Sesampainya di rumah setelah pergi dari tempat kejadian, Niara gegas ke kamar dan mengurung diri. Ia tersandar di belakang pintu dengan hati yang tak menentu.
“Nggak mungkin, itu bukan Mas Devan. Aku bisa merasakan dan yakin kalau mayat itu bukan Mas Devan,” gumam Niara yakin. Meskipun keyakinan hatinya begitu besar, namun Niara tetap tidak bisa membendung air matanya. Mengingat jikalau mobil serta ponsel dan dompet di tempat kejadian adalah milik Devan, suaminya. “Jika bukan Mas Devan, lalu siapa? Mas Devan ke mana?” Niara masih berusaha menenangkan hati kecilnya. “Nggak, aku yakin. Mayat itu bukan Mas Devan. Mungkin saja, mobilnya tadi dipinjam sama rekan kerjanya dan Mas Devan memang tidak ada di dalam mobil itu waktu kejadian.” [Tok... Tok... Tok] Ketukan pintu terdengar sangat keras, membuat Niara gegas keluar dari zona pikirnya. “Mas Devan?” ucap Niara dengan penuh harap dan ia pun gegas membuka pintu. Namun, harapan tidak seindah kenyataan. “Pake acara pura-pura nangis segala, bilang aja kamu seneng kan Kak Devan mat*?” “Astagfirullah, Ratna.” “Alah, jangan pura-pura! Aku sudah hafal dengan perempuan-perempuan kayak kamu. Kamu pasti sangat menunggu momen ini, kan? Semua harta warisan Kak Devan atas nama kamu dan Kak Devan mat* hari ini.” Ratna tersenyum licik. “Oh, atau jangan-jangan kecelakaan yang Kak Devan alami adalah hasil rencanamu,” tuduh Ratna. “Ratna, cukup!” Niara mengeraskan suaranya untuk pertama kalinya. Tiba-tiba Erwin datang dengan wajah penuh amarah dan langsung menampar Niara dengan sangat keras sehingga membuat Niara terjatuh ke lantai. “Dasar perempuan mandul nggak tau diri!” hardik Erwin sembari menunjuk Niara dengan jari telunjuknya. “Kamu, berani-beraninya mengeraskan suaramu pada adikku!” “Kak, dia sekarang sudah berani bersikap belagu, pasti dia ngerasa iri sama aku yang bisa hamil. Sedangkan dia mandul. Aku takut kak, gimana nanti kalau dia mau nyelakain aku dengan bayiku? Sebaiknya, kita usir saja dia dari sini!” usul Ratna. Niara tidak bangkit, ia tetap duduk di lantai sembari memegangi pipi bekas tamparan Erwin. “Kamu benar, Ratna.” Erwin pun menarik tangan Niara dengan keras. “Bangun!” “Lepaskan aku!” Niara berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Erwin yang sangat keras. Seorang perempuan berambut sebahu datang dengan menarik sebuah koper berwarna hitam. “Mas Erwin, ngapain kamu pegang perempuan lusuh itu?” ujarnya. Namanya adalah Lia, istri Erwin yang baru saja datang dari luar negeri. Erwin gegas melepas genggaman tangannya pada Niara. “Sayang, kamu sudah pulang. Kenapa nggak bilang sama Mas? Kan Mas bisa jemput kamu di bandara.” Nada bicara Erwin berubah drastis. “Aku buru-buru tau, Mas. Setelah dengar berita tentang Devan, aku segera berangkat. Hp kamu juga nggak bisa dihubungin. Taunya kamu lagi asyik sama perempuan lusuh ini” Lia nampak menghentakkan kakinya. Erwin sedikit membujuk. “Maaf, sayang. Mas tadi lagi repot ngurus masalah Devan.” Erwin mengelus pelan bahu istrinya yang sedang marah. “Perempuan lusuh ini, siapa yang sudi bersama perempuan yang bau bawang seperti dia. Justru aku mau ngasih dia pelajaran karena sudah berani meneriaki Ratna,” jelas Erwin. “Apa, dia berani meneriakki adik iparku yang sedang hamil?” “Benar, Mbak. Aku aja sampai syok, bisa-bisa stress aku, Mbak.” Ratna memperkeruh suasana. Lia pun mendekati Niara dan langsung menarik keras rambut Niara. “Perempuan lusuh nggak tau