"Gak maaauuu! Mama, aku gak mau nikah sama Anand, Ma. Aku gak mau, serius, Ma!"
"Pa! Papa tolong dengerin jeritan anakmu satu-satunya ini, Pa. Aku gak mau nikah sama Anand, Pa. Aku mohon." Dira berlutut, beralih dari ayahnya ke ibunya sambil merengek, tetapi kedua orang tuanya tetap bergeming. "Berhenti kekanak-kanakan, Nadira. Kami tahu mana yang terbaik buat kamu, bahkan melebihi kamu sendiri. Dan masalah ini gak bisa lagi ditawar-tawar. Tinggal satu hari lagi, Dira. Semua orang yang terpenting sudah diundang, ibunya Anand juga sudah mengetahui hal ini." Dira cemberut dengan air mata yang menganak sungai. "Papa gak bisa gitu dong, Pa. Kenapa Papa egois? Aku juga punya pacar, Pa. Aku punya pilihan sendiri, aku punya keinginan sendiri buat hidup aku. Pacar aku lebih tampan dan pantas jadi suami aku daripada Anand. Aku gak mau, Pa." "Putusin dia." "Papa jangan keterlaluan! Jangan atur-atur aku seperti ini, Pa. Aku lebih baik kabur sama Danil daripada punya orang tua kayak Papa." "Nadira!" Abram membentak sambil bangkit dari duduknya, matanya melotot tajam, dadanya naik turun. Dila sampai meringkuk ketakutan. "Ya Tuhan, Dira ... Sabar, Pa, jangan sambil marah-marah," bisik Melati. "Papa sudah berusaha mengendalikan diri, Ma. Tapi lihat dia, seolah sengaja menguji kesabaran Papa." Nadira masih meringkuk di atas kursi. "Biar Mama yang bicara, ya?" Abram mengangguk dan menghempaskan tubuhnya kembali ke atas sofa. "Nadira, sayang, dengarkan Mama. Jujur Mama gak setuju sama hubungan kalian. Sudah lama Mama memendam perasaan ini, dan sekarang tidak ada lagi alasan untuk Mama menahannya. Anand jauh lebih baik dari pacar kamu, si Danil itu." "Mama tahu apa? Mama bahkan gak pernah ketemu sama Danil, Mama gak bisa mengambil kesimpulan begitu aja." "Mama tahu, kamu sudah lama pacaran sama dia, dan lihat, apa pengaruhnya? Sering keluar malam, pulang mabuk, boros, dan semakin pintar melawan orang tua. Apa seperti itu laki-laki yang baik?" Nadira merengut, ia tak menyangkal karena semua yang dikatakan Melati memang benar. "Namanya juga anak muda, Ma. Mumpung belum nikah, kan, aku masih bisa menikmati hidup." "Salah! Benar-benar salah pendapat kamu itu. Siapa yang ngajarin, hah? Si Danil itu? Benar-benar kurang ajar anak itu, berani sekali merusak kamu. Suruh dia datang temuin Papa malam ini juga." Nadira terhenyak. "Kenapa? Takut? Kamu bilang dia gak kalah tanggung jawab dari Anand? Ayo suruh dia ke sini malam ini juga, kalau dia benar-benar tanggung jawab pasti dia datang. Cepat telepon dia di sini, Papa mau dengar!" Nadira menghela nafas. Ia sedikit gugup dan cemas, namun keyakinan terhadap Danil dalam hatinya mendorong Nadira untuk benar-benar membuktikan penilaiannya terhadap laki-laki yang ia cintai itu. Ia ingin membuktikan pada papa dan mamanya kalau penilaian mereka lah yang salah. "Halo, Danil?" "Halo, Ra? Aku baru aja mau telepon kamu. Kita keluar, yuk?" "Danil, malam ini kamu bisa datang ke rumahku?" Danil terdiam sejenak. "Rumah? Ada apa?" "Orang tuaku mau ketemu sama kamu." Cukup lama Danil terdiam, membuat Abram dan Melati saling pandang. "Sebenarnya ada apa, Ra? Kenapa tiba-tiba?" "Aku--" Abram merebut ponsel Dira. "Dira akan menikah lusa. Kamu setuju, kan?" "Papa!" Nadira hendak merebut ponselnya, namun dengan cepat Abram menjauhkannya. "M-menikah? S-sama siapa, Om?" tanyanya terbata-bata. "Sama kamu." Nadira membelalakkan mata. "Apa?" Danil sangat terkejut. "Kenapa sekaget itu?" tanya Abram. "Bukannya kalian sudah lama pacaran?" "S-saya ... Saya belum siap, Om. Maaf, saya belum ada pikiran buat menikah." "Loh, kok gitu? Kamu sudah bermain-main dengan anak saya selama ini dan gak mau tanggung jawab? Bagaimana kalau saya kasih waktu, sebulan lagi kamu harus menikahi anak saya." "M-maaf, Om. Saya ... Saya belum punya