Ini love story Ranty Louisa; Ranty tidak menyangka akan dikhianati oleh Arhan Purba, suaminya. Bahkan lebih menyakitkannya, setelah lima tahun pernikahan mereka, baru tahu kalau ia ternyata istri kedua. Ranty harus berbagi hati dan suaminya dengan Renata Laurence, adik kandungnya sendiri, istri pertama Arhan. Bahkan tidak bisa menolak saat Arhan membawa Renata Laurence tinggal di rumah mereka Ia harus hidup berpura-pura setiap harinya agar Arhan tidak tahu, kalau ia sudah mengetahui semuanya. Pengkhianatan, sakit hati dan pembalasan dendam, baca di Ternyata Aku Istri Kedua Suamiku ***
View MoreRencananya ini terbilang nekat. Jika suaminya, Arhan Purba, 32 tahun, tahu keberadaannya di sana, ia tahu rumah tangganya pasti akan hancur.
Atau, kalaupun terselamatkan, tapi Arhan kemungkinan tidak akan mau pulang ke rumah mereka. Tetapi dia akan pergi bersama wanita selingkuhannya itu. Ranty Louise, 27 tahun, hanya diam terpaku di tempatnya berdiri dengan raut wajahnya yang menegang. "Apa ibu Ranty yakin tidak mau menggerebek Pak Arhan bersama selingkuhannya? Saya juga penasaran siapa wanita selingkuhan pak Arhan." Disahuti gelengan kepala lemah dan kaku. Sudah lama mendengar berita perselingkuhan Arhan dari asisten pribadi Arhan. Namun, Ranty tidak mempercayainya, karena tidak ada yang berubah dari sikap Arhan selama ini. Baru setelah mendengar Arhan sedang check-in di hotel bersama selingkuhannya, Ranty datang untuk menggerebek langsung. Pastilah ia juga ingin tahu siapa wanita yang berani merebut Arhan darinya. Namun, bukan berita yang enak didengar, jika esok hari topik berita wartawan tentang; 'istri presdir menggerebek presdir di hotel bersama selingkuhannya'. Itu tentu mencoreng nama baik Arhan sebagai presdir di salah satu perusahaan besar di kota itu. Atau, bisa saja dia dipecat karena skandal perselingkuhannya. Dan, pernikahan mereka selama lima tahun ini akan kandas. "Kita pulang sekarang!" Ranty meninggalkan hotel. Isi di dalam otaknya lebih menakutkannya, ketimbang menggerebek Arhan bersama selingkuhannya. *** Di rumah, ia duduk menunggu Arhan di dalam kamar di atas ranjang mereka. Sengaja merias sempurna kulit wajah pucatnya, dan mengenakan lingerie tipis berwarna merah menyala untuk menarik perhatian Arhan. Tentu saja ia tidak mau rumah tangganya hancur karena wanita lain. Ia masih membutuhkan Arhan untuk menyelamatkan hidup adiknya yang terkena kanker darah stadium akhir. Kira-kira setengah jam kemudian, bunyi bel terdengar tanda kepulangan Arhan. Ranty menyambutnya tanpa emosi, seolah-olah tidak mengetahui perselingkuhan Arhan. Arhan memang pintar menyembunyikan perselingkuhannya selama ini darinya. Selalu bersikap biasa saat bersamanya, sampai Ranty sangat mempercayai suaminya itu setia. "Kamu cantik sekali, Dik " Seperti biasa Arhan selalu memujinya dan mengecup bibirnya dengan lembut. Kemudian tangannya bergerilya menyentuh tiap inci tubuhnya, hingga akhirnya keduanya bercumbu dengan panas sepanjang malam. Tetapi, malam ini Arhan seperti tidak bergairah lagi menyentuhnya. Kemungkinan dia sudah menghabiskan semua tenaganya bersama wanita itu tadi di hotel. "Kenapa berhenti, Mas?" Ranty bertanya dengan raut wajah setengah memelas menatapnya. "Mas minta maaf, ya. Hari ini Mas kecapekan kerja. Jadi, kita istirahat saja ya, Dik." "Mas, tapi aku menginginkanmu." "Besok saja ya, Dik. Mas benar-benar lelah hari ini." Lantas Arhan menjatuhkan tubuhnya yang lelah ke samping. Dia tidak perduli Ranty yang kecewa. Hitungan detik Arhan sudah tertidur pulas. Ranty memeluk dirinya sendiri. Rasa sakit membayangkan tubuh wanita lain berada di pelukan Arhan. Mereka menikmati kemesraan sepanjang hari. Pantas saja Arhan kelelahan dan tak bergairah lagi menyentuhnya. Di detik kesekian, denting notif pesan masuk terdengar dari ponsel di dalam kantong celana Arhan, itu menarik atensi Ranty yang duduk merenung. [Mas di mana? Jadi datang malam ini, kan?] Pesan masuk dari Renata. 