diri. Dengerin aku! Kalau kamu sekali lagi berani mencelakai adik iparku, aku tidak akan segan-segan mengurungmu dan menyiksamu sampai mati!” ancam Lia. Niara berusaha menahan tarikan Lia yang mengakibatkan leher Niara tercekik dan kehabisan nafas. “Kamu ngerti?” ucap Lia melotot. “I-iya, Mbak,” jawab Niara susah payah. “Tolong lepaskan, aku!” Lia pun melepaskan tarikan rambut Niara. “Bawakan koperku ke kamar, setelah itu buatkan jus untuk Ratna. Cepat!” titah Lia. “Ba-baik, Mbak.” Niara gegas mengerjakan perintah. “Mbak, sebaiknya kita usir saja perempuan lusuh itu dari rumah ini,” usul Ratna. Lia menuntun Ratna untuk duduk di sofa yang diikuti oleh Erwin. “Benar, Sayang yang dikatakan Ratna. Perempuan itu cuman kelihatan lugu saja. Kita nggak tahu apa yang akan dia lakukan pada kita ke depannya,” Erwin menimpali. “Dengar, kita bisa manfaatkan Niara selama dia berada di rumah ini. Kita nggak perlu buang-buang duit buat bayar pembantu dan juga kita nggak perlu capek-capek kerja nyari uang karena aku dengar jikalau Niara akan menggantikan posisi Devan sebagai direktur. Kalian pasti mau kan, hidup nyaman cuman hengkang kaki di rumah terus jalan-jalan, belanja ke mall sesuka hati tanpa harus kerja, kita nikamti harta warisan Devan yang sudah dia berikan atas nama Niara perempuan lugu itu.” Erwin dan Ratna saling menatap, kemudian keduanya mengangguk bersamaan. “Kamu memang cerdas, Sayang. Aku emang nggak salah nyari istri,” puji Erwin bangga. “Ya sudah, aku akan segera urus surat kematian Devan dan balik namakan semua harta dia ke Niara.” Di lain ruangan, Niara mengerjakan semua pekerjaannya sambil menahan bulir bening yang sedari tadi tak hentinya berjatuhan ke pipi. Wanita mana yang tidak bersedih di saat sang suami tercinta dikabarkan sudah tidak bernyawa, jangankan mengerjakan pekerjaan rumah, makan saja rasanya tidak ada selera. Namun, dikarenakan kejamnya para ipar, ia terpaksa untuk memaksakan diri yang sedang sangat lemah itu. Setelah semua diurus, seorang notaris datang lagi ke rumah Devan. “Baik, sebagaimana wasiat dari almarhum, semua warisan dibalik namakan atas nama Niara Amelia Puteri yang berupa tabungan sebesar lima puluh milyar, lima buah vila dan rumah ini beserta isinya.” Mata Ratna, Lia dan Erwin membulat. “Ada lagi wasiat almarhum, Ibu Niara akan menggantikan posisi Pak Devan sebagai direktur selama yang Ibu Niara bisa. Bagaimana, Bu?” Ratna menyenggol kaki Niara karena Niara sedari tadi melamun, ia masih dalam kabut duka atas kehilangan suaminya. “Iya, Pak. Saya akan terima dan jalani semua wasiat dari suami saya,” jawab Niara yang sebenarnya menolak dalam hatinya. Notaris itu pu menyerahkan selembar kertas penting bermeterai untuk Niara tanda tangani, Niara menurut saja dan melabuhkan tanda tangannya di atas materai karena sudah diancam oleh para iparnya yang jahat. “Baik, Bu. Terima kasih, uang tabungan milik Pak Devan bisa cair setelah waktu enam bulan dari sekarang.” “Apa, enam bulan? Lama sekali,” sambar Erwin. “Iya, Pak. Itu juga sesuai dengan wasit Pak Devan. Saya hanya bisa menjalankan tugas saya sebagai notaris.” “Tapi,” Lia gegas menenangkan suaminya yang tidak sabaran itu. “Kalau begitu saya pamit. Terima kasih atas waktu Bapak, Ibu.” Setelah notaris beranjak, kembali Niara mendapatkan amukan dari para iparnya. “Dengar ya, Niara. Kamu sama sekali tidak ada hak atas harta Devan sepeserpun. Dia itu adikku, saudara kandung kami sedangkan kamu hanya hama yang masuk ke keluarga kami. Jadi, tabungan Devan, rumah ini dan villa adalah milik kami. Jangan harap kamu akan menikmatinya sedikit pun.” Niara hanya mengangguk sembari menahan sakit. “Sudah, Mas. Jangan sampai lukai wajahnya karena besok dia harus pergi kerja.” Lia berusaha melepaskan Niara dari kemarahan Erwin. “Kamu, Niara. Jangan berani mengadu pada siapa pun. Kalau kamu berani, kamu akan rasakan akibatnya!” ancam Lia. Niara meringis dan mengangguk. Selain diperintah layaknya pembantu, Niara juga ditempatkan di ruangan pembantu dan ia juga tidak bisa melakukan apapun yang ia senangi selain dari mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Kamar yang nyaman, makanan yang layak digerus habis oleh iparnya yang kejam. “Ya Allah, kuatkan Hamba dan bantu Hamba mencari tahu kebenaran tentang suami Hamba. Hamba masih sangat yakin jika suami Hamba masih hidup,” lirih Niara di setiap doa nya sesuai shalat lima waktu.Suara ponsl berdering, salah seorang lelaki berbadan kekar itu merogoh ponselnya yang berada di dalam saku celananya. “Hallo, Tuan.... Baik, kami akan segera ke sana.” berbicara pada ujung telephone. “Cepat, Tuan meminta kita berdua ke markas!” ujarnya mengajak teman di sampingya. “Tapi, gimana dengan dua tawanan Tuan? Siapa yang jagain mereka berdua di sini?” tanya temannya. “Ini perintah Tuan, kamu mau kena amuk sama Tuan?” “Enggak lah. Cepatan kita berangkat!” Mereka berdua pun bergegas pergi meninggalkan Niara dengan Devan yang masih sibuk berbincang bersama. Tak berapa lama, selang beberapa menit kepergian kedua penjaga itu, Devan pun mengajak Niara untuk keluar dari rumah milik Rizwan. “Sayang, ayok kita pergi dari sini! Jangan lepasin tangan aku ya!” titah Devan memegangi tangan Niara dengan erat. “Tapi, Mas. Bukannya di depan banyak penjaga?” Devan memegangi pipi Niara dan menatapnya dengan dalam. “Sayang, kamu tenang aja. Di depan enggak ada siap-s
Getar di dada Niara tak membuat Niara gentar, ada rasa senang dan takut bercampur menjadi satu. Perlahan ia mengikuti langkah Erwin yang berjalan di depannya. Erwin, kakak ipar yang sempat hendak melecehkannya itu membawa kabar yang sangat tidak Niara duga. Benarkah, jika apa yang selama dua tahun belakangan ini yang dia lakukan pada Niara hanyalah dusta belaka? Jarak kamar dengan ruangan tengah lumayan memakan beberapa langkahan kaki, rumah megah ini membuat jarak tiap ruangan lumayan berjarak. Niara telah sampai di ruangan tengah, ia segera menatap tengkuk kepala belakang pria yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Ada tanda di kepala itu, tanda yang dulunya sangat Niara kenali. "Mas Devan," gumam Niara. Seketika, tengkuk kepala itu bergeser, membalikkan kepalanya kepada Niara. Kali ini Niara benar-benar bahagia, sosok yang selama ini ia rindukan sekarang berada di depan matanya. "Ara," ucap Devan dengan bibir yang bergetar. Ia berdiri, dengan mata yang berkaca-kaca
Lelaki itu masih lekat menatap Niara yang hampir kehabisan napas. Ia masih tak percaya dengan apa yang menghadang di hadapan matanya. Senyuman terukir dari bibir laki-laki itu, ia kemudian berdiri dan bertepuk tangan dengan riang gembira. "Niara, kenapa kamu menatapku begitu? Kamu nggak menyangka kalau kita akan ketemu lagi?" ucapnya berjalan mendekat ke arah Niara yang terdiam mematung. Rizwan juga bangkit dari kursinya. Ia dengan cepat meraih jemari lelaki itu yang hampir saja memegangi dagu Niara. "Syut... Jangan kamu sentuh calon pengantinku, Win!" titah Rizwan. Niara menatap lekat kepada Rizwan. Seolah memberikan pertanyaan kepadanya. "Kenapa, Ra? Kamu nyari siapa?" tanya Rizwan mengolok-olok. Niara segera memegangi kerah baju Rizwan. "Di mana Devan? Di mana suamiku Devan?" teriak Niara kepada Rizwan. Lelaki yang berada di antara neraka itu menarik Niara, menjauhkan dari Rizwan. "Lepaskan!" Berontak Niara. "Erwin, bawa dia ke kamarku!" titah Rizwan memperbaiki
Seorang lelaki berbadan kekar yag sedari tadi menunggu di depan pintu ruangan VVIP dengan tegas meminta Niara untuk ikut bersamanya atas perintah dari Rizwan. Niara tak menyanggah, ia menyatjui perintah dan mengikuti lelaki tersebut. Rahel menahan tangan Niara dengan cepat agar langkahnya terhenti. “Ra, janga!” pinta Rahel sembari menggelengkan kepalanya. Niara perlahan melepaskan tangan Rahel darinya. “Kamu jagan khawatir, Hel. Aku enggak akan kenapa-napa kok. Aku janji akan rutin hubungin kamu.” Niara beralih kepada Aisyah yang terdiam di pojok. “Aisyah, aku minta tolong nitip Rahel sama Alex ya ke kamu. Jaga mereka!” pinta Niara dengan sangat penuh permohonan. Aisyah menjawab dengan anggukan lembut. “Terima kasih banyak, Aisyah.” Memeluk Aisyah dengan erat. “Tapi, gimana dengan kamu, Mbak?” tanya Aisyah perlahan. “Sudah, jangan khawatirin aku. Aku pergi!” Niara yang sudah kembali dipanggil oleh lelaki itu segera meninggalkan ruangan. Ia mengikuti langkah lelaki itu d
Mendapati Ekspresi Niara, Aisyah gegas mengambil ponselnya yang jatuh ke lantai. "Mbak, ada apa?" "Kenapa Rizwan?" ucap Niara. 'Aisyah, Aisyah. Kamu mau bantuin mereka?' Suara dari balik telepon itu menarik perhatian Aisyah. "Pak Rizwan," ucapnya gegas menempelkan ponselnya ke telinga. 'Pak, kenapa bisa ponsel Pak Van sama Bapak? Pak, saya perlu bicara dengan Pak Van.' Aisyah mulai takut dengan Rizal setelah mendengar pernyataan dari Niara dan Rahel bagaimana bejatnya dia. 'Berikan kembali pada Ara, aku mau ngomong sama dia!' Aisyah menurut, segera memberikan ponselnya kembali kepada Niara. "Mbak, Pak Rizwan mau ngomong." 'Ara, apa kamu tau orang yang sedang kamu hubungi ini? Dia adalah orang hang selama ini kamu cari...,' ucap Rizwan. 'Bicara!' ujarnya menyuruh seseorang. Niara terdiam. Menunggu... 'Ara, ini aku,' ucap dari balik telepon, suaranya terdengar susah payah. 'Mas Devan,' teriak Ara histeris. Meskipun sudah sangat lama tidak mendengar suara Devan, Niar
'"Apa, menikah denganmu?" Niara berdiri, menggertak meja. "Enggak!" lanjutnya. Bukan hanya sampai di situ, Niara juga menumpahkan isi minumannya kepada Rizwan. Bukannya balik memarahi, Rizwan hanya tersenyum menanggapi Niara. Ia kembali merogoh ponselnya, menelpon seseorang dan ia berbincang dengan ponselnya. Napas Niara naik turun, ia masih berusaha mengolah emosi. "Di mana Rahel, Ra? Bawa dia ke sini! Aku akan serahkan Alex padanya." Rahel pasti sudah mendengar apa yang Rizwan katakan. Entah benar atau tidak ucapan Rizwan, yang pasti Niara belum sepenuhnya mempercayai. Niara masih berhati-hati, terlebih dengan kebaikan hati Rizwan saat ini. 'Rahel, kamu di mana?' tanya Niara pada earphone yang terpasang. 'Aku menuju ruangan, Ra. Secepatnya sampai.' Ceklek... Pintu terbuka, memperlihatkan Rahel yang gelagapan. Dia seperti habis berlari kencang. "Di mana anakku?" ucap Rahel segera. "Sabar, Hel. Aku akan penuhi janjiku karena kamu sudah membawa Ara padaku. Seben