pekerjaan yang bagus. Saya ... Saya juga masih punya adik, saya ... Saya tidak bisa, Om. Saya minta maaf." Tut Tut Tut ... Nadira membelalakkan mata mendengar apa yang dikatakan Danil, sedangkan Abram menyunggingkan bibirnya. "Lihat? Laki-laki pengecut seperti itu kamu anggap bertanggung jawab. Maunya main-main terus, giliran diminta serius malah kabur. Kamu harus sadar, betapa kelirunya penilaian kamu selama ini, Dira." Nadira menunduk, air matanya menggenang. Hatinya bergemuruh, merasa tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Apa benar selama ini dia sudah keliru dan tertipu? Apa benar ternyata selama ini Danil hanya ingin main-main dengannya tanpa ada niatan untuk serius sama sekali? Padahal, Nadila sudah melakukan apapun yang diminta Danil, mengeluarkan uang yang banyak untuk hal-hal yang tak pernah dipertanyakan alasannya. "Sudah, jangan pikirkan laki-laki itu lagi, mulai sekarang fokus saja sama pernikahan kamu dan Anand." "Tapi, Pa ... Dia udah tua." "Umur 32 tahun bukan tua, tapi matang dan dewasa." "Aku gak mau! Walaupun harus putus sama Danil aku belum siap menikah sekarang." "Setidaknya sampai ibunya Anand sembuh kamu harus menerima pernikahan ini. Papa gak mau dengar apapun lagi." Setelah mengatakan itu Abram bangkit meninggalkan Dira dan Melati. Melihat Dira yang menangis, mau tak mau Melati ikut merasa sedih. "Dengar, Sayang, yakin sama Mama sama Papa, kami gak mungkin memilih suami yang tidak baik buat kamu. Melihat sikap dan gaya hidup kamu, semakin memperkuat keinginan Papa dan Mama untuk menikahkan kalian. Kami yakin, Anand akan jadi suami yang baik dan mampu mendidik kamu.""Ngaku aja, Ra," ucap Danil sambil tersenyum. Nadira melengos sambil melipat tangan dengan kesal. "Ra, gak papa. Walaupun kamu udah nikah sama yang lain, tapi aku yakin cinta kamu masih milik aku. Kita bisa diam-diam berhubungan tanpa sepengetahuan siapapun, Ra. Dan begitu aku siap nikahin kamu, kamu harus cerai sama dia." Danil menggenggam tangan Nadira, membuat Anand semakin kepanasan. Tanpa permisi Danil menarik Nadira ke dalam pelukan. Melihat gadis itu tak berkomentar apapun tentang idenya membuat Danil mengira gadis itu berhasil ia taklukan. Anand yang sudah bergejolak melangkah hendak keluar untuk memberikan pelajaran pada keduanya. Namun langkahnya langsung terhenti saat Nadira mendorong Danil. "Dasar brenqsek! Gue buka cewek rendahan seperti yang Lo kira, ya! Walaupun gue menikah karena paksaan, tapi gue tahu diri dan aturan. Gue masih punya otak dan moral. Dengan lihat sikap Lo yang seperti ini gue makin benci sama Lo dan percaya sama ucapan papa gue waktu itu. Lo, buka
"Masya Allah, rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrota a'yuniwwaj'alnaa lil muttaqiina imaamaa. Aamiin." Ayah muda itu mengecup kening anaknya yang sedang tertidur dalam pangkuan sang istri selepas kenyang minum asi."Aamiin." Nadira menyahut sambil tersenyum, menatap Anand tanpa kedip dengan berjuta rasa yang tak sanggup lisannya ungkapkan. Anand beralih menatap Nadira, senyuman hangatnya senantiasa terlukis di wajah tampan itu untuk keluarganya. Pria itu duduk di samping sang istri, kemudian merangkul pinggangnya dan mengecup kepala Nadira cukup lama, seolah lewat kecupan itu ia menjelaskan betapa kini sempurna kebahagiaannya wasilah dari perempuan tersebut. "Mas sangat bahagia," bisiknya kemudian. Nadira mengulum senyum, kemudian balas menatap sang suami. "Aku juga, Mas. Makasih untuk semuanya, makasih untuk semua cinta dan kasih sayang yang sudah Mas curahkan buat aku, sampai aku sekarang merasa jadi wanita yang paling bahagia di muka bumi ini." Anand mengu
"Nadira melahirkan!""Nadira melahirkan, Mas!" Yasmin dan Triana serta para suaminya langsung bergegas menuju rumah sakit. "Ayo cepet, Mas!" Fahrul menoleh. "Kamu ini, kaya kamu aja yang mau lahiran." "Haish! Udah diem. Nyetir aja yang cepet." "Yasmiiin Yasmin! Masa kaya gitu kamu bicara sama suami?" tegur Zein yang duduk anteng bersama Triana di belakang. "Gue ikut deg-degan, Bang!"Triana dan Zein terkekeh melihatnya. Tiba-tiba Triana terdiam merasakan sesuatu. "Hweeek!" "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Zein panik. Triana masih menutup mulut. Ia menggelengkan kepala sambil mengerjap."Apa Triana suka mual kalo naik mobil?" tanya Fahrul."Biasanya nggak." "Mungkin Lo hamil, Na!" pekik Yasmin membuat Triana dan Zein saling tatap. Zein menarik kepala Triana sampai bersandar di pundaknya, kemudian memijat tengkuk istrinya dengan lembut. "Mas?" lirih Triana sambil mendongak menatap wajah suaminya. Tatapannya menyiratkan banyak tanya. Zein mengangguk, mencoba menenangkan. "Nanti
"Na ... Jalan Lo kenapa gitu?" Triana langsung mematung, menoleh pada Yasmin dengan ragu-ragu. "Gue ... Jalan gue biasa kok." "Nggak, jalan Lo gak biasa, Yas." "Ah udahlah. Cepet bantuin gue cuci piring." Yasmin menurut. Namun lagi-lagi ia kembali berbisik. "Na, sakit, gak?" Triana gelagapan, mulai tak nyaman berada dekat-dekat dengan Yasmin. "Na?" "Sakit apa?""Lo jangan pura-pura gak ngerti, Na." Triana menghela nafas. "Lumayan." Yasmin berdesis. "Kaya gimana rasanya?""Haish! Lo itu ... " Triana tak melanjutkan protesan nya dan berdecak kesal. "Na, gue cuma pengen tahu aja. Biar siap-siap nanti. Itung-itung Lo berbagi pengalaman lah sama calon pengantin yang masih polos ini." "Gak perlu siap-siap segala, Yas, nanti Lo juga tahu sendiri." "Tapi, Na--""Yas, gue juga gak siap-siap, tuh. Lagian, gue malu kalo harus ngomongin kaya gituan." Yasmin terkekeh. Dalam hati ia mengejek, padahal gue udah lihat secara langsung hal yang mungkin bakalan bikin Lo tambah malu jika ta
"Gugup?" Triana tak menjawab, tangannya meremas sprei dengan kuat. Zein menghela nafas lalu bersandar di kepala ranjang. "Jangan gugup, kita ngobrol, yuk?" Triana mulai mendongak. "Ngobrol apa?" "Menurut kamu, Fahrul seperti apa? Apa dia cocok untuk Yasmin?" Triana mulai berpikir. "Menurutku Fahrul terlihat baik, mudah akrab juga sama keluarga. Dan dia juga kelihatan benar-benar mencintai Yasmin." Zein manggut-manggut. "Tapi bukannya jadi istri tentara itu banyak resikonya?" Triana tersenyum. "Resiko pasti selalu ada di setiap keputusan yang kita buat. Yasmin juga bukan gak tahu resikonya bagaimana jika menikah dengan Fahrul, tapi dia tetap menjalaninya, kan? Jadi mungkin dia memang sudah mempersiapkan diri. Dan lagi, suatu kebanggaan juga untuk keluarga kita punya saudara seorang abdi negara, kan?" Zein mengangguk lagi. "Jadi kamu setuju?" Triana mengangguk. "Selama laki-laki itu mencintai Yasmin dengan tulus dan Yasmin juga mencintainya, aku setuju." "Tapi M
"Yasmin cukup beruntung, ya, punya pacar yang seperhatian ini sampai maksain datang di tengah-tengah kesibukan," ucap Anand. "Jelas. Sekarang Yasmin prioritas saya. Saking buru-burunya langsung ke sini saya gak sempat ganti seragam dulu. Takut Yasmin sedih, kasihan. Tapi malah jadi pada takut lihat kedatangan saya." Semua orang tertawa. "Aku belum terlambat, kan?" tanya Fahrul menatap Yasmin yang kini senyum-senyum sok kalem. Gadis itu pun menggeleng untuk menanggapi pertanyaan pacarnya itu.Kini giliran Triana dan Nadira yang memasuki mode jahil."Uhuyy! Akhem-akhem!" "Uhuk! Uhuk! Aduh, Mas, aku keselek," celetuk Nadira.Dengan sigap Anand menyerahkan minuman gelas. "Mas, aku bercanda!" pekik Nadira membuat Anand melongo."Ra, lihat, Ra!" ucap Triana menunjuk udara di dekat Yasmin."Apaan, Na?" "Saking hatinya lagi berbunga-bunga, bunga-bunga itu berterbangan keluar." Yasmin tersenyum. "Bunga melati, kan? Kaya nama gue?" "Bukan." Triana menggeleng. "Terus?" "Bunga raflesia,