Share

Kejutan Hari H

Auteur: Wafa Farha
last update Dernière mise à jour: 2022-05-15 07:22:58

"Mana? Di mana bercak darahnya?"

Suamiku masih seperti orang kesurupan, membolak-balik sprey yang berantakan karena hubungan pertama kami.

"E-e-em-maafin Adek," gagapku sambil menunduk dalam. Pria itu menghentikan pergerakan lalu menatap ke arahku.

"Aku, aku, aku ... sudah tidak perawan," ucapku dengan mata memanas. Air mata ini tumpah juga setelah kutahan-tahan.

"Kamu membohongiku dan keluargaku, Dik?" Pelan suara itu meluncur dan menekan.

Saat mendongak untuk melihat wajah suami, dua mata itu memerah dan basah. Mungkin kah sama sepertiku, matanya perih dan panas?

"Ma-maaf."

Aku kembali menunduk. Belum juga bisa menstabilkan deru takut dalam dada, lenganku ditarik kasar.

Sambil memegangi selimut aku pasrah mengikutinya.

"Jangan, Gus." Aku menggeleng saat sadar ia akan membuka pintu kamar. Berusaha menahan kemauannya.

Di luar banyak sekali orang. Mereka masih bantu-bantu, bahkan dua orang tua dan kakakku masih di sini. Apa suamiku akan mengatakan pada semua orang bahwa aku sudah tidak perawan dan membuangku ke luar? Bukan kah aib seorang istri juga aib suaminya? Tidak bisa kah ia menahan sebentar. Lalu mengusirku saat semua orang tidak ada di rumah ini?

Benar saja, tubuhku di lempar di tengah orang-orang yang masih sibuk dengan acara pernikahan kami.

Semua orang -yang didominasi wanita- terhenyak. Menatapku yang menangis terisak karena perlakuan Gus Bed. Ibu melihatku, ia segera menghambur dan memelukku. "Ada apa, Nduk!"

"Lihat dia! Dia tidak perawan dan sudah berzina dengan pria lain!" Suara Gus meninggi, membuat rumah yang ramai menjadi sunyi seketika.

Semua orang hanya fokus mendengarnya dan menatapku dengan pandangan jijik secara bergantian.

"Oh, sudah ndak perawan? Makanya, kan mbak sudah bilang, kamu nikah itu sama yang sekufu, bukan perempuan bebas seperti dia!" telunjuk Mbak Aishwa mengarah padaku.

"Li ...." Ibu meremas pundak hingga aku tersadar.

Semua bayangan buruk malam pertama itu hilang. Aku mendesah berkali-kali. Jangan sampai petaka malam pertama dalam bayanganku terjadi. Aku harus jujur pada Ibu, Abah dan Mas Indra sekarang. Mereka tahu aku harus berbuat apa?

"Bu, Bah ...." Kusebut dua orang itu, menatap mereka secara bergantian lalu pandanganku mengarah pada Mas Indra yang sedari tadi menyorot pandangan pada adiknya.

Mas Indra menyilang tangan di dada, siap menyimak dengan serius. Ia sepertinya tahu aku akan menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting.

"Katakan Li, jangan takut. Mas akan melindungimu."

Mendengar ucapannya aku malah makin menangis, tapi karena harus jujur kuusap kasar air mata yang menderas.

"Mas, aku diperkosa," ucapku sambil terisak.

"Apa?" Mereka bertiga mengucap terkejut.

"Argh! Brengsek! Sial!" Mas Indra refleks memukul pintu lemari kayuku hingga meninggalkan bekas yang retak di sana.

Tubuh Ibu bahkan sampai merosot ke bawah ranjang dalam posisi terduduk. Hanya Abah yang tampak bergeming, tapi tetap saja wajah tua miliknya syok.

Mas Indra marah luar biasa, aku yakin tangannya sekarang tengah terluka karena menghantam almari. Ia berbalik menatap dengan garang ke arahku.

