Jantungku detaknya tak beraturan. Apa yang terjadi selama berjam-jam aku menunggu? Pikiran buruk tentang Fay terus mengganggu. Sedikit saja bahkan tak bisa berprasangka baik pada bajingan itu."Kamu harus tetap tenang, Li. 90 persen dari apa yang kita takutkan sering kali tak terjadi. Gegabah hanya akan menghancurkanmu!" Nasihat bijak Ibu terus terngiang-ngiang dalam ingatan. Wanita itu seorang Ibu sekaligus motivator bagiku."Em, maaf, ya, Dik. Tadi guru abang dari Ma'had tempat abang mondok dulu datang. Ndak enak kalau ndak ngobrol dulu.""Inggih Gus, eh, Bang," jawabku gugup. Saat melihatnya sekilas, bibir merah Gus membentuk senyum simpul. Manis.Kenapa dia tersenyum? Jika dugaanku tentang Fay benar, harusnya Gus marah. Kecuali dia seperti malaikat, ah, tapi aku tak percaya jika ada manusia bak malaikat. Ini dunia nyata, segala sesuatunya bersifat realistis. Itulah mengapa aku memilih bungkam."Apa adek mau memulainya sekarang?" tanya Gus Bed yang memandangku dengan jarak begitu
Malam P(4)"Dek ....""Ya, Bang."Tuhan ... beri hamba kekuatan menerima apa pun keputusannya. Kepada siapa lagi aku berharap? Bukankah makhluk adalah tempat bersandar yang lemah?Pria yang kini hanya mengenakan sarung dan kaus oblong putih tipis itu menolehkan kepala. Dari samping hidung bangirnya mendominasi pandanganku. Pipi putih bersih ditumbuhi jenggot halus. Betapa paripurna ciptaan Allah itu? Fisik rupawan dengan akhlak menawan.Bukankah wajar jika aku mati-matian berusaha menutupi kejadian sebelumnya?Tak lama meluncur pernyataan dari bibirnya. "Maafkan, abang, ya."Maaf? Apa? Apa aku tak salah dengar? Kenapa maaf kata yang keluar dari mulutnya? Harusnya ia murka saat mendapati istrinya sudah tidak lagi masih gadis.Atau minta maaf karena tidak bisa menerima keadaanku?Tidak. Pasti ada yang tak beres."Untuk apa, Bang?" tanyaku bingung. Sebisa mungkin kulembutkan suara di hadapannya. Aku pun ingin dia benar-benar jatuh cinta padaku, seperti halnya aku yang tak mau kehilangan
Waktu telah berganti. Namun, bayangan menjijikkan Fay dan anaknya yang bisa saja sudah tumbuh dalam rahim tidak juga hilang. Aku harus berpura-pura tak terjadi apa pun di depan Gus Bed dengan bahagia. Layaknya pengantin baru. Semoga saja kehamilan benar tidak datang di tahun pertama, agar Fay tak mengira ini anaknya dan terus menerorku. Tuhan, kebohongan ini sungguh menyiksa. Sampai kapan aku terus dihantui rasa takut seperti sekarang? "Tidak, Li! Kamu tidak boleh lemah."Setelah frustasi dengan pesan yang Fay kirim, aku memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi. Dengan atau tanpa izin Gus. Kuharap memang belum ada pembuahan dalam rahim. Tak membuang waktu kutekan kontak temanku 'Shinta' yang kini berprofesi sebagai seorang bidan. [Shin, lo bisa ke pesantren malam ini. Gue butuh bantuan lo buat pasang KB.]Tak berapa lama Shinta membalas. [Boleh, Li. Jam berapa?]Cepat aku membalas. [Habis magrib aja, ya, Shin. Tolong jangan bilang siapa-siapa tujuan kamu nemuin aku. Ta
Berbagai macam kejadian mulai bermunculan di benak. 'Mas Indra yang tidak bisa mengendalikan diri dan memukuli Fay. Lalu keduanya adu mulut dan rahasiaku terbongkar di depan semua orang.''Fay tidak terima atas pernikahanku, lalu dia cari gara-gara dengan menceritakan semuanya pada semua orang, lalu Gus Bed tak terima dan bertengkar dengan Fay.''Atau yang paling ringan .... Fay mabuk dan menyerang Gus atau siapa pun sambil berteriak bahwa dia telah meniduriku.'Ah, Fay kamu benar-benar membuatku snewen setiap harinya!Raudah dan beberapa santri yang memegang urusan konsumsi sampai ikut ke luar dari tenda dan berdiri bersama tamu lain di kain pembatas antara laki-laki dan perempuan. Aku sangat penasaran dan takut sekaligus. Kalau saja tanpa dandanan ini, aku sudah berlari ke arah mereka dan membantah semua ucapan Fay. Namun, apa daya? Aku seorang pengantin yang didandani sedemikian rupa cantiknya, hingga akan jadi fitnah jika keluar dan dipandang semua lelaki yang bukan mahram.Saba
