"Gak mau! Pokoknya aku gak mau nikah cepet-cepet. Aku masih muda, pengen senang-senang, masih pengen bebas berkeliaran, Ma!"
"Gak bisa, pokoknya kamu harus menikah sama Anand dua hari lagi!" bantah Abram, papanya Dira. "Dengar, Sayang, kamu tidak bisa seperti ini terus. Kamu sudah dewasa, umurmu sudah cukup untuk menikah. Anand itu laki-laki baik, bertanggung jawab, mama sama papa yakin dia pasti bisa membimbing kamu jadi lebih baik." Melati menambahkan. "Tapi aku udah punya pacar, Ma. Dia gak kalah baik dan bertanggung jawab dari Anand." "Tahu apa kamu tentang tanggung jawab seorang laki-laki, hah? Sudah, putusin dia dan menikah sama Anand." "Aku gak mau, apalagi mendadak banget kayak gini. Aku gak pernah bertemu sama dia, gak tahu orangnya, mau nikah kok gini?" "Nanti juga kalian ketemu. Dengar, Ra, ibunya sekarang sedang kritis, meminta Anand untuk segera menikahi kamu. Papa, mama, sama ibunya Anand sudah lama berencana menikahkan kalian berdua. Jadi gak ada alasan lagi. Ini genting, kamu ngerti dong!" ucap Abram tegas, tak bisa dibantah. "Lagian, mama yakin kalian sudah pernah bertemu sebelumnya, cuma gak ngeuh aja." Melati tersenyum membujuk. "Gak mau, Ma! Aku mau ngabisin masa mudaku dulu sampai puas senang-senang. Nikah itu bikin ribet, bikin pusing. Apalagi kalo udah punya anak. Aaaaa Aku belum siap. Pokoknya gak mau!" Setelah mengatakan itu Dira langsung berjalan cepat menuju kamarnya. Pintunya ia tutup dengan keras, membuat kedua orang tuanya mengusap dada. "Sabar, Pa," ucap Melati. "Dia itu keras kepala, manja, gak ada dewasa-dewasanya. Papa yakin sekali Anand akan bisa mendidiknya dengan sikap lembut dan dewasa yang dia miliki." "Iya, Pa, Mama juga berpikiran sama. Mama akan bicara lagi sama Dira, sebisa mungkin dia harus setuju." Abram mengangguk pada istrinya. Di kamar ... "Gila banget, dua hari lagi, Na!" ucap Dira pada seseorang di sebrang sana. "Ya gimana lagi, Ra, kan tante Farida memang keadaannya lagi kritis. Apalagi kini kak Anand tinggal punya satu orang tua, pasti apapun yang diminta sama Tante Farida itulah yang terpenting buat dia. Apalagi sekarang keadaan tante ... Lo tahu sendiri, lah, Ra. Coba buat masalah ini kecerdasan otak Lo sama sisi kemanusiaan Lo tingkatin dikit." "Ya tapi ... Oemji! Gue sama sekali gak siap, Na. Gak pernah ketemu, gak saling kenal satu sama lain, tiba-tiba harus nikah. Mending kalo ganteng gak malu-maluin, gimana kalo dia jelek? Ih, gak mau ah! Gue pasti gak bisa tidur nyenyak mulai sekarang, Naaa toloong!" "Jelek? Kakak sepupu gue ganteng, Ra! Asem, Lu!" "Masa?" "Iya serius. Lo pasti gak bisa nolak deh kalo udah ketemu. Si Danil mah lewatt!" Dira bangkit dari tidurannya. "Kalo gitu gue minta fotonya." "Gak punya, Ra. Kak Anand gak suka difoto sembarangan." Dira mendengkus. "Itu ciri-ciri orang yang gak punya kepercayaan diri. Pasti jelek deh kakak sepupu Lo, jangan nipu gue." Triana berdecak. "Gini, deh, nanti gue berusaha dapetin fotonya, oke?" "Nah, bagus. Nanti langsung kirim ke gue." "Siap, bos!" "Jangan lama!" "Iya, berisik!" Dira menutup telepon dengan senyuman lega. Sebentar lagi, gue bakal tahu gimana wajahnya. Dan setelah itu, gue akan mutusin buat Nerima pernikahan ini atau nggak. Dan gak boleh ada yang mentang keputusan gue. Nadira tersenyum jumawa, kemudian menyentil hidungnya sendiri dengan jempol. *** Triana turun dari tempat tidurnya dengan cepat. Tadi Anand sedang di rumahnya membicarakan tentang rencana pernikahan. Semoga saja belum pulang. Saat Triana tiba di lantai bawah, dia melihat Anand sedang makan bersama kedua orang tuanya. Triana menggelengkan kepala. "Dasar si Dira, sepupu gue ganteng gini dikira jelek. Pasti nyesel Lo nanti." "Nana, ayo ikut makan." "Iya, Ma!" Triana sengaja mengambil kursi yang berhadapan dengan Anand. Diam-diam dia mengeluarkan ponselnya dari balik meja, membiarkan kamera mengarah pada Anand yang sedang sibuk makan. Mendadak jantungnya berdebar, gugup takut ketahuan, dia menggigit bibirnya sambil menunduk, matanya menyipit siap-siap menekan tombol untuk memotret. Satu ... Dua ... Tiiiiii .... "Nana?" Triana langsung menegakkan tubuhnya dan menyembunyikan ponsel. "Iya, Ma?" "Kenapa malah main hp? Ayo makan." Triana tersenyum kikuk pada Anand yang sedang menatapnya, kemudian memasukan ponsel ke dalam saku celana. Ia menghembuskan nafas, merasa lega tak ketahuan, atau kemalangan akan menimpanya. "Kamu tunggu sebentar, ya, An, Om mau ngambil sesuatu dulu di atas." Anand mengangguk. Melihat Anand yang berlalu dari ruang makan, Triana mendesah pelan. Ia pun bangkit dari kursi dan bersiap mengikuti Anand. "Eh, mau ke mana kamu? Bukannya mau makan?" tanya ibunya. "Nanti aja, Ma!" Dengan waspada Triana bersembunyi dari balik tembok, lagi-lagi mengeluarkan ponselnya. "Gue harus segera ngambil foto Kak Anand buat membungkam mulut si Dira." Tiba-tiba Anand menoleh, Triana yang melihat itu dari layar ponselnya terkejut dan langsung menyembunyikan ponsel. "Lagi apa kamu?" tanya Anand dengan tatapan menusuk. "Emm, nggak. Aku ... Aku mau ngambil foto bunga ini buat tugas. Permisi, ya, Kak." Triana cengar-cengir dan mendekat, mengambil foto bunga yang tepat berada di samping Anand. Anand menatap Triana yang mencurigakan, namun tak mengatakan apapun dan beralih ke sisi lain, menjaga jarak dari Triana. Triana berbalik, pura-pura mengutak-atik ponsel padahal sedang membidik Anand diam-diam. Saat tombol ditekan, mata Triana membulat sempurna melihat cahaya dari hpnya menyorot Anand. Wajahnya pucat seketika. Ya ampun! Gue lupa matiin flash. Mampus! Anand langsung mendekat dan merebut ponsel Triana yang sedang mematung. Setelah melihat fotonya, Anand menatap Triana dengan tegas. "Apa ini?" tanyanya dingin. Triana gelagapan, lalu kemudian memelas. "Maaf, Kak, itu ... Aku ... " Anand mengembalikan ponsel Triana setelah menghapus fotonya. "Jangan seperti itu lagi, kakak gak suka." Triana cemberut. "Ayo, An." Anand dan ayahnya Triana pun berlalu ke luar rumah. Triana memukul kepalanya sendiri berkali-kali dan membenturkannya ke dinding. "Aaaa gak bisa gak bisa! Gue harus segera dapet fotonya kak Anand, kapan lagi dia ke sini, kan? Sial banget gue. Eh, masih ada waktu." Tepat saat Anand hendak masuk ke dalam mobil, Triana berhasil mengambil fotonya walaupun sedikit terhalang tetangganya. "Hah, akhirnya dapet juga. Dahlah langsung kirim." Gadis itu segera mengirimkan foto tersebut ke nomor Dira, lalu menghembuskan nafas lega. "Akhirnya, beres! Nadira, Lo pasti sujud syukur setelah ini," ucapnya dengan tersenyum lebar. Di tempat lain, Dira langsung menghentikan game-nya begitu melihat pesan masuk dari sahabatnya. Dadanya berdebar, tangannya mendadak gemetar saat hendak membuka pesan itu. Dan saat foto benar-benar terpampang, kedua matanya membelalak. "Aaaaaaaaaa!""Ngaku aja, Ra," ucap Danil sambil tersenyum. Nadira melengos sambil melipat tangan dengan kesal. "Ra, gak papa. Walaupun kamu udah nikah sama yang lain, tapi aku yakin cinta kamu masih milik aku. Kita bisa diam-diam berhubungan tanpa sepengetahuan siapapun, Ra. Dan begitu aku siap nikahin kamu, kamu harus cerai sama dia." Danil menggenggam tangan Nadira, membuat Anand semakin kepanasan. Tanpa permisi Danil menarik Nadira ke dalam pelukan. Melihat gadis itu tak berkomentar apapun tentang idenya membuat Danil mengira gadis itu berhasil ia taklukan. Anand yang sudah bergejolak melangkah hendak keluar untuk memberikan pelajaran pada keduanya. Namun langkahnya langsung terhenti saat Nadira mendorong Danil. "Dasar brenqsek! Gue buka cewek rendahan seperti yang Lo kira, ya! Walaupun gue menikah karena paksaan, tapi gue tahu diri dan aturan. Gue masih punya otak dan moral. Dengan lihat sikap Lo yang seperti ini gue makin benci sama Lo dan percaya sama ucapan papa gue waktu itu. Lo, buka
"Masya Allah, rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrota a'yuniwwaj'alnaa lil muttaqiina imaamaa. Aamiin." Ayah muda itu mengecup kening anaknya yang sedang tertidur dalam pangkuan sang istri selepas kenyang minum asi."Aamiin." Nadira menyahut sambil tersenyum, menatap Anand tanpa kedip dengan berjuta rasa yang tak sanggup lisannya ungkapkan. Anand beralih menatap Nadira, senyuman hangatnya senantiasa terlukis di wajah tampan itu untuk keluarganya. Pria itu duduk di samping sang istri, kemudian merangkul pinggangnya dan mengecup kepala Nadira cukup lama, seolah lewat kecupan itu ia menjelaskan betapa kini sempurna kebahagiaannya wasilah dari perempuan tersebut. "Mas sangat bahagia," bisiknya kemudian. Nadira mengulum senyum, kemudian balas menatap sang suami. "Aku juga, Mas. Makasih untuk semuanya, makasih untuk semua cinta dan kasih sayang yang sudah Mas curahkan buat aku, sampai aku sekarang merasa jadi wanita yang paling bahagia di muka bumi ini." Anand mengu
"Nadira melahirkan!""Nadira melahirkan, Mas!" Yasmin dan Triana serta para suaminya langsung bergegas menuju rumah sakit. "Ayo cepet, Mas!" Fahrul menoleh. "Kamu ini, kaya kamu aja yang mau lahiran." "Haish! Udah diem. Nyetir aja yang cepet." "Yasmiiin Yasmin! Masa kaya gitu kamu bicara sama suami?" tegur Zein yang duduk anteng bersama Triana di belakang. "Gue ikut deg-degan, Bang!"Triana dan Zein terkekeh melihatnya. Tiba-tiba Triana terdiam merasakan sesuatu. "Hweeek!" "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Zein panik. Triana masih menutup mulut. Ia menggelengkan kepala sambil mengerjap."Apa Triana suka mual kalo naik mobil?" tanya Fahrul."Biasanya nggak." "Mungkin Lo hamil, Na!" pekik Yasmin membuat Triana dan Zein saling tatap. Zein menarik kepala Triana sampai bersandar di pundaknya, kemudian memijat tengkuk istrinya dengan lembut. "Mas?" lirih Triana sambil mendongak menatap wajah suaminya. Tatapannya menyiratkan banyak tanya. Zein mengangguk, mencoba menenangkan. "Nanti
"Na ... Jalan Lo kenapa gitu?" Triana langsung mematung, menoleh pada Yasmin dengan ragu-ragu. "Gue ... Jalan gue biasa kok." "Nggak, jalan Lo gak biasa, Yas." "Ah udahlah. Cepet bantuin gue cuci piring." Yasmin menurut. Namun lagi-lagi ia kembali berbisik. "Na, sakit, gak?" Triana gelagapan, mulai tak nyaman berada dekat-dekat dengan Yasmin. "Na?" "Sakit apa?""Lo jangan pura-pura gak ngerti, Na." Triana menghela nafas. "Lumayan." Yasmin berdesis. "Kaya gimana rasanya?""Haish! Lo itu ... " Triana tak melanjutkan protesan nya dan berdecak kesal. "Na, gue cuma pengen tahu aja. Biar siap-siap nanti. Itung-itung Lo berbagi pengalaman lah sama calon pengantin yang masih polos ini." "Gak perlu siap-siap segala, Yas, nanti Lo juga tahu sendiri." "Tapi, Na--""Yas, gue juga gak siap-siap, tuh. Lagian, gue malu kalo harus ngomongin kaya gituan." Yasmin terkekeh. Dalam hati ia mengejek, padahal gue udah lihat secara langsung hal yang mungkin bakalan bikin Lo tambah malu jika ta
"Gugup?" Triana tak menjawab, tangannya meremas sprei dengan kuat. Zein menghela nafas lalu bersandar di kepala ranjang. "Jangan gugup, kita ngobrol, yuk?" Triana mulai mendongak. "Ngobrol apa?" "Menurut kamu, Fahrul seperti apa? Apa dia cocok untuk Yasmin?" Triana mulai berpikir. "Menurutku Fahrul terlihat baik, mudah akrab juga sama keluarga. Dan dia juga kelihatan benar-benar mencintai Yasmin." Zein manggut-manggut. "Tapi bukannya jadi istri tentara itu banyak resikonya?" Triana tersenyum. "Resiko pasti selalu ada di setiap keputusan yang kita buat. Yasmin juga bukan gak tahu resikonya bagaimana jika menikah dengan Fahrul, tapi dia tetap menjalaninya, kan? Jadi mungkin dia memang sudah mempersiapkan diri. Dan lagi, suatu kebanggaan juga untuk keluarga kita punya saudara seorang abdi negara, kan?" Zein mengangguk lagi. "Jadi kamu setuju?" Triana mengangguk. "Selama laki-laki itu mencintai Yasmin dengan tulus dan Yasmin juga mencintainya, aku setuju." "Tapi M
"Yasmin cukup beruntung, ya, punya pacar yang seperhatian ini sampai maksain datang di tengah-tengah kesibukan," ucap Anand. "Jelas. Sekarang Yasmin prioritas saya. Saking buru-burunya langsung ke sini saya gak sempat ganti seragam dulu. Takut Yasmin sedih, kasihan. Tapi malah jadi pada takut lihat kedatangan saya." Semua orang tertawa. "Aku belum terlambat, kan?" tanya Fahrul menatap Yasmin yang kini senyum-senyum sok kalem. Gadis itu pun menggeleng untuk menanggapi pertanyaan pacarnya itu.Kini giliran Triana dan Nadira yang memasuki mode jahil."Uhuyy! Akhem-akhem!" "Uhuk! Uhuk! Aduh, Mas, aku keselek," celetuk Nadira.Dengan sigap Anand menyerahkan minuman gelas. "Mas, aku bercanda!" pekik Nadira membuat Anand melongo."Ra, lihat, Ra!" ucap Triana menunjuk udara di dekat Yasmin."Apaan, Na?" "Saking hatinya lagi berbunga-bunga, bunga-bunga itu berterbangan keluar." Yasmin tersenyum. "Bunga melati, kan? Kaya nama gue?" "Bukan." Triana menggeleng. "Terus?" "Bunga raflesia,