Share

Kebaikan Gus Bed

Jantungku detaknya tak beraturan. Apa yang terjadi selama berjam-jam aku menunggu? Pikiran buruk tentang Fay terus mengganggu. Sedikit saja bahkan tak bisa berprasangka baik pada bajingan itu.

"Kamu harus tetap tenang, Li. 90 persen dari apa yang kita takutkan sering kali tak terjadi. Gegabah hanya akan menghancurkanmu!" Nasihat bijak Ibu terus terngiang-ngiang dalam ingatan. Wanita itu seorang Ibu sekaligus motivator bagiku.

"Em, maaf, ya, Dik. Tadi guru abang dari Ma'had tempat abang mondok dulu datang. Ndak enak kalau ndak ngobrol dulu."

"Inggih Gus, eh, Bang," jawabku gugup. Saat melihatnya sekilas, bibir merah Gus membentuk senyum simpul. Manis.

Kenapa dia tersenyum? Jika dugaanku tentang Fay benar, harusnya Gus marah. Kecuali dia seperti malaikat, ah, tapi aku tak percaya jika ada manusia bak malaikat. Ini dunia nyata, segala sesuatunya bersifat realistis. Itulah mengapa aku memilih bungkam.

"Apa adek mau memulainya sekarang?"

tanya Gus Bed yang memandangku dengan jarak begitu dekat. Ya Tuhan, wajah tampannya yang putih berseri membuatku tak bisa menguasai diri. Detak jantung ini tak karuan.

"Hem?" Alis tebalnya terangkat menunggu jawaban dariku. Seketika aku menunduk malu. Sangat malu.

"Duh, malah merah begitu pipinya," goda Gus menyentuh pipi, dan mengusapnya pelan. Kehangatan tangannya menjalar hingga membuat dada semakin berdebar. Aku mencintaimu, Gus. Aku sangat mencintaimu.

"Sebenarnya abang juga mau mulai sekarang, Dik. Tapi apa daya, tamu di luar sangat banyak." Tawa kecil menyusul pernyataan yang menunjukkan sesal dan rasa bersalah.

"Ah, ndak papa, Gus eh Bang. Ke luar saja dulu." Aku menjawab cepat dengan nada canggung.

Justru ini bagus, semua itu bisa mengulur waktu untuk mencari cara menjelaskan keadaanku sebelum keduluan Fay. Yah, setelah melihat Fay tadi, tentunya aku harus memberanikan diri bicara yang sebenarnya. Sebab, jika pemuda jahat itu yang lebih dulu, dia bisa playing victime dan memutar balikkan fakta. Harapan untuk tetap ada di sisi Gus sangat kecil. Ah, bahkan tanpa kehadiran Fay, kesempatan itu nyaris tak ada.

Lalu apa yang kuharapkan? Tentu saja aku masih percaya pada keajaiban. Allah yang membolak-balikkan hati manusia, besar harapanku Tuhan akan membuat hati Gus legowo dan menerimaku. Karena semua ini adalah takdir. Yah, takdir.

"Wah, kok abang malah jadi kecewa jawabannya gitu." Mulut pria berwajah oriental itu sedikit memanyun seperti anak kecil.

Aku sampai bingung sendiri akan menanggapinya seperti apa. Akhirnya kupilih diam saja sambil nyengir.

"Baik lah. Abang senang Adek istri yang sabar dan pemalu." Lagi, senyumnya membuatku tak bisa mengendalikan diri. Tangan kanannya mengacak kerudungku hingga kusut.

Menit kemudian ....

Aku tak mengerti sejak kapan tiba-tiba tak ada jarak antara kami, beberapa detik terjadi ia melepasnya. Mataku melebar, ia tersenyum sambil mengusap pipiku lagi sebelum benar-benar bangkit dan ke luar.

Kupegangi bibir sembari melihatnya berjalan ke arah pintu.

Apa itu tadi? Kenapa rasanya seperti disetrum yang membuatku sangat bahagia.

