Pagi hari sekali, Niara telah berdandan cantik dengan pakaian yang sudah lama tersimpan di dalam almari, ia kembali akan menjalani hari dengan bekerja di kantor seperti dulu sebelum ia memutuskan menikah dengan Devan. Penampilannya terlihat sangat elegan dan anggun, membuat setiap pasang mata yang menatapnya tidak akan percaya jikalau ia adalah Niara.
Erwin tak berkedip saat melihat Niara yang hendak berangkat bekerja, ia terpana dengan kemolekan dan keanggunan sang adik ipar yang selalu ia caci dan siksa. “Sudah mau berangkat, Niara?” tanya Erwin dengan nada yang berbeda dari biasanya. Niara sedikit memberi jarak. “Iya, Kak.” “Naik apa? Apa mau aku anterin?” Suara Erwin semakin memelan. Niara menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Kak. Niara ada yang jemput,” jawab Niara yang merasa tidak nyaman terhadap perubahan sikap kakak iparnya. “Dasar, mentang-mentang udah kerja. Kamu berani menolak ajakanku.” Suara Erwin kembali menggelegar seperti biasanya, tangannya siap melayang mengarah ke pipi Niara. “Mas,” teriak Lia dari tangga. Erwin menelan salivanya dengan berat. Lia gegas menuruni anak tangga. “Ada apa ini, Mas? Pagi-pagi udah ribut.” Niara hanya menundukkan kepalanya. “Ini Sayang, perempuan lusuh ini berani-beraninya ngegodain aku. Ya aku langsung nolak, dong. Aku kan sudah ada kamu,” ucap Erwin membalikkan keadaan. Mendengar ucapan Erwin, Niara langsung saja mengangkat kepalanya. “Enggak, dia bohong!” tolak Niara tegas. “Berani kamu? Kamu mau fitnah aku?” Erwin masih membela diri, ia berdiri di belakang Lia seperti anak kecil yang meminta perlindungan pada ibunya. “Sayang, kamu jangan percaya sama dia!” “Sudah, cukup! Niara, bukannya kamu seharusnya sudah berangkat? Cepat, sopirmu sudah menunggu di depan.” Lia memilih untuk tidak memperbesar perdebatan yang ada. “Iya, Mbak. Kalau gitu, Niara berangkat dulu.” Niara pun gegas meninggalkan suami-istri itu, di depan rumah sebuah mobil hitam yang biasanya dikendarai oleh Devan sudah menunggu, seorang asisten kepercayaan Devanlah yang akan menjemput dan mengantarkan Niara setiap hari yang akan datang. Di perjalanan, Niara sesak menahan isak dikarenakan mobil yang menyimpan berjuta kenangan ini mengingatkannya masa-masa indah bersama yang Niara dan Devan lalui bersama. Mobil Devan yang telah hancur waktu kecelakaan diperbaiki kembali. Meski tidak seutuhnya, namun beberapa kenangan masih terasa. “Ibu Ara baik-baik saja?” tanya Ruben, asisten sekaligus sopir Niara. Niara menyeka air matanya dengan cepat. “Tidak apa-apa. Lanjutkan saja perjalanannya!” “Baik, Bu.” Ruben kembali melajukan mobil hingga sampai ke kantor. Sesampainya di kantor, Niara menatap dengan dalam gedung kantor yang sudah kian tahun tidak dia datangi, cerita masalalu mulai berkecamuk bermunculan memenuhi kepala. Tempat pertama yang mempertemukan dirinya dengan sang pujaan hati tercinta. “Mari, Bu. Orang-orang sudah menunggu,” ucap Ruben menyadarkan Niara dari lamunan. Niara tersenyum seulas, ia mulai melangkahkan kakinya dengan yakin memasuki gedung kantor. Priitttt.... “Selamat datang kembali Ibu Niara...” Sorakan yang seirama memenuhi ruangan. Diiringi dengan kertas warna-warni yang beterbangan. Air mata yang sedari tadi Niara tahan akhirnya jatuh ke pipinya. Teman-teman yang dulu berjuang bersamanya masih ingat dan sayang pada Niara. “Kalian semua, terima kasih.” “Niara, kangen.” Rahel, teman Niara yang sangat setia. Matanya berkaca-kaca memperlihatkan kerinduannya yang sangat mendalam. “Rahel,” ucap Niara gegas memeluk temannya itu. “Yang sabar ya, Ra!” Setelah sekian hari berlalu semenjak kabar meninggalnya Devan, baru kali ini ada yang memeluk Niara da menyemangatinya. Terasa sangat nyaman dan tenang bagi Niara. Suasana haru menyelimuti, setelah bersapa salam dengan orang kantor yang lama dan memperkenalkan diri pada orang-orang kantor yang baru, Niara menuju ruangan kerjanya. Saat berada di ambang pintu ruangan yang terbuka, Niara menarik nafas dalam dan menghembuskannya untuk mempersiapkan diri. Niara menatap meja kerja Devan dengan saksama, dilihatnya sebuah foto berbingkai yang terpampang di atas meja, foto pernikahan mereka berdua yang sedang tersenyum sangat lebar memperlihatkan sebuah kebahagiaan. “Mas,” ucap Niara bergetar. Tok... Tok... Tok Suara ketukan pintu membuat Niara terkesiap, ia meletakkan kembali foto ke tempat asalnya. “Ruben, Bu.” “Silakan masuk!” Niara mempersilakan. Ruben yag membawa tumpukkan dokumen penting masuk ke dalam ruangan Niara. “Ini, Bu. Berkas-berkas milik Pak Devan. Harus saya taruh di mana?” “Taruh saja di sini!” Niara menunjuk ke atas meja utama. Ruben segera melaksanakan. “Kalau begitu saya permisi, kalau Ibu ada perlu apa-apa tinggal panggil saya saja!” Niara mengangguk memberikan jawaban. Saat Ruben hampir saja keluar dari ruangan, Niara memanggilnya.”Ruben,” panggil Niara setelah pertimbangan yang panjang. Sontak saja Ruben menghentikan langkah kakinya dan membalikkan badan. “Iya, Bu.” “Emm, jika tidak membuatmu kerepotan, bolah saya minta tolong berikan saya jadwal yang menjadi kebiasaan Pa Devan di kantor selama ini? Tapi saat kamu ada waktu senggang saja.” Ruben tersenyum lembut. “Tentu, Bu. Saya sudah sangat hafal dengan kebiasaan beliau. Secepatnya akan saya kirimkan.” “Terima kasih, Ruben. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu sekarang.” Ruben beranjak dari ruangan Niara, Niara pun hendak fokus mengeksplor ruangan persegi yang semulanya menjadi tempat Devan berlalu lalang, di ruangan ini membuat Niara merasa sangat dekat dengan Devan. “Mas, aku bukannya belum ikhlas. Tapi, aku masih yakin jika kamu masih ada di sini, di sekitarku.” Niara dan Devan dulunya seorang direktur dan asisten, setelah lama kerja bersama mereka sama-sama menaruh hati satu sama lain sehingga mereka berdua memutuskan untuk menikah. Setelah menikah, Niara mengalami kecelakaan yang membuatnya sangat trauma hanya untuk sekedar ke luar rumah. Saat itulah Niara memutuskan untuk tinggal di rumah dan ingin hidup layaknya seorang istri yang menghabiskan waktunya untuk mengabdi pada suaminya, Niara memutuskan resign dari pekerjaannya. Semula berjalan lancar, sebelum iparnya datang dan mengemis untuk tinggal bersama di rumah Devan. “Bu Ara,” panggil seseorang dari pintu. “Rahel, masuk! Kenapa berdiri di situ?” Wajah Nira sumringah kembali. Rahel pun duduk di kursi, berhadapan dengan meja direktur. “Aku kangen banget sama kamu, Hel.” Niara menarik tangan Rahel dengan lembut. Rahel menatap Niara menyelidik. “Kamu kok kurusan banget, Ra? Tanganmu juga nggak selembut dulu. Kamu nggak kenapa-napa, kan? Kamu nggak lagi sakit, kan?” tanya Rahel khawatir, bagaimana tidak. Seorang sahabat pasti sangat tidak ingin sahabatnya kesakitan, mereka berdua sudah bersahabat cukup lama dan Rahel bahkan sudah menganggap Niara sebagai adiknya. “Enggak ada apa-apa kok, Hel. Aku sehat.” Rahel menempelkan tangannya ke dahi Niara. “Tapi, kamu kayak beda, Ra. Nggak kayak dulu. Apa Devan nggak ngasih kamu makan? Dasar tuh anak, apa perlu gue tuntut ke kuburannya atau apa ada orang yang berani nyakitin kamu? Sini, kasih tau aku siapa orangnya biar kuhajar habis-habisan.” “Hel, beneran! Aku baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatir.” Niara yang sudah