"Li ... kamu kenal pria itu?!" tanyanya dengan dada naik turun lantaran amarah.

Aku mengangguk pelan. "Maafkan Li, Mas," lirihku. Suara ini seolah tercekat di kerongkongan saat mengucapnya.

Mungkin Fay sangat dendam padaku. Hari di mana kami putus, aku mempermalukannya di depan semua orang. Termasuk di depan rekan satu lokal dan beberapa dosen kami. Ya Tuhan, aku hanya bisa merutuki kesombonganku dulu.

"Ngaca donk, Fay! Kita tidak mungkin menikah sementara satu semester saja kamu habiskan selama tiga tahun, masa depanku akan suram bersamamu!" teriakku tepat di depan wajahnya.

Sejak hari itu kami tak pernah bertemu, hingga kudengar kabar bahwa ia memilih pindah ke luar negeri.

"Fay, Mas." Bahkan menyebut namanya saja aku merasa jijik. Jijik pada perbuatannya juga jijik pada tubuhku sendiri.

"Brengsek! Datang-datang bawa mala petaka," geram Mas Indra sebelum meninggalkan ruangan. Ada api di matanya seolah siap membakar seseorang yang membuatnya murka.

"Indra! Tunggu!" seru Abah mengejar anak sulungnya yang dikuasai emosi.

"Jadi ... apa rencanamu, Li?" Ibu bertanya dengan tatapan kosong ke dinding.

"Kita jujur saja, Bu," jawabku tanpa ragu.

"Maksudmu jujur pada keluarga Kiai Abdullah?" Seketika Ibu menoleh. Ini adalah pembicaraan serius yang tentu saja mengundang perhatian lebih darinya.

"Li, nggak mau dipermalukan Gus di malam pertama, Bu."

"Dipermalukan?!" Ibu lebih antusias hingga tubuhnya yang sempat luruh ke lantai, bangkit dan kembali duduk di ranjang mengahdapku.

"Katakan apa maksudmu?"

Aku terdiam bingung bagaimana menjawabnya? Tidak mungkin semua itu terjadi dalam bayanganku karena tak jujur ada mereka. Kepalaku kembali menunduk, dan lagi ... hanya bisa menangis.

"Dengar, Li! Lihat ibu!" Wanita paruh baya itu kembali memegang dua pundakku. Bahkan lebih menekan dari sebelumnya.

Kudongakkan kepala sembari mengusap pelan pipi yang basah. Tampak jelas mata lebar Ibu yang dipenuhi kaca-kaca itu bergerak.

"Jangan turutkan asumsimu, Li. Ini musibah. Ini takdir yang tidak bisa kamu pilih. Selama mereka tidak bertanya, kita tak perlu menjawabnya. Benar, kan?" Ibu melebarkan matanya. Jelas sekali kalimatnya adalah sebuah paksaan.

"Tap-ta ...."

"Li, ibu tak mau lagi melihatmu jatuh dalam kenistaan, Sayang. Menurut lah pada Ibu." Ibu menyisihkan sebagian rambut yang menutup sebagian wajahku.

Belum lagi aku menjawab, wanita itu memelukku. "Ini bukan nasehat, Li. Ini perintah." Nada suara Ibu menekan.

Ya Rabb. Apa yang harus kulakukan? Semua yang Ibu katakan sepertinya benar, meski ada sisi hatiku yang lain memprotesnya.

_________

Hari beranjak sore, setelah dua jam pergi akhirnya Abah dan Mas Indra datang. Wajah mereka tampak suram, lebih abangku.

"Bagaimana, Bah?" Ibu tak sabar ingin mendengar apa yang terjadi. Sedang pria tua itu hanya menggeleng.

"Brengsek! Fay tidak tinggal di rumahnya yang dulu, Bu!" dengkus Mas Indra.

"Ya, sudah. Biarkan saja." Ucapan Ibu sontak membuat Abah dan Mas Indra menoleh ke arahnya.

"Ini adalah takdir. Kita urus nanti saja, yang terpenting sekarang ini adalah pernikahan Li dengan putra Kiai Abdullah." Ibu bicara serius.

Seperti biasa, pendapatnya lah yang paling kuat di rumah ini. Bahkan Abah pun seringkali mengalah dan nurut apa maunya Ibu. Keberadaan wanita itu seperti kompas, saat kami kehilangan arah jalan. Untungnya apa yang ia putuskan menjadi jalan terbaik untuk kami.

Bissmillah! Ini adalah keputusan terbaik!

___________

Akad nikah akhirnya digelar. Hanya ada dua keluarga besar yang hadir dan sebagian pengajar juga santri pilihan. Menyusul dua hari kemudian resepsi akan dilaksanakan. Kami sengaja memberi jeda agar acara bisa berjalan lebih optimal.

Semua berjalan khidmat. Lelaki sempurna itu akhirnya jadi suamiku. Aku bahkan sampai meneteskan air mata saking senangnya. Bukan, maksudku senang yang didominasi rasa takut sebab pernikahan ini berdiri di atas kebohongan.

Kami semua duduk di dalam masjid pesantren yang luas. Tamu laki-laki dan perempuan dipisah gorden setinggi satu meter. Sedang aku duduk paling depan, ditemani Ning Aishwa, Kakak perempuan Gus Bed juga Ibu dan Umi Aisyah, ibu Gus Bed sekaligus istri Kiai Abdullah.

"Oh, MaasyaAllah, ini istrinya Gus Bed yang baru selesai S2 itu?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru datang. Yang kemudian aku tahu dia adalah kakak Umi Aisyah. Entah, kenapa aku merasa tak asing dengan wanita itu.

Aku tersenyum dan mencium tangannya dengan sedikit membungkuk.

"Selamat ya, Nduk. Ndak rugi walau pun bukan dari kalangan santri, calonnya cantik dan terpelajar. Bude juga sering dengar Aishwa cerita, kalau calon Gus Bed juga gadis sholehah yang banyak prestasi." Wanita itu terus memuji, senyumku makin mengembang karenanya.

Namun, saat mendongak dan akan kembali ke posisi semula, mataku tak sengaja melihat seorang pria yang berjalan di barisan ikhwan, bahu hingga bawah tertutup kain pembatas. Terlihat bahu hingga kepala yang membuatku gagal fokus.

"Fay?" Bagaimana dia bisa ada di sini?

"Hem?" Budenya Gus bereaksi saat nama itu kusebut. Ia menoleh ke arah pandanganku tertuju. "Kamu kenal, Fay, Nduk? Dia anak saya."

"Ap-apa?" tanyaku tak percaya. Saat menoleh pada Ibu, wanita itu juga tampak syok.

Ya Rabb, baru juga akad berlangsung, Gus dan keluarganya belum tahu apa yang menimpaku, kini masalah baru muncul. Aku dan keluargaku tak pernah tahu bahwa mereka kerabat dekat.

___________

Aku mematut diri di depan cermin, tampak bayangan seorang gadis yang mengenakan gamis serupa kebaya yang di desain khusus.

"Cantik, Li." Bayangan gadis dalam kaca memperlihatkan mata berkaca-kaca.

Apa gunanya kecantikan ini, jika tubuhnya tak lagi suci?

Di dalam kamar, sudah hampir satu jam aku menunggu. Gus Bed belum juga datang. Kecemasan mulai menjalar di pikiran. Mungkinkah Fay sudah bicara dengan suamiuku dan menceritakan semuanya.

Aku terhenyak begitu mendengar suara derit pintu. Pria tampan yang masih mengenakan jas koko berwarna putih masuk ke kamar.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jantungku berdetak tak karuan. Ya Rabb apa yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah apa yang kubayangkan tempo hari akan terjadi karena aku memilih diam dan meneruskan pernikahan?

BERSAMBUNG

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Ternoda sebelum Malam Pertama    Pernikahan Alhesa

    Administrasi sudah selesai dilaksanakan oleh Alhesa. Ketika kembali ke kamar dilihatnya semua barang bawaan sudah bersih tidak ada, faqih begitu tangkas dan cekatan akan hal ini, lalu abi dan uminya sudah siap untuk kembali ke pesantrennya.Faqih membantu membopong abinya dari samping dan umi menggandengan tangan alhesa dari belakang. Jika hal ini dilihat orang mereka seperti sudah menjadi keluarga asli. Dimana menantu bersama sang mertua laki-laki dan putrinya bersama sang ibu dari belakang.Sesampainya di mobil kyai ubed yang duduk disamping faqih banyak berbincang mengenai perhelatan politik yang sedang terjadi. Dirinya bersama umi berbincang mengenai model gamis yang saat ini sedang tren. Sudah sangat seperti keluarga yang menyatu dari mereka.Sesampainya dirumah para santri sudah berjejer di sepanjang jalan untuk menyambut sang guru yang sudah sehat. Iringan hadroh dan sholawat saling bersahutan, di saat itu juga kyai ubed menitikan air mata karena pesantren yang selama ini dilind

  • Ternoda sebelum Malam Pertama    Faqih juga Melamar

    “Baiiklah kyai, saya memahami semua itu. Tapi saya sebagai laki-laki yang sudah sangat jatuh hati dengan putri kyai berusaha untuk mencoba bisa mempersunting putri kyai. Alasan saya mempersuntingmu bukan hanya sekedar paras yang memang cantik, tapi perilaku, kepribadian dan kecerdasannya yang membuat saya luluh untuk jatuh hati yang pertama kalinya. Karena selama ini saya belum pernah merasakan yang namanya jatuh hati kepada wanita. Apapun hasilnya nanti, saya sudah menyiapkan diri dengan segala kemungkinan. Jika kyai berkenan al hess saya sunting saya akan berjanji membuat dirinya bahagia, aman dan nyaman seumur hidup. Tapi sebaliknya jika Alhesa sendiri yang sudah memiliki tambatan hati, dirinya merasa bahagia bersama orang tersebut maka saya akan menerimanya. Bagi saya kebahagiaan Alhesa yang terpenting bagi saya.” Ujarnya kepada nabinya.“Baiklah, saya ucapkan terimakasih atas niat baikmu dan saya juga yakin kamu memang orang yang baik,amanah, dan bisa bertanggung jawab. Tapi kam

  • Ternoda sebelum Malam Pertama    Alex yang Melamar

    Alhesa kembali terbangun dan merasakan sakit dikepalanya. Dirinya diam sejenak dan meratapi apa yang sedang terjadi padanya. Dirinya tidak menyangka akan menerima mimpi yang sangat aneh baginya. Seolah-olah mimpi itu sangat nyata adanya. Lal dilihat jam yang berada di dinding kamarnya, dirinya melihat waktu sedang menunjukkan pukul empat dini hari. Akhirnya dirinya menuju ke kamar mandi untuk buang air kecil dan sekalian mengambil air wudhu.Dilaksanakannya sholat malam dan diri nya terlihat sangat khusuk di setiap rakaatnya. Selain itu dirinya mengucapkan dzikir di setiap untaian tasbih yang terjadi putranya. Dirinya memohon petunjuk mengenai permasalahan yang sedang dihadapinya. Tapi sebelum itu dirinya memanjatkan rasa syukur akhirnya dirinya dan keluarganya bisa hidup tenang tanpa ada rasa takut dan penuh tekanan dari para penjahat yang selma ni menegurnya. Sang nabi juga sudah kembali normal dan umi puns sangat bahagia dengan keadaan nabi yang sekarang.“berilah hamba jodoh yang

  • Ternoda sebelum Malam Pertama    Bantuan Bude

    Sesampainya di kamar Alhesa, dirinya langsung mandi dan menyalakan shower air hangatnya. Dipakaikan sabun yang memberikan aroma terapi yang menenangkan isi kepalanya yang sedang berkecamuk. Dirinya harus bagaimana agar perjodohan itu tidak terjadi. Jujur dalam waktu yang diluar duanya saat ini ada laki-laki yang mendekat tanpa terduga.Alex yang begitu berkharisma dan entah mengapa dirinya begitu nyaman saat bercerita dengannya. Bukan tangisan yang biasanya dirinya sembunyikan dikeluarkan seketika kepadanya.Tapi saat ditelusuri kepada alex, hantianya hanya sebatas berteman seperti biasa. Tidak ada rasa jatuh hati sedikitpun, dirinya merasa nyaman dan aman menjadi teman alex. Lalu laki-laki yang ditemuinya hari ini adalah ustadz faqih yaitu laki-laki yang membuatnya cukup berdebar hatinya sejak pertama kali masuk ke ruangan tdi. Entah mengapa rasa aman dan terlindungi langsung terkuak saat melihatnya. Apalagi tadi terjadi sedikit obrolan yang membuatnya cukup untuk semkai penasaran den

  • Ternoda sebelum Malam Pertama    Perjodohan Lagi

    “anakku Alhesa ini dirinya masih senang berpetualang dan mencari wawasan. Entah kapan dirinya memikirkan pesantren dan nasib keturunanku.”“y amlaah baik tp kyai, dirinya begitu demi membangun pesantren sang ayah untuk menjadi lebih baik lagi dan inovatif. Karena kau dengar kalau Alhesa juga menulis banyak buku dan aksi sosialnya membela pernikahan untuk tidak buru-buru. Harus matang secara spiritual, sosial dan finansial. Bukan begitu nak?” Tanya sang kyai kepada Alhesa.“hee betul kyai!” Jawabnya kepada sang kiai.Setelah semuanya terasa nyaman, dan tenang sang kyai yang undur diri dan berkata sesuatu yang membuat Alhesa mengerutkan keningnya. “nanti ku tunggu jawabanmu terhadap Alhesa ya!” Sambil bersalaman dan cipika-cipiki layaknya tradisi para kyai yang demikian. Alhesa hanya mampu diam dan berpura-pura tidak tahu akan hal yang membuat hatinya tidak enak hati.Semuanya berpamitan termasuk dengan faqih yang tadi cukup berbincang dengannya dan bisa nyambung dengan pemikirannya me

  • Ternoda sebelum Malam Pertama    Bertemu Faqih

    Korean melihat Alhesa sudah merasa sedih dirinya tidak ingin melanjutkan perbincangan mengenai perjodohan tersebut. Lalu dialihkannya topic mengenai masa depannya itu, dan tak lama kemudian datanglah pesanan mereka berdua. Alhesa juga memesankan bungkusan nasi kepada umminya agar mati usai makan dirinya tidak usah menunggu lama lagi.“ayuk makan” ujar Alhesa yang melihat alex terlihat melamun.Suasana makna pun tras ahneing. Alhesa terbiasa untuk tidak bicara saat makan, selain itu alex juga tidak ingin membuat suaan aman tidak nayamanapalagi Alhesa makan dengans edikit menahan gerak karena luka yang ada di lengannya.Setelah selesai makan bersama. Akses menuju ke kasir untuk membayar semua tagihannya, alex yang berada disampingnya membantu membawakan nasi bungkus untuk sang ummi.Setelah menyelesaikan pembayaran alex pamit ke para temannya untuk mengantarkan Alhesa kembali. Sebenarnya Alhesa menolak untuk diantarkan, tapi alex berkata kalau dirinya tidak tega dan tidak enak dengan ky

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status