Share

Bab 8

Author: Lilia
Jeritan histeris Nia menggema di belakang panggung pasar lelang.

Para staf kaget. Ada yang menjerit ketakutan, ada yang buru-buru menelpon ambulans.

Aku melepaskan genggaman dari pisau makan, lalu berdiri tegak.

Aku menatap Nia yang tergeletak sambil memeluk tangannya dan menangis, lalu berkata, "Ingat baik-baik. Aku, Alisa, selalu membalas dendam langsung di tempat."

Saat berbalik, aku mendengar suara hiruk-pikuk di belakangku.

Aku melangkah keluar dengan langkah tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Baru sampai pintu keluar, Farel tiba-tiba menghadangku.

Dia berdiri di sana dengan selimut disampirkan di lengannya, dan termos di tangannya. Tampaknya dia baru saja kembali dari apotek.

Begitu matanya memandang wajahku, ekspresinya langsung berubah menjadi muram.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Farel dengan tegas.

Aku melirik termos di tangannya, kemudian tersenyum kecut dan bertanya, "Kamu pergi membelikan obat untuknya?"

"Aku tanya, apa yang kamu lakukan?" tanya Farel lagi dengan suara makin tajam.

"Dia menaruh kalung ibuku di leher anjing jalanan, lalu menyebut ibuku wanita murahan. Jadi, aku tusuk dia," jawabku sambil menatap lurus ke mata Farel.

Ekspresi Farel terkejut. "Apa katamu?" tanya Farel.

"Bukankah kamu sudah mendengarnya? Anak buahmu pasti sudah melaporkan segalanya," ucapku sambil menunjuk ke arah earphone di telinganya.

Farