Kaget dan syok melihat Renata ada di depannya dengan raut wajah yang ceria.
Di detik kesekian ia disadarkan ingatannya, Arhan yang sering membawa Renata ke hotel. Namun, bagaimanapun Arhan membicarakan ini lebih dulu dengannya, bukan seenaknya mengambil keputusan sendiri. Karena tidak mau membuat Renata merasa tidak enak hati, Ranty menarik tangan Arhan menjauh darinya. "Kenapa kamu membawa Rena kemari, Mas?" tanyanya pelan. "Kamu ini bicara apa, Dik? Jadi, Renata mau ke mana lagi? Kita berdua, kan keluarganya di sini!" Tidak biasanya Arhan meninggikan suaranya, hal itu juga membuatnya kaget sampai merasa tersudut. Sebenarnya bukan itu yang ia maksud. Tapi, agaknya mereka berdua sudah merencanakan ini diam-diam. "Renata itu adik kamu, Dik. Sudah seharusnya kamu yang bertanggungjawab selama dia di sini. Karena Mas suamimu, jadi Mas juga punya tanggungjawab untuk Renata." Bohong! Rasanya ingin berteriak, 'kamu sudah kehabisan modal check-in ke hotel maka membawanya kemari!' Tapi, Ranty segera tersadar ucapannya barusan. Bagaimanapun Renata itu adik kandungnya. Dirinya dan Arhan lah keluarga Renata sekarang, sejak ibunya meninggal . "Maksudku bukan begitu, Mas. Renata masih belum sembuh dan masih harus dirawat intensif di rumah sakit. Jadi, lebih baik dia di rumah sakit dulu seperti yang selama ini. Sampai dia benar-benar sehat," ucap Ranty membuat-buat alasan. "Mas juga bilang begitu, Dik, tapi katanya Renata sudah jenuh dan kurang nyaman di sana. Mas jadi tidak tega melihatnya merasa tersiksa di sana." Ranty menenggak liur membayangkan seperti yang selama ini. Arhan beralasan ke rumah sakit dan mereka berujung pergi ke hotel. Seperti tidak diberi opsi menolak, Ranty pasrah menuruti keinginan Arhan. "Maafkan Rena, Mbak. Tapi, Rena sudah tidak betah di rumah sakit terus," ucap Renata sudah berdiri di dekat mereka. Sepertinya sudah mendengar percakapan mereka tadi. "Jangan marah ke mas Arhan, Mbak. Rena yang memaksa mas Arhan membawa Rena pulang kemari." "Bukan begitu, Dik. Tapi, Mas yang membawa Rena kemari," ujar Arhan. Ranty menangis dalam hati melihat drama di depan matanya. Giginya mengerat setiap mengingat keduanya menghabiskan waktu di kamar hotel selama ini. Namun, ia tetap dengan pilihannya akan mempertahankan pernikahannya dengan Arhan. "Mbak nggak marah kamu di sini, Ren. Mbak cuma berpikir, kamu masih harus menjalani perawatan di rumah sakit. Jadi, sudah lebih---" "Aduh sakit." Tiba-tiba Renata meringis sambil memegangi kepalanya. "Kamu kenapa, Ren?" tanya Arhan, terlihat dia sangat mengkhawatirkan keadaan Renata. Ranty terdiam dengan rasa sakit yang terus menusuk di hati. Hatinya sangat panas karena rasa cemburunya. Tangannya meraih kasar cangkir dari atas meja, meremasnya sebelum meneguk isinya yang masih panas. "Dik, tolong kamu bawa Renata ke dalam kamarnya ya," suruh Arhan seolah tidak bisa menghargainya yang tengah menikmati minumnya. "Aku belum merapikan kamar tamu, Mas." Dingin Ranty menjawab. "Kamu rebahan di sofa dulu, Ren. Sebentar lagi mbak rapikan kamarmu." "Mas, sudah merapikan kamarnya tadi, Dik." Ranti sampai berjengit, ia kaget setengah mati, sampai-sampai tersedak oleh minumannya sendiri dan terbatuk-batuk. Sejak kapan Arhan mau memegang sapu, alih-alih membersihkan kamar tamu yang sudah lama tidak dibersihkan? "Makanya pelan-pelan minumnya, Dik." Arhan mendekat dan menepuk-nepuk punggungnya sampai Ranty terlihat tenang. Seolah sadar keadaan di sana, Renata berhenti merengek meminta perhatian Arhan. "Aku bisa ke kamar sendiri, kok, Mbak," ucapnya melengos pergi. "Tunggu, Renata! Biar Ranti yang membawa barang-barangmu ke kamar. Tubuhmu belum cukup kuat mengangkatnya," "Dik, Mas minta tolong bantu Renata ke kamarnya ya. Kasihan Renata," sungguh Arhan. "Mas ... tapi aku masih---" "Mas harap jangan membuat Renata merasa tidak nyaman di sini ya, Dik," potong Arhan penuh ancaman. Kemudian Arhan mengecup puncak kepalanya sebelum beranjak pergi ke kamar mereka. Hahk! Yang tidak nyaman itu aku, Mas! Kedua mata Ranty mulai berembun. Harusnya Arhan lebih menjaga perasaannya sebagai istrinya. Tapi ... "Kamu naik saja ke kamarmu, Ren. Nanti Mbak antar barang-barang kamu ya," ujar Ranty meremas sendok di genggamannya. "Kalau bisa sekarang ya, Mbak. Aku mau langsung mandi, tubuhku berkeringat dan terasa gerah." Apa katanya, berkeringat? Mana mungkin cuma dari rumah sakit ke rumah langsung berkeringat! Ini juga masih pagi. Ranty berjalan mengekori Renata menaiki tangga. Sampai tiba di kamarnya, ia masih penasaran dengan tubuh Renata yang katanya berkeringat. "Terimakasih ya, Mbak," ujar Renata berdiri di pintu kamar seolah-olah menunggu Ranty segera keluar dari sana. "Iya. Kamu tidak serapan dulu, Ren?" Basa-basi Ranty bertanya. Namun, ekspresi wajah Renata mengagetkannya. "Ini sudah sore, Mbak. Lagian tadi sudah makan sore juga dengan Mas Arhan sebelum kemari." "Sudah sore?" Ranty menggeser pandangannya ke jam dinding. "Pukul lima." Ingat ada janji dengan Hendra, Ranty urung memaksa Renata mengaku dari mana dia dan Arhan seharian ini. "Oh begitu. Sekarang kamu istirahat saja dulu. Mbak ada urusan keluar sampai malam nanti, jika ada apa-apa Mas Arhan ada di rumah, kok," ujar Ranty seolah memberi ruang untuk keduanya bisa memadu kasih. Ranty kembali ke kamarnya dan melihat Arhan tertidur. Ranty tidak akan membangunkannya sekadar berpamitan. Ia berkemas diri cepat-cepat, kemudian tergesa-gesa meninggalkan kamar. "Kamu mau ke mana, Dik?" Ranty berhenti bertepatan hendak akan menutup pintu kamar. Kemudian menoleh ke belakang dengan senyum yang dibuat-buat ceria. "Jam enam nanti aku ada janji ketemu sama teman arisan, Mas." "Mas antar saja ya, Dik?" Arhan langsung bangkit dari rebahannya. "Tidak perlu, Mas. Aku bawa mobil sendiri saja. Lagian, Mas juga lelah dan butuh istirahat setelah menjaga Renata dari semalam." Ranty tidak lagi memperdulikan wajah Arhan yang berubah warna. Meski ia sempat memergokinya tergugu. Ia mempercepat jalannya, dan kemudian meninggalkan rumah menuju tempat Hendra menunggunya. "Ini saja yang kamu dapatkan?" tanyanya. Ia tidak bergairah untuk melihat satu persatu foto-foto yang diberikan Hendra. Jelas saja karena ia sudah mengenal siapa wanita selingkuhan suaminya. Sekarang ia bertemu dengan Hendra untuk mengakhiri kerjasama mereka. "Iya, Buk. Tapi, kalau bu Ranty mau, saya bisa mencari tahu siapa wanita selingkuhan pak Arhan." "Tidak perlu. Saya kemari untuk meminta kamu menutup rahasia besar ini di perusahaan atau dari siapapun." "Tapi---" Ranty mendengus, bersamaan dengan itu ia mengangkat tangannya dengan tatapan mata mengisyaratkan 'jangan lanjutkan'. Ranty menyerahkan sejumlah uang sebagai upah Hendra sebelum meninggalkannya. Dari sana Ranty pergi ke suatu tempat yang membuatnya nyaman. Namun, tidak ada tujuan yang benar-benar membuatnya merasa nyaman selain rumah. Namun, sekarang rumahnya sendiri sangat menakutkan baginya. ***"Manalah Mas tahu, Dik. Kita saja tidur di kamar tadi." Arhan mencondong ke depan. "Atau, jangan-jangan kamu mau menuduh Mas membawa wanita lain ke rumah ini, Dik?" Ranty berjengit karena kagetnya. Matanya terpaku di wajah Arhan. Suaminya ini sangat pintar menyudutkannya. Harusnya dia sadar, banyak alasan yang bisa menuduhnya. Mulai dari Arhan masuk kamar dengan setengah telanjang tadi. Lalu, maksudnya, Renata itu bukan wanita lain di pernikahan mereka? Tapi... "Aku tidak berkata seperti itu, Mas." "Yah, kamu juga tentu tahu suamimu ini pria yang setia, kan, Dik. Dari dulu Mas selalu pegang teguh ikrar pernikahan kita." Arhan menyempatkan mencium pipinya yang memerah dan memanas. Bajingan! Buaya mana mau mengaku sudah menelan bangkai. "Oiya? Mas nggak ingat---" "Maafkan aku, Mbak, ini punya Rena. Tadi Rena kegerahan niatnya mau mandi, tapi nggak jadi. Tadi Rena sempat bersantai-santai sebentar di sini. Tapi, pas kembali ke kamar, Rena kelupaan membawa pakaian Rena,
Tidak mau terus-terus di serang rasa sakit, ia kembali ke kamar dengan berjalan berjinjit pelan-pelan. Ia tidak mau suara langkah kakinya, menganggu dua orang yang tengah memulai permainan panas mereka. Di kamar, Ranty menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua matanya yang sembab menatap langit-langit kamar. Pikirannya masih terganggu dengan apa yang di dengarnya barusan."Arhan tinggal membutuhkan tanda tanganku?"Ranty menyeka air mata dari kedua pipinya. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah pengakuan Arhan tadi. Suaminya itu sampai hati menaruh obat tidur di minumannya.Walau sudah tahu rencana jahat sang suami, tetapi tetap saja ada rasa takut suaminya itu benar-benar pergi dan meninggalkannya. Sementara dirinya tidak memiliki siapapun selain Arhan dan Renata.Arghh!Ranty semakin gelisah. Ia bangkit dan duduk dengan memeluk kedua lututnya. Hanya membayangkannya saja ia sudah tidak sanggup, bagaimana jika sampai benar-benar terjadi?Beberapa waktu ia hanya bisa merenung dengan
"Please, hentikan kegilaanmu ini, Mas," desisnya semakin terbakar api cemburu. Giginya mengerat, ingin rasanya ia ke sana untuk menghentikan kegilaan keduanya. Namun, ia merasakan seolah-olah kedua lututnya gemetar dan tidak berdaya berjalan. Seperti biasa Ranty cuma bisa mematung dalam bisu, membiarkan rasa sakit bersarang di sudut hatinya. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan melihat pemandangan yang terus-terus menyakitkan hatinya. "Mas, jawab aku! Apa kamu takut meninggalkan Ranty?" Renata merapatkan dirinya ke dada bidang Arhan. Hingga tampak seperti tidak ada jarak diantara keduanya. Ranty mendengus kasar. Nafasnya memburu. Jelas ia tidak rela tempatnya bermanja-manja dipakai orang lain. Sampai kapanpun ia tidak akan mau mengakui Renata sebagai istri pertama Arhan! "Iya, Sayang. Mas juga sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan istri tercinta Mas ini. Tapi, kita tidak boleh terburu-buru yang malah membuat Ranty jadi curiga nanti." Arhan menjawab seraya meletakkan p
Beberapa menit kemudian, Ranty mulai merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat mengantuk, sebabnya beberapa kali mulutnya terbuka lebar. "Kamu mengantuk, ya, Dik?" tanya Arhan menariknya bahunya. Ranty membiarkan kepalanya jatuh di bahu Arhan. "Iya. Entah, tiba-tiba saja mataku terasa sangat berat dan mengantuk, Mas. Mungkin karena udaranya dingin kali, ya." Ranty memaksakan matanya tetap terbuka, sembari merapatkan tubuhnya ke tubuh sang suami. Membiarkan tubuhnya yang menggigil menyerap kehangatan dari dalam tubuh Arhan. "Jadi gimana, Dik? Kita pulang ke rumah saja atau masih mencari makan untuk kamu?" tanya Arhan mulai merapat ke jalur sisi jalan dan memperlambat laju mobil. Perutnya terasa sangat lapar sekarang, jadi ia harus mengisi perutnya sebelum istirahat nanti. Ia tidak mau di tengah malam nanti terbangun dan mengacak-acak isi lemari dapur. "Kita cari makan saja, Mas, aku sangat lapar. Tadi ... cuma ... makan sedikit ... saja." Ia
Ranty tahu semua itu cuma alasan Arhan. Untuk apa membeli obat untuk Renata, jelas adiknya itu tidak sakit! "Mbak, maafin aku, ya. Aku yang meminta Mas Arhan mengantar aku ke klinik tadi," ucap Renata dengan suara yang parau. "Rena baru sadar stok obat Rena sudah habis," lanjutnya seakan-akan ingin meluruskan kesalahpahaman di antara mereka. "Hmm, tidak apa-apa, Rena. Bukankah bagi Mas Arhan kamu itu sudah seperti adiknya? Jadi, tidak perlu merasa tidak enakan begitu," kata Ranty dengan raut wajahnya yang dibuat-buat senang. Meski tidak melihat Arhan di balik punggungnya, Ranty bisa menebak perubahan sikap dan warna wajah sang suami. "Bukankah begitu, Mas?" tanya Ranty memutar kepalanya melihat Arhan. "I-iya, Dik. I-itu benar, Renata. Jadi tidak perlu merasa tidak enakan, ya," kata Arhan tampak gugup seperti seseorang yang kepergok mencuri. "Iya, terimakasih Mbak Ranty, Mas Arhan. Rena ke kamar dulu, ya," ujar Renata menggenggam erat tas kecil di tangannya Tas tangan ke
Malas, Ranty mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Pikirnya palingan panggilan dari Arhan. Seperti biasanya, sang suami selalu menanyakan keberadaannya, agar Arhan bisa mengatur waktunya memadu kasih dengan Renata. Namun ... "Hendra, kenapa lagi dia?" Kaget Ranty bergumam. Padahal ia sudah memperingatkan pria muda itu agar tidak sembarang meneleponnya. Mau tak mau Ranty terpaksa mengangkat teleponnya. Sekaligus untuk mengingatkan pria muda itu dengan aturan yang sudah ia buat. "Lain kali jangan pernah mene---" "Buk Ranty, apa anda sudah di rumah sekarang?" Dari tempat lain dengan lancang Hendra memotong ucapannya. Sialan! Ini tidak bisa dibiarkan! Urusannya apa, aku di mana? Lama-lama dia semakin lancang dan tidak tahu aturan! Ranty mendengus kesal. "Aku sudah memperingatkan kamu agar jangan meneleponku sembarang!" Ketus Ranty menjawab. "Untung ini aku masih di jalan, bagaimana kalau sudah di rumah? Kamu mau membuat Mas Arhan menuduhku yang macam-macam lagi?"