"Loh, tole di sini." Kiai Abdullah masuk dan menyapa begitu melihat Fay."Hehe, iya Paklek. Kata Mama malu anaknya jadi pusat perhatian.""Yah, biasalah ... namanya orang banyak, pasti punya pikiran lain. Dan itu resikonya orang hijrah." Kini Kiai melihat padaku, hingga aku tersenyum tipis merespon ucapan Abah Yai.Betapa baik keluarga ini, mereka bisa menerima apa yang terjadi di masa laluku. Entah, jika keluarga lain, mereka pasti malu saat pengantinnya dihina di depan semua orang. Mungkin kah, jika aku jujur nanti mereka juga akan memaafkanku dan tetap menerima sebagai bagian dari keluarga?"Li juga kudu sabar. Tidak menutup kemungkinan suatu hari akan ada yang mengungkitnya lagi." Nasehat ayah mertua kini ditujukan padaku. Kuanggukkan kepala untuk menghormatinya."Ya wes, Rifay. Paklek mau masuk dulu." Pria yang rambutnya mulai beruban itu memegang pundak Fay sebentar lalu meneruskan tujuannya masuk ke rumah."Nggeh, Paklek.""Loh, Abah mau nyari apa? Biar Ubed bantu." Gus baru bu
"Yakin, ndak mau dijemput?" Gus Bed bertanya menggoda. Kenapa sikap pria berkulit putih bersih itu selalu membuatku senyum-senyum begini? Rasanya tubuhku selalu panas ada di dekatnya, padahal AC menyala sepanjang jalan.Sudah lebih sepuluh menit mobil yang kami tumpangi berhenti di parkiran universitas, tapi aku tidak juga turun. Entahlah, berat sekali perpisahan ini. Padahal cuma mau pisah beberapa jam. Apa ini alasan Dilan bilang kalau rindu itu berat? Tapi buatku lebih dari itu, rindu itu sangat teramat berat, lebih untuk kami yang baru halal seperti ini. Kebersamaan yang baru dimulai selepas akad. Sama-sama menjaga diri dari apa pun aktifitas yang mendekati zina. Kami menahan-nahan seperti layaknya tengah berpuasa, begitu berbuka bahagia dan nikmatnya tak terkira."Iya, nanti biar Adek naik taksi. Kan Abang katanya mau ikut nyimak pengajian Abah Yai di majlis Kiai Hanafi. Ndak enak kalau belum selesai pulang duluan.""Ya udah sana turun!" titahnya seperti merajuk. Duh, menggema
Mendengar dengkuran kecil, kualihkan tangan kekar Gus Bed yang melingkar di perut perlahan. Sepertinya dia sudah lelap dalam tidur. Sampai kugerakan-gerakan tapak tangan di depan wajahnya untuk memastikan.Menyerupai maling, diam-diam meraih pakaian luar lingerie, lantaran hawa terlalu dingin. Lebih setelah lepas dari selimut dan tubuh hangat Gus Bed. Lalu mengambil ponsel sebelum masuk ke kamar mandi. Agar aman tak mendapat gangguan dari suami, atau tertangkap basah tengah menelepon seseorang, pintu kukunci.Kutekan sebuah kontak atas nama 'Shinta'. Tadinya aku mau sabar sampai besok. Ke apotik terdekat untuk membeli tes pack, untuk mengetahui apakah yang kualami datang bulan atau implantasi karena hamil? Tapi aku tak sabar dan dipenuhi kekhawatiran. Setidaknya aku harus tenang sebelum tidur.Tak lama panggilan tersambung dan seseorang mengangkatnya."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Suara di seberang sana terdengar sedikit serak. Sepertinya perempuan berusia 25 tahun itu baru te
Ini hanya soal waktu Ibu. Semua akan terbongkar seiring berjalannya waktu yang kulalui bersama kekasihku. Jika saja hari itu aku memilihi jujur, perasaanku mungkin belum sebesar sekarang pada Gus Ubaidillah. Hingga rasa sakit kehilangannya tidak akan membuat terluka lebih dalam.Namun, semua sudah terjadi. Masa lalu tak bisa diubah meski kita memilihnya sekali pun. Aku tak bisa menyalahkan Ibu. Sebab, wanita yang melahirkan dan membesarkanku hanya menginginkan kebaikan untuk putrinya.Bukan hanya perut mual, kepala juga terasa sedikit berputar. Ada apa ini? Perasaan datang bulan yang kujalani selama ini tidak semenyakitkan sekarang. "Adek ndak papa? Masuk angin mungkin," ucapnya cemas. Tangan kiri Gus bergerak memegang pundakku lalu beralih mematikan AC dan membuka kaca mobil sedikit, memberi ruang oksigen untuk masuk.Aku mengangguk sambil menutup mulut karena mual."Iya, akhir-akhir ini kita sering begadang malam." Ucapan itu mengingatkan bahwa aktivitas malam kami memang menyita b