerak mengusap rambut panjangku yang terurai berantakan.

"Kalau pun nanti ternyata ndak bernoda dan segel gadisnya jebol saat melahirkan ndak papa toh, biar anak abang yang gantikan."

Aku tersenyum mendengarnya. Apa ini cara Allah menjaga aibku dari suami?

Kutarik tubuh agak menjauh darinya. "Apa Abang tidak ingin tahu masa laluku?"

"Hem?"

Ayo Gus bilang tidak. Jangan biarkan aku terus merasa bersalah dan berniat memberi tahu tanpa diminta.

"Masa lalu?" Gus menelengkan kepala seperti tengah berpikir. "Bukannya Adek sudah cerita, dan itu cukup buat abang. Abang memaafkan semua itu. Ada fase di mana seseorang memang harus ada di tempat terburuk, sedang saat ini Adek sudah Allah pilih untuk berhijrah. Itu artinya Allah menyayangi Adek, lalu apa ada alasan tepat buat Abang untuk tidak menyayangi orang yang Allah sayang. Lebih dia istri abang," ucapnya sambil mencubit hidungku.

"Lagi pula abang juga punya masalalu," sambungnya lirih.

Tapi masa lalumu tidak mungkin seburuk masa laluku, Gus. Apalah aku bukan hanya mantan pecandu, bergaul dengan jahil dan tidak gadis lagi. Maaf jika aku memilih diam.

Kupeluk lagi tubuhnya, dan membiarkan diriku tenang untuk waktu yang lama.

"Ohya, Dik. Tadi Bude Arina menawari abang untuk ikut bersamanya ke Belanda. Katanya buat honeymoon. Kalau Adek mau, abang akan minta cuti sedikit lebih lama."

"Belanda?"

Duh, apalagi ini? Aku tidak mungkin setuju karena pasti akan bertemu lagi dan lagi dengan Fay.

"Huum."

"Apa tidak membuang uang terlalu banyak, Bang? Lebih baik ditabung atau dipakai umroh saja."

"Dik, untuk umroh juga ada. Soal uang kenapa harus dipikirkan jika memang ada. Lagian ini cuma sekali, supaya ada kesan di awal pernikahan kita. Selain itu kita juga menyenangkan hati orang tua seperti Bude Arina, kan?"

"Em, tapi ...." Sebenarnya aku sangat ingin membantah dan mencari alasan lagi. Misal, mending ke Turki, lihat Aya Shofia yang sekarang sedang ramai diperbincangkan sebab kembali difungsikan sebagai masjid.

Namun, aku tak ingin memberi kesan buruk di depan suami. Semoga saja Fay tidak ikut serta dan membuat masalah baru dalam hidupku.

"Hem?"

"Ya, sudahlah." Aku menyerah. "Adek kira Bude Arina dan anaknya menetap di sini dan tidak akan kembali ke sana."

"Betul tapi ada yang mesti diurus. Pindah negara itu tidak semudah pindah kost-kostan, Sayang."

Gus Bed tersenyum menjawil daguku. Matanya lalu melihat ke arah dinding, memperhatikan angka jarum jam 12.45 di sana. "Masih malam, kita sebaiknya tidur, supaya bersemangat lagi besok."

"Ih, nakal." Kucubit pelan perutnya hingga ia mengaduh sambil tertawa geli.

Direngkuhnya tubuhku yang jauh lebih kecil darinya, hingga kami terlelap bersama. Inilah, kenapa malam pertama selalu menjadi hal manis ... sepasang kekasih letih karena hanyut sebelumnya, lalu mereka terpejam bersama dengan senyum bahagia.

Alangkah sempurna kebahagiaan malam ini, jika tubuhku belum pernah dijamah pria lain.

____________

Usai bantu-bantu merapikan bekas sarapan di dapur. Aku memilih kembali ke kamar, sementara Gus pamit ke madrasah melihat anak-anak. Katanya, walaupun telah mengambil cuti rasanya ada yang kurang jika tak melihat aktifitas santrinya.

"Duh, perasaan tadi subuh sudah mandi. Kok sekarang kerudungnya basah lagi?" goda Ning Aishwa yang baru masuk rumah. Malu sekali mendapat sindiran itu.

"Oya, Dek. Apa kakak Dek Li kenal sama Fay?"

Deg. Ada apa dengan Mas Indra? Kenapa Ning mendadak bertanya seperti itu?

"Kenapa Mbak?"