'Pesan dari Renata?' Sedikit bingung Ranty bergumam. Kemudian ia memeriksa semua pesan masuk namun tidak ada pesan yang mencemaskannya. Renata Laurence adalah adik Ranty yang tengah di rawat di rumah sakit karena kanker darah. Tapi, tidak biasanya Renata langsung menghubungi Arhan. Adiknya itu selalu menghubunginya lebih dulu. Ranty mengambil ponselnya untuk memeriksa pesan masuk namun tidak ada pesan dari Renata. Memang selama ini, sesekali ia bergantian dengan Arhan menjaga Renata di rumah sakit, jika Arhan tidak terlalu capek sepulang kerja. Pun Arhan sudah menganggap Renata seperti adiknya. Malam ini, memang giliran Arhan yang menjaga Renata di rumah sakit seperti yang dijanjikannya. Mungkin karena itulah Renata mengirimkan pesan kepadanya. Tapi, melihat Arhan tertidur pulas, Ranty berinisiatif yang menjaga Renata malam ini di rumah sakit. Seenggaknya untuk menghilangkan rasa kecewanya atas pengkhianatan Arhan. Ranty pergi ke rumah sakit. Untungnya sekarang kamar rawat Renata sudah pindah ke kelas VIP. Jadi, selalu ada perawat yang membantu menjaganya. Itu juga karena Arhan, katanya agar Renata bisa mendapatkan perawatan intensif. Di kamar rumah sakit, ia tidak melihat Renata ada di bednya. Di sana hanya ada suster yang terkantuk-kantuk duduk di kursinya. "Mana Renata?" Panik Ranty bertanya seraya mengguncang punggung suster. Suster terbangun, seketika ikut panik. Karena ketiduran, dia jadi tidak tahu ke mana pergi Renata. Ranty mencoba tetap tenang. Mungkin Renata sedang keluar mencari udara segar. Ia pun pergi keluar mencari-cari Renata namun sang adik tidak ada di sana. Ranty mencoba menghubungi nomor Renata namun tidak aktif. Ia semakin panik, takut terjadi hal buruk dengan Renata. Mau tak mau Ranty tepaksa menelepon Arhan. "Iya, ada apa, Dik?" Tidak biasanya Arhan langsung terbangun mendengar dering ponselnya, suaranya juga terdengar segar. Biasanya, suaminya itu sangat susah dibangunkan kalau sudah tertidur pulas. Ia mengabaikannya, mungkin Arhan terbangun karena mau buang air kecil. "Mas, Renata tidak ada di kamarnya." Panik Ranty berkata sambil terisak-isak. "Kamu tenang saja, Dik. Mungkin Renata keluar untuk mencari udara segar. Kamu tidak perlu terlalu khawatir. Nanti juga dia pasti balik lagi." Entah apa yang ada di pikiran Ranty sekarang. Mendengarnya, ia pun setuju dengan Arhan. Udara malam di luaran sangat dingin, Ranty memutuskan kembali ke dalam dan menunggu Renata di sana. Namun, denting notif pesan dari ponselnya menghentikan langkahnya. Cepat-cepat Ranty membukanya, berharap dari Renata yang memberitahu keberadaannya. [Ibu Ranty, datanglah ke hotel tadi. Pak Arhan baru saja check-in dengan wanita itu] Pesan dari asisten Arhan. Seketika segala sesuatu di sekitarnya seolah-olah runtuh menimpa dirinya. Ranty mencengkeram erat tiang lampu taman guna menahan tubuhnya. Kedua lututnya seolah-olah lumpuh tidak lagi bisa digerakkan. Dadanya terasa sesak sekarang. "Mas ..." rintihnya bersama airmata yang berdesakan hendak menumpah. Banyak pesan yang masuk namun Ranty tidak berani membukanya. Hatinya masih bimbang, antara menunggu Renata di sini, atau ke hotel mengintai Arhan dengan selingkuhannya. Dan ... dari rumah sakit ia pergi ke hotel dimana Arhan bersama selingkuhannya. Ia sudah tidak memperdulikan berita apa yang dimuat media wartawan esok hari. Ia tak lagi memikirkan kehancuran karier Arhan bila skandal perselingkuhannya terbongkar. "Di mana mas Arhan?" "Pak Arhan ada di kamar yang itu, Bu," tunjuk Hendra, asisten Arhan. Ranty berjalan mendekati kamar tersebut. Matanya memang menatap pintu kamar berwarna coklat muda di depan mukanya. Namun, pikirannya entah di mana. Ranty hanya berdiri beberapa menit lamanya, sebelum mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Namun, gagal setelah mendengar suara pintu yang dibuka dari dalam. Karena panik, Ranty langsung bersembunyi. Dari persembunyiannya, ia mengintip ke arah pintu kamar yang mulai terbuka. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, menunggu sosok wanita yang bersama Arhan keluar. GLEKK Bak di sambar petir di siang bolong. Ranty hampir saja kejang-kejang, melihat siapa wanita yang tengah bermanja-manja di bahu Arhan. Sementara Arhan begitu mesra memeluk pinggang rampingnya. ***"Manalah Mas tahu, Dik. Kita saja tidur di kamar tadi." Arhan mencondong ke depan. "Atau, jangan-jangan kamu mau menuduh Mas membawa wanita lain ke rumah ini, Dik?" Ranty berjengit karena kagetnya. Matanya terpaku di wajah Arhan. Suaminya ini sangat pintar menyudutkannya. Harusnya dia sadar, banyak alasan yang bisa menuduhnya. Mulai dari Arhan masuk kamar dengan setengah telanjang tadi. Lalu, maksudnya, Renata itu bukan wanita lain di pernikahan mereka? Tapi... "Aku tidak berkata seperti itu, Mas." "Yah, kamu juga tentu tahu suamimu ini pria yang setia, kan, Dik. Dari dulu Mas selalu pegang teguh ikrar pernikahan kita." Arhan menyempatkan mencium pipinya yang memerah dan memanas. Bajingan! Buaya mana mau mengaku sudah menelan bangkai. "Oiya? Mas nggak ingat---" "Maafkan aku, Mbak, ini punya Rena. Tadi Rena kegerahan niatnya mau mandi, tapi nggak jadi. Tadi Rena sempat bersantai-santai sebentar di sini. Tapi, pas kembali ke kamar, Rena kelupaan membawa pakaian Rena,
Tidak mau terus-terus di serang rasa sakit, ia kembali ke kamar dengan berjalan berjinjit pelan-pelan. Ia tidak mau suara langkah kakinya, menganggu dua orang yang tengah memulai permainan panas mereka. Di kamar, Ranty menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua matanya yang sembab menatap langit-langit kamar. Pikirannya masih terganggu dengan apa yang di dengarnya barusan."Arhan tinggal membutuhkan tanda tanganku?"Ranty menyeka air mata dari kedua pipinya. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah pengakuan Arhan tadi. Suaminya itu sampai hati menaruh obat tidur di minumannya.Walau sudah tahu rencana jahat sang suami, tetapi tetap saja ada rasa takut suaminya itu benar-benar pergi dan meninggalkannya. Sementara dirinya tidak memiliki siapapun selain Arhan dan Renata.Arghh!Ranty semakin gelisah. Ia bangkit dan duduk dengan memeluk kedua lututnya. Hanya membayangkannya saja ia sudah tidak sanggup, bagaimana jika sampai benar-benar terjadi?Beberapa waktu ia hanya bisa merenung dengan