hafal dengan sifat temannya itu berusaha meyakinkan. Rahel bangkit dari kursi, ia mendatangi Niara untuk memeluknya. “Ara, kamu itu sudah aku anggep sebagai adik, aku ngggak mau dan nggak bisa ngeliat adikku merasa kesakitan. Kebahagiaan kamu adalah kebahagiaanku dan dukamu adalah dukaku juga.” “Makasih, Hel. Makasih karena kamu selalu baik sama aku selama ini, di dunia ini rasanya cuman kamu tersisa orang yang sayang sama aku, yang nanyain perasaan aku gimana dan nyemangatin aku. Mas Devan udah...” Ucapan Niara tercekat. “Ra, kamu yang sabar! Ada aku di sini, kamu nggak bakalan sendirian lagi.” Rahel menyeka air mata Niara, jika sampai Rahel mengetahui betapa menyedihkannya kehidupan Niara akhir-akhir ini, entah apa yang akan dia lakukan untuk memberikan pelajaran kepada para ipar Niara. “Kalau ada yang menyakitimu, bilang sama aku ya Ra.” Niara mengangguk mengiyakan. “Hel, nanti bisa bawa aku ke makam Mas Devan? Sejak awal aku nggak datang ke sana, aku mau yakinin sesuatu.” “Tentu, Ra. Ke mana pun kamu mau, aku siap anterin dan nemenin kamu.” Sejak acara pemakaman Devan, Niara tidak ikut serta dikarenakan para ipar yang menghalanginya, memberikan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Niara memang belum percaya jika yang terkubur di bawah tanah itu adaalah suaminya, namun ada sesuatu yang ingin dia yakinkan di sana.Suara ponsl berdering, salah seorang lelaki berbadan kekar itu merogoh ponselnya yang berada di dalam saku celananya. “Hallo, Tuan.... Baik, kami akan segera ke sana.” berbicara pada ujung telephone. “Cepat, Tuan meminta kita berdua ke markas!” ujarnya mengajak teman di sampingya. “Tapi, gimana dengan dua tawanan Tuan? Siapa yang jagain mereka berdua di sini?” tanya temannya. “Ini perintah Tuan, kamu mau kena amuk sama Tuan?” “Enggak lah. Cepatan kita berangkat!” Mereka berdua pun bergegas pergi meninggalkan Niara dengan Devan yang masih sibuk berbincang bersama. Tak berapa lama, selang beberapa menit kepergian kedua penjaga itu, Devan pun mengajak Niara untuk keluar dari rumah milik Rizwan. “Sayang, ayok kita pergi dari sini! Jangan lepasin tangan aku ya!” titah Devan memegangi tangan Niara dengan erat. “Tapi, Mas. Bukannya di depan banyak penjaga?” Devan memegangi pipi Niara dan menatapnya dengan dalam. “Sayang, kamu tenang aja. Di depan enggak ada siap-s
Getar di dada Niara tak membuat Niara gentar, ada rasa senang dan takut bercampur menjadi satu. Perlahan ia mengikuti langkah Erwin yang berjalan di depannya. Erwin, kakak ipar yang sempat hendak melecehkannya itu membawa kabar yang sangat tidak Niara duga. Benarkah, jika apa yang selama dua tahun belakangan ini yang dia lakukan pada Niara hanyalah dusta belaka? Jarak kamar dengan ruangan tengah lumayan memakan beberapa langkahan kaki, rumah megah ini membuat jarak tiap ruangan lumayan berjarak. Niara telah sampai di ruangan tengah, ia segera menatap tengkuk kepala belakang pria yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Ada tanda di kepala itu, tanda yang dulunya sangat Niara kenali. "Mas Devan," gumam Niara. Seketika, tengkuk kepala itu bergeser, membalikkan kepalanya kepada Niara. Kali ini Niara benar-benar bahagia, sosok yang selama ini ia rindukan sekarang berada di depan matanya. "Ara," ucap Devan dengan bibir yang bergetar. Ia berdiri, dengan mata yang berkaca-kaca
Lelaki itu masih lekat menatap Niara yang hampir kehabisan napas. Ia masih tak percaya dengan apa yang menghadang di hadapan matanya. Senyuman terukir dari bibir laki-laki itu, ia kemudian berdiri dan bertepuk tangan dengan riang gembira. "Niara, kenapa kamu menatapku begitu? Kamu nggak menyangka kalau kita akan ketemu lagi?" ucapnya berjalan mendekat ke arah Niara yang terdiam mematung. Rizwan juga bangkit dari kursinya. Ia dengan cepat meraih jemari lelaki itu yang hampir saja memegangi dagu Niara. "Syut... Jangan kamu sentuh calon pengantinku, Win!" titah Rizwan. Niara menatap lekat kepada Rizwan. Seolah memberikan pertanyaan kepadanya. "Kenapa, Ra? Kamu nyari siapa?" tanya Rizwan mengolok-olok. Niara segera memegangi kerah baju Rizwan. "Di mana Devan? Di mana suamiku Devan?" teriak Niara kepada Rizwan. Lelaki yang berada di antara neraka itu menarik Niara, menjauhkan dari Rizwan. "Lepaskan!" Berontak Niara. "Erwin, bawa dia ke kamarku!" titah Rizwan memperbaiki
Seorang lelaki berbadan kekar yag sedari tadi menunggu di depan pintu ruangan VVIP dengan tegas meminta Niara untuk ikut bersamanya atas perintah dari Rizwan. Niara tak menyanggah, ia menyatjui perintah dan mengikuti lelaki tersebut. Rahel menahan tangan Niara dengan cepat agar langkahnya terhenti. “Ra, janga!” pinta Rahel sembari menggelengkan kepalanya. Niara perlahan melepaskan tangan Rahel darinya. “Kamu jagan khawatir, Hel. Aku enggak akan kenapa-napa kok. Aku janji akan rutin hubungin kamu.” Niara beralih kepada Aisyah yang terdiam di pojok. “Aisyah, aku minta tolong nitip Rahel sama Alex ya ke kamu. Jaga mereka!” pinta Niara dengan sangat penuh permohonan. Aisyah menjawab dengan anggukan lembut. “Terima kasih banyak, Aisyah.” Memeluk Aisyah dengan erat. “Tapi, gimana dengan kamu, Mbak?” tanya Aisyah perlahan. “Sudah, jangan khawatirin aku. Aku pergi!” Niara yang sudah kembali dipanggil oleh lelaki itu segera meninggalkan ruangan. Ia mengikuti langkah lelaki itu d
Mendapati Ekspresi Niara, Aisyah gegas mengambil ponselnya yang jatuh ke lantai. "Mbak, ada apa?" "Kenapa Rizwan?" ucap Niara. 'Aisyah, Aisyah. Kamu mau bantuin mereka?' Suara dari balik telepon itu menarik perhatian Aisyah. "Pak Rizwan," ucapnya gegas menempelkan ponselnya ke telinga. 'Pak, kenapa bisa ponsel Pak Van sama Bapak? Pak, saya perlu bicara dengan Pak Van.' Aisyah mulai takut dengan Rizal setelah mendengar pernyataan dari Niara dan Rahel bagaimana bejatnya dia. 'Berikan kembali pada Ara, aku mau ngomong sama dia!' Aisyah menurut, segera memberikan ponselnya kembali kepada Niara. "Mbak, Pak Rizwan mau ngomong." 'Ara, apa kamu tau orang yang sedang kamu hubungi ini? Dia adalah orang hang selama ini kamu cari...,' ucap Rizwan. 'Bicara!' ujarnya menyuruh seseorang. Niara terdiam. Menunggu... 'Ara, ini aku,' ucap dari balik telepon, suaranya terdengar susah payah. 'Mas Devan,' teriak Ara histeris. Meskipun sudah sangat lama tidak mendengar suara Devan, Niar
'"Apa, menikah denganmu?" Niara berdiri, menggertak meja. "Enggak!" lanjutnya. Bukan hanya sampai di situ, Niara juga menumpahkan isi minumannya kepada Rizwan. Bukannya balik memarahi, Rizwan hanya tersenyum menanggapi Niara. Ia kembali merogoh ponselnya, menelpon seseorang dan ia berbincang dengan ponselnya. Napas Niara naik turun, ia masih berusaha mengolah emosi. "Di mana Rahel, Ra? Bawa dia ke sini! Aku akan serahkan Alex padanya." Rahel pasti sudah mendengar apa yang Rizwan katakan. Entah benar atau tidak ucapan Rizwan, yang pasti Niara belum sepenuhnya mempercayai. Niara masih berhati-hati, terlebih dengan kebaikan hati Rizwan saat ini. 'Rahel, kamu di mana?' tanya Niara pada earphone yang terpasang. 'Aku menuju ruangan, Ra. Secepatnya sampai.' Ceklek... Pintu terbuka, memperlihatkan Rahel yang gelagapan. Dia seperti habis berlari kencang. "Di mana anakku?" ucap Rahel segera. "Sabar, Hel. Aku akan penuhi janjiku karena kamu sudah membawa Ara padaku. Seben