"Oya, Dik. Sambil nunggu boleh dikhatamin kitab yang Abang berikan tempo hari. Kalau Adik lupa membawanya, di laci paling atas juga ada kitab yang sama." Pria itu kembali bicara, selagi separuh tubuhnya sudah tertutup pintu dan hanya bagian kepala yang melongok padaku.

Ya Allah, nakal juga Gus Bed.

Tempo hari, saat di kampus, salah seorang mahasiswi sekaligus santriwati Darul Falah memberikan sebuah buku yang terbungkus rapi. Katanya titipan Gus Ubaidillah. Mataku melotot saat benda tersebut adalah sebuah kitab khusus yang menerangkan hubungan dalam rumah tangga.

Aku pun juga memiliki dan menyimpannya di rumah, dan sudah mengkhatamkan kitab tersebut setelah mendapat ijazah dari seorang ustazah. Tapi, masa iya kutolak dan kukembalikan? Tentu saja aku malu bilang sudah membaca kitab yang membahas hal tabu dalam hubungan suami istri.

Duh, kenapa sikapmu begitu lembut, Gus? Ini membuatku merasa bersalah, rasa yang bersamaan hadir dengan rasa tak ingin kehilangan yang makin besar.

______

Beraktivitas sekitar setengah jam, kudengar seseorang mengetuk pintu.

"Li, buka, Nduk. Ini ibu."

Aku bergegas bangkit dan membawa masuk perempuan yang melahirkanku dua puluh lima tahun silam.

"Bu, Ibu lihat pria jahat itu, kan?" tanyaku dengan bergelayut di lengannya.

"Iya, Li. Sabar, Nduk. Kamu ndak boleh gegabah. Jika ternyata Fay nekad dan Gus Bed akhirnya bertanya minta dia temui ibu dan abah, okey? Biar kami yang urus."

Aku mengangguk takut.

"Tapi, Bu. Malam ini adalah malam pertama kami, kalau pun Fay tidak bicara pada Gus, suamiku itu pasti tau Li sudah tidak perawan. Lihat Bu, pangkal kakiku saja masih sakit gara-gara ulah Fay," aduku ingin diperhatikan.

Ibu tersenyum tipis. Ia mengusap kepalaku pelan.

"Ibu senang kamu tidak lagi menangis membicarakan ini, Li. Suamimu pasti sudah berbuat kebaikan padamu. Jadi jangan membayangkan yang tidak-tidak."

"Hem?" Benar juga. Suasana hatiku tetap saja bagus ketika membicarakan mantanku yang biadab itu. Tapi ... tidak mungkin aku cerita pada Ibu bahwa Gus Bed telah menciumku barusan. Aku hanya bisa tersenyum karena sangat senang.

"Sudah ayok keluar, kamu harus dekat dengan keluarga mereka."

"Tapi ada ibu Fay di sana."

"Li, ibu bilang kamu tidak boleh lemah. Jangan menunjukkan rasa bersalahmu karena kamu tak bersalah. Kamu berhak bahagia."

Setelah Ibu membujuk, akhirnya aku ikut ke luar. Menghadap keluarga besar Gus Bed yang berkumpul di ruang tengah.

Ibu Fay juga masih duduk di sana, perempuan berpenampilan glamour itu sedang bicara akrab.

"Wah, lihat siapa yang datang." Ibu Fay menyambut kami dengan hangat. "Kirain ditahan sama tole di kamar. Hehe." Tawanya renyah.

"Ke marilah, Nak. Ini Bude Arina baruuu aja balik ke Indonesia, setelah dua tahun menetap di Belanda."

"Iya, alhamdulillah Islam di sana disambut hangat, tak ada kasus diskriminatif terhadap aktivis malah mualaf terus bertambah tiap tahun. Mana penduduknya ramah." Bude Arina mulai bercerita betapa senangnya ia. Ibu diam tak menanggapi, bahkan tersenyum pun tidak. Pasti karena kemarahannya pada Fay yang membuatnya benci siapa pun yang berhubungan dengan pria itu.

Tak masalah lagi pula objek di sini adalah aku, jadi tidak akan membawa kecurigaan bagi orang lain.

Aku hanya sedikit menarik bibir agar tak terlihat kaku.

"Yah, semua tergantung pemimpin kebijakan pemerintahnya, Bude. Kalau yang menjabat bisa dibeli yah, mau ndak mau toh bikin aturan yang memusuhi ummat Islam. Opini kan cepet kalau penguasa yang menghembuskan."

"Yah, bisa jadi, Nduk. Tapi buda ndak gitu ngerti politik, taunya merasa aman aja."

Di saat kami bicara ke sana ke mari, Gusku datang, ia bicara dengan seseorang yang kemudian terlihat setelahnya. Fay!

Dua pria itu duduk di seberang kami.

"Itu Mas, yang masih pake gamis dan kerudung segi empat istriku, namanya Liana Anindita. Katanya dia dulu juga kuliah di Mataraman."

"Oh ya? Mungkin kami beda angkatan. Yah, maklum kan aku mahasiswa yang satu semester menghabiskan waktu sampai tiga tahun, mana mungkin mahasiswi berprestasi sepertinya mengenalku. Ya kan, Mbak?" Fay bertanya padaku yang membuatku seketika gelagapan.

"Heh? Em, ya."

Ibu menatap Fay dengan raut wajah yang kesal.

"Wah, bener kata mama, cantik istrimu, Bed." Fay melirik padaku sekilas. Seperti tatapan ancaman bahwa semua rahasiaku akan ia bongkar!

Aku sangat jijik melihat senyumnya. Seolah keberadaannya adalah pisau yang mengupas luka-lukaku yang mulai mengering, hingga sakit kembali menghujam dengan kalian lipat lebih perih.

'Biadab kamu, Fay!

Jika kamu tahu aku adalah calon istri sepupumu, kenapa masih tega lakukan perbuatan bejat itu padaku?!'

Kalau saja bukan karena banyak orang di sini, sudah kuremes-remes mulutnya, kuinjak tubuhnya sampai penyet dan mati.

'Ah, Lian ... bahkan tempo hari kamu tak bisa mengalahkannya barang sedikit, sampai kamu kehilangan mahkotamu!' Sisi lain diriku memaki.

'Hidupmu sungguh menyedihkan Lian!

Lemah ....

Pengecut!

Tak punya pijakan!

Pembohong!'

"Ya, sudah Fay. Sebaiknya kita pulang." Bude Arina mengucap sambil melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya.

Bagus cepat lah pulang, Fay! Keberadaanmu membuatku muak!

"Ya, Ma." Fay menjawab cepat.

"Loh, kirain mau nginap sini." Umi Aisyah menimpali.

"Yah, boleh lain kali, Bulek." Fay menjawab. Lagi-lagi matanya melirikku. Ish, ingin kucongkel saja rasanya.

__________

Malam akhirnya datang. Rumah semakin sepi. Hanya terdengar suara racau santri-santri yang masih terjaga di asrama dari kejauhan.

Aku dan Gus Bed menghabiskan waktu bersama. Tak ada lagi kata yang bisa melukiskan keindahannya, dari sekadar sholat, berdoa dan wirid bersama sampai bersatunya kami dalam lautan cinta.

"Ana uhibbuki," bisik Gus Bed mesra.

Aku lupa setiap rasa sakit yang kurasa, sampai semua itu usai ....

Gus lalu duduk di sisi ranjang membelakangiku. Tak ada tanda-tanda ia seperti orang kesurupan seperti dalam bayanganku. Tapi ....

"Dek." Suara itu memanggil seolah akan mengatakan sesuatu.

"Ya?"

Ya Allah, tubuhku kembali menegang. Apa yang akan ia katakan.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status