"Please, hentikan kegilaanmu ini, Mas," desisnya semakin terbakar api cemburu. Giginya mengerat, ingin rasanya ia ke sana untuk menghentikan kegilaan keduanya. Namun, ia merasakan seolah-olah kedua lututnya gemetar dan tidak berdaya berjalan. Seperti biasa Ranty cuma bisa mematung dalam bisu, membiarkan rasa sakit bersarang di sudut hatinya. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan melihat pemandangan yang terus-terus menyakitkan hatinya. "Mas, jawab aku! Apa kamu takut meninggalkan Ranty?" Renata merapatkan dirinya ke dada bidang Arhan. Hingga tampak seperti tidak ada jarak diantara keduanya. Ranty mendengus kasar. Nafasnya memburu. Jelas ia tidak rela tempatnya bermanja-manja dipakai orang lain. Sampai kapanpun ia tidak akan mau mengakui Renata sebagai istri pertama Arhan! "Iya, Sayang. Mas juga sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan istri tercinta Mas ini. Tapi, kita tidak boleh terburu-buru yang malah membuat Ranty jadi curiga nanti." Arhan menjawab seraya meletakkan p
Beberapa menit kemudian, Ranty mulai merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat mengantuk, sebabnya beberapa kali mulutnya terbuka lebar. "Kamu mengantuk, ya, Dik?" tanya Arhan menariknya bahunya. Ranty membiarkan kepalanya jatuh di bahu Arhan. "Iya. Entah, tiba-tiba saja mataku terasa sangat berat dan mengantuk, Mas. Mungkin karena udaranya dingin kali, ya." Ranty memaksakan matanya tetap terbuka, sembari merapatkan tubuhnya ke tubuh sang suami. Membiarkan tubuhnya yang menggigil menyerap kehangatan dari dalam tubuh Arhan. "Jadi gimana, Dik? Kita pulang ke rumah saja atau masih mencari makan untuk kamu?" tanya Arhan mulai merapat ke jalur sisi jalan dan memperlambat laju mobil. Perutnya terasa sangat lapar sekarang, jadi ia harus mengisi perutnya sebelum istirahat nanti. Ia tidak mau di tengah malam nanti terbangun dan mengacak-acak isi lemari dapur. "Kita cari makan saja, Mas, aku sangat lapar. Tadi ... cuma ... makan sedikit ... saja." Ia
Ranty tahu semua itu cuma alasan Arhan. Untuk apa membeli obat untuk Renata, jelas adiknya itu tidak sakit! "Mbak, maafin aku, ya. Aku yang meminta Mas Arhan mengantar aku ke klinik tadi," ucap Renata dengan suara yang parau. "Rena baru sadar stok obat Rena sudah habis," lanjutnya seakan-akan ingin meluruskan kesalahpahaman di antara mereka. "Hmm, tidak apa-apa, Rena. Bukankah bagi Mas Arhan kamu itu sudah seperti adiknya? Jadi, tidak perlu merasa tidak enakan begitu," kata Ranty dengan raut wajahnya yang dibuat-buat senang. Meski tidak melihat Arhan di balik punggungnya, Ranty bisa menebak perubahan sikap dan warna wajah sang suami. "Bukankah begitu, Mas?" tanya Ranty memutar kepalanya melihat Arhan. "I-iya, Dik. I-itu benar, Renata. Jadi tidak perlu merasa tidak enakan, ya," kata Arhan tampak gugup seperti seseorang yang kepergok mencuri. "Iya, terimakasih Mbak Ranty, Mas Arhan. Rena ke kamar dulu, ya," ujar Renata menggenggam erat tas kecil di tangannya Tas tangan ke
Malas, Ranty mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Pikirnya palingan panggilan dari Arhan. Seperti biasanya, sang suami selalu menanyakan keberadaannya, agar Arhan bisa mengatur waktunya memadu kasih dengan Renata. Namun ... "Hendra, kenapa lagi dia?" Kaget Ranty bergumam. Padahal ia sudah memperingatkan pria muda itu agar tidak sembarang meneleponnya. Mau tak mau Ranty terpaksa mengangkat teleponnya. Sekaligus untuk mengingatkan pria muda itu dengan aturan yang sudah ia buat. "Lain kali jangan pernah mene---" "Buk Ranty, apa anda sudah di rumah sekarang?" Dari tempat lain dengan lancang Hendra memotong ucapannya. Sialan! Ini tidak bisa dibiarkan! Urusannya apa, aku di mana? Lama-lama dia semakin lancang dan tidak tahu aturan! Ranty mendengus kesal. "Aku sudah memperingatkan kamu agar jangan meneleponku sembarang!" Ketus Ranty menjawab. "Untung ini aku masih di jalan, bagaimana kalau sudah di rumah? Kamu mau membuat Mas Arhan menuduhku yang macam-macam lagi?"
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments