Share

Bab 7

Author: Lilia
Lelang resmi dimulai.

Aku menatap erat-erat papan penawaran di tangan, menunggu giliran barang nomor 47.

Akhirnya juru lelang mengangkat kalung mutiara itu.

“Barang nomor 47, kalung mutiara. Dilelang mulai dari 10 miliar," ucap juru lelang.

Aku langsung mengangkat papan dan berkata, "10 miliar."

"20 miliar," ucap Nia dari samping.

Aku menoleh dan melihat Nia sedang tersenyum manis sambil mengangkat papan.

Aku mencoba menawar lagi, "30 miliar."

"40 juta," ucap Nia lagi tanpa ragu.

Harga meroket tinggi.

60 miliar, 100 miliar, 160 miliar ….

Tanganku berkeringat dingin. Pengacara bilang semua asetku jika dijual kira-kira bisa dapat 200 miliar, tetapi kini angka di papan hampir menembus 220 miliar.

"220 miliar," ucap Nia sambil mengangkat papan itu dengan santai, seolah menyebut angka kecil.

Juru lelang menatapku: "Nyonya, masih mau lanjut?"

Tanganku gemetar; aku tidak mampu lagi mengangkat papan.

Uangku tidak cukup.

Semua mata tertuju padaku, termasuk Farel.

Aku menurunkan semua martabat yang tersisa dan menatap Farel dengan putus asa.

"Farel, tolong pinjamkan aku uang, Kumohon, ini kalung ibuku. Ini satu-satunya peninggalannya," ucapku dengan suara gemetar.

Farel menatapku, ada kilatan emosi yang rumit dalam matanya. Saat dia hampir mengeluarkan kartu kredit eksklusifnya untukku ….

Nia juga menoleh padanya, lalu berkata dengan suara manja, "Kak Farel, sejak dulu aku nggak punya apa-apa. Ini pertama kali ada kalung yang kusukai. Tolong minta Kak Alisa mengalah padaku, ya?"

Dia menarik lengan baju Farel dan menatapnya dengan penuh harap.

Farel menimbang beberapa detik antara aku dan Nia.

Detik-detik itu terasa panjang bagiku, seolah satu abad telah berlalu.

"Mengalahlah pada Nia," ucap Farel. Dia akhirnya berkata dengan suara tenang. Ucapannya dingin sampai membuat punggungku merinding.

Harapanku seakan runtuh.

"220 miliar, sekali!" teriak juru lelang.

"220 miliar, dua kali!"

Aku ingin memohon pada Farel lagi, tetapi kata-kata yang ingin kukatakan tersumbat di tenggorokan.

"220 miliar, tiga kali! Terjual!" teriak juru lelang pada akhirnya.

Ketika palu diketuk, hatiku benar-benar terasa mati.

Nia bertepuk tangan dengan girang, lalu menoleh padaku dan berkata, "Kak Alisa, terima kasih, ya!"

Rasa puas di wajahnya tidak disembunyikan sama sekali.

Setelah lelang berakhir, Farel pergi mengambil obat karena Nia bilang kepalanya sakit.

Aku duduk sendiri di sofa ruang tunggu, menyaksikan staf merapikan barang-barang.

Sepuluh menit kemudian, Nia kembali ke belakang panggung dan melangkah mendekat ke arahku.

Aku berdiri, berjalan menghampirinya.

"Nia, bolehkah aku tukar barang lain dengan kalungmu?" tanyaku pelan.

"Dengan apa?" tanya Nia sambil mengangkat alis.

"Aku punya sebuah Ferrari dan beberapa jam tangan bermerek. Totalnya ngak sampai 220 miliar, tapi kalau kamu beri aku waktu, aku akan melunasinya. Asal kamu mau memberiku kalung itu," ucapku. Aku mencoba terdengar tenang.

Nia menggeleng dan berkata, "Aku nggak butuh barang-barang itu."

"Lalu, apa yang kamu mau?" tanyaku lagi.

Dia berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Aku mau kamu berlutut dan memohon padaku," ucap Nia.

"Apa?" seruku.

"Aku mau kamu sujud, lalu minta maaf sambil memohonku memberikan kalung ini padamu," ucap Nia. Tatapannya berubah menjadi tajam. "Dulu kamu memperlakukanku seperti itu. Sekarang giliranmu memohon padaku," lanjut Nia.

Aku menatapnya sambil mengepalkan tanganku.

Namun, mengingat kalung ibu, akhirnya aku perlahan menekukkan lututku.

"Bagus sekali. Sekarang biar kutunjukkan di mana kalung itu," ucap Nia sambil tersenyum puas dan mengeluarkan ponsel.

Dia memutar sebuah video dan menunjukkan layar ke arahku.

Di layar itu, seekor anjing jalanan kotor sedang menggoyangkan ekornya. Di lehernya tergantung sebuah kalung mutiara.

Itu kalung ibuku.

"Lihatlah, sekarang kalung itu ada di sini. Menurutku, cocok sekali dipakai olehnya. Barang wanita murahan memang cocok dipakai anjing," ucap Nia sambil tersenyum manis.

Darahku terasa berhenti mengalir.

"Apa katamu?" tanyaku.

"Aku bilang barang wanita murahan cocok dipakai anjing," ucap Nia sambil menyimpan ponsel dengan santai. "Ibumu wanita murahan, 'kan? Pantas saja dia kena tabrak. Sekarang peninggalannya dipakai anjing, bukankah itu cocok sekali?" lanjut Nia.

Suaraku hampir tidak terdengar saat aku bertanya, "Tangan mana yang kamu pakai untuk memasang kalung itu pada anjing?"

"Tangan kanan. Kenapa?" ucap Nia sambil masih tertawa.

Sesaat berikutnya aku meraih pisau makan di atas meja, lalu menancapkannya dengan sekuat tenaga ke telapak tangan kanannya.

Darah seketika muncrat, Nia mengeluarkan jeritan histeris yang tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 22

    Alisa belajar tunduk pada takdirnya di hari kedua puluh tujuh dia dikurung.Dia tidak lagi melawan, tidak lagi mogok makan, bahkan terkadang tersenyum pada Farel.Awalnya, Farel masih curiga. Namun, perlahan-lahan dia mulai percaya bahwa Alisa benar-benar sudah menyerah."Pagi ini mau makan apa?" tanya Farel sambil merapikan dasi di tepi ranjang.Alisa bersandar di sandaran kasur, rambut panjangnya terurai. Dia menjawab dengan datar, "Apa pun yang kamu masak."Gerakan tangan Farel sempat terhenti. Dia sedikit terkejut, lalu segera tersenyum dan menjawab, "Baik."Setelah itu, dia pun berbalik menuju dapur. Langkahnya jarang terasa begitu rileks.Alisa menatap sosok Farel lenyap di ambang pintu, lalu cepat-cepat menyingkap selimut. Dari bawah kasur, dia mengeluarkan sebuah komputer mini.Itu adalah hasil curian dari ruang kerja Farel minggu lalu.Dia mengetik cepat di papan ketik, memasukkan kata sandi.Diam-diam dia menembus sistem keamanan pulau dan memancarkan sinyal permohonan pertol

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 21

    Sebab ada urusan bisnis di Grup Keano yang perlu ditangani, Farel terpaksa kembali ke kota selama beberapa hari.Senja hari di pulau pribadi.Hari ketiga sejak kepergian Farel, Alisa berdiri di depan jendela besar, menatap cahaya terakhir matahari yang perlahan ditelan garis khatulistiwa.Seorang pelayan masuk dengan hati-hati, meletakkan segelas susu hangat di meja. "Nyonya, setidaknya minumlah sedikit," ucap pelayan itu.Alisa tidak bergerak, hanya bertanya, "Kapan dia kembali?""Pak Farel bilang akan segera kembali setelah urusan perusahaan selesai," jawab pelayan itu.Prang!Gelas kaca melayang menghantam dinding dan pecah berantakan. Susu tumpah ke lantai."Aku bukan nyonya siapa pun. Keluar dari sini!" tegur Alisa dengan dingin.Pelayan itu ketakutan dan cepat-cepat mundur.Alisa membungkuk, memungut pecahan kaca paling tajam dari lantai.Pada saat yang sama, di kantor pusat Grup Keano.Ruang rapat penuh orang, Farel duduk di kursi utama mendengar para karyawannya melapor. Jari-j

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 20

    Pagi hari di pulau pribadi.Helikopter mendarat di landasan tengah pulau, suara baling-balingnya akhirnya melambat, menyisakan suara ombak yang pecah di karang.Farel menggendong Alisa turun dari helikopter. Begitu kakinya menyentuh tanah, Alisa langsung mendorong Fajar menjauh."Penahanan ilegal, ya?" tanya Alisa. Dia mendengus dingin, gaun pengantinnya berkibar liar ditiup angin laut. "Sejak kapan kamu juga mulai pakai cara licik seperti ini?" tanya Alisa.Alih-alih marah, Farel justru tersenyum tipis. "Memangnya kenapa?" tanya Farel.Jarinya yang dingin menyapu pelan wajah Alisa, tetapi tatapannya membara, "Alisa, kamu milikku."Dia melanjutkan, "Seumur hidupmu, jangan pernah bermimpi jadi milik orang lain."Di vila utama.Farel menuntun Alisa berkeliling pulau."Semua yang ada di sini milikmu," ucap Farel sambil membuka pintu kaca raksasa. Hembusan laut yang asin langsung menyerbu ke dalam. "Mulai dari taman, kolam renang, perpustakaan, bahkan samudera itu."Alisa tidak tergerak sa

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 19

    Sehari sebelum pernikahan, di mansion pribadi Keluarga Fathir.Alisa duduk di depan meja rias di kamar pengantin, jarinya menelusuri taburan berlian di gaun pengantin.Di luar jendela, matahari bersinar hangat. Para pelayan sibuk menata lokasi acara pernikahan besok. Segala sesuatu tampak begitu sempurna.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu."Putri Kecil?" panggil Hendra.Hendra masuk sambil membawa secangkir teh bunga hangat dan sebuah kotak beludru mungil di tangan lainnya.Dia mengenakan setelan hitam rapi, kerah kemejanya terbuka sedikit, tatapannya sangat lembut."Kamu hampir nggak makan sarapan," ucap Hendra sambil memberikan cangkir teh ke tangan Alisa. Dia lalu berkata, "Bibi di dapur bilang kamu cuma minum setengah gelas susu."Alisa mendongak, kemudian tersenyum dan bertanya, "Apa kamu mencoba mendidikku?""Aku mana berani," ucap Hendra sembari menunduk sedikit, lalu menyerahkan kotak itu ke tangan Alisa. "Aku cuma takut kamu kelaparan," lanjut Hendra.Alisa membuka ko

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 18

    "Bukankah Keluarga Fathir di Kota Appia dan Keluarga Keano di Kota Persy nggak pernah berhubungan? Itu Pak Farel, 'kan? Kenapa dia ada di sini?"Bisikan para tamu menyebar di seluruh aula pesta.Semua mata serentak tertuju pada sosok tegap yang berdiri di pintu. Farel mengenakan jas yang rapi dan berdiri tegap di sana, tetapi tatapannya suram menakutkan."Kenapa mata Pak Farel menatap langsung ke Nona Alisa setajam itu. Jangan-jangan, dia datang untuk merebutnya?"Hendra segera memeluk Alisa ke dalam dekapannya. Lengannya terentang di depan tubuhnya, seolah ingin meleburkan gadis itu ke dalam darah dan dagingnya sendiri.Alisa perlahan berubah tenang.Dia menatap Farel, lalu tersenyum. "Untuk apa Pak Farel datang? Membawa hadiah pernikahan untuk kami?" tanya Alisa.Kata-kata itu bagai sebilah pisau yang menancap di dada Farel.Rahangnya menegang, urat di pelipisnya tampak menonjol. Farel berkata dengan suara sangat serak, "Alisa, ikut aku pulang."Senyum Alisa justru makin dalam. "Pula

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 17

    Hendra pun berkata, "Sepuluh tahun lalu, di pesta kapal pesiar itu ….""Kamu lupa siapa yang pernah kamu selamatkan?" tanya Hendra,Alisa tertegun. Ingatannya seperti ditarik kembali ke masa sepuluh tahun silam.Malam pesta itu, Alisa berdiri di tepi dek, membiarkan angin laut menerpa wajah. Tiba-tiba dia mendengar suara tubuh jatuh ke air.Seorang anak laki-laki tercebur.Sebelum orang-orang di sekitar sadar, Alisa sudah melompat ke laut.Air laut dingin sampai menusuk tulang. Alisa berenang sekuat tenaga ke anak itu sampai beberapa kali tersedak air. Akhirnya, dia berhasil menyelamatkan anak itu ke atas kapal."Kamu nggak apa-apa?" tanya Alisa. Tubuhnya basah kuyup, tetapi dia hanya fokus memberi pertolongan darurat.Anak itu akhirnya memuntahkan air asin, lalu membuka mata. Bulu matanya masih basah, menggantung butir air.Alisa melepas jaketnya, membungkus tubuh kecil yang gemetar dan berkata, "Bocah, lain kali hati-hati. Jangan lari ke dek lagi."Anak itu menggenggam ujung jaketnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status