"Kemarin aku sempat liat mereka seperti sedang bertengkar. Indra menarik kerah Fay, tapi begitu aku mendekat segera dilepasnya. Sepertinya mereka saling kenal sejak lama."

"Oya?"

"Ck. Ya sudah lah jangan dipikirkan, Fay kadang emang nyebelin orangnya."

Aku hanya tersenyum menanggapinya dan terus melangkah ke kamar, sedang wanita yang berusia sekitar 35 tahun itu bergerak menuju dapur. Jangan sampai Mas Indra bikin ulah pada Fay, ia pasti sangat geram pada Fay.

Untung saja Ning Aishwa terlihat buru-buru. Ada beberapa santri yang baru tiba di dapur. Sepertinya mereka akan persiapan resepsi dua hari lagi.

Baru akan masuk, langkahku terhenti saat seorang gadis mengucapkan salam dari arah depan.

"Waalaikumsalam." Aku menoleh dan melihatnya.

"Eh, Raudah ...." Ning Aishwa sudah lebih dulu menyambut gadis itu.

"MaasyaAllah. Kapan datang?"

"Sudah dua hari, Ning. Tapi saya ndak dikabari kalau Gus Bed menikah. Taunya juga tadi malam." Gadis yang kutaksir berusia kisaran 20 tahun itu menjawab.

Kakak perempuan Gus Bed itu lalu merangkulnya untuk masuk ke dalam. Aku bahkan dilewati dan tak dihiraukan saking asiknya mereka bicara.

Siapa wanita itu? Kenapa dia tampak sangat akrab dengan Ning Aishwa.

Perasaan dari kemarin aku tak pernah melihatnya. Ini kali pertama aku melihat wajah gadis cantik yang memakai abaya hitam dengan kerudung berwarna soft membingkai wajahnya.

"Eh, sini Dek." Ning Aishwa memanggilku untuk bergabung.

Dengan canggung aku melangkah ke arah mereka.

"Ini?" Gadis yang dipanggil Raudah itu menunjukku sambil menatap Ning Aishwa seolah mempertanyakan tentangku.

"Oh, ini istrinya Gus Bed. Dia lulusan s2 loh."

"Wah, senior donk. Kenalin Mbak nama saya Raudah, satu angkatan sama Gus dulu." Gadis itu mengulurkan tangan.

Satu angkatan? Gus kan usianya di atasku. Dan lagi perasaanku mulai tak enak saat dia menyebut nama Gus.

"Satu angkatan. Tapi bukannya Gus sudah ...."

"Em, kamu pasti mikir dia masih 17 tahun kan, Dek. Dia memang baby face, awet muda dan cantik. Makanya sekarang umurnya udah 29 tapi masih kaya remaja." Ning Aishwa menyahut cepat.

Baguslah kalau gitu aku tak perlu cemburu, dia pasti sudah menikah di usianya sekarang. Ah, Li ... padahal tak ada angin tak ada hujan, sudah cemburu aja hanya karena namanya disebut.

"Wah, MaasyaAllah. Udah punya anak berapa, Mbak?" tanyaku yang penasaran. Agar tak terkesan apa aku menginterogasinya.

Perempuan itu menatap bingung ke arah Ning Aishwa.

"Dek Li ... Raudah ini masih single. Dia baru aja pulang dari Mesir menyelesaikan studinya."

Apa? Duh, kenapa dadaku panas gini? Ada perempuan cantik yang dekat dengan keluarga Gus. Pasti pernah terjadi apa-apa dulu di antara mereka. Pikiranku jadi tidak-tidak.

Untung saja Gus sedang ke asrama putra jadi dia tak perlu melihat sosok cantik perempuan yang datang bertamu sekarang. Aku tak rela matanya melihat perempuan cantik dan memujinya dalam hati.

_____________

Di dalam kamar, kusempatkan membuka ponsel. Barangkali ada pesan dari Ibu. Bukan pesan darinya yang aku dapat melainkan sebuah pesan dari nomor tak kukenal.

[Li, maaf. Aku melakukannya karena aku sangat merindukanmu.]

[Kuharap kamu tidak hamil selama setahun ke depan, dengan begitu hidupku dn hidupmu akan tenang]

Kulempar ponsel seketika ke atas kasur. Bayangan menjijikkan dengan Fay tiba-tiba memenuhi pikiran. Kenapa aku tak kepikiran bisa saja aku hamil anaknya.

Ya Rabb. Jahat sekali kamu, Fay! Tidak bisakah kamu membiarkanku hidup tenang setelah kamu merenggut sebagian masa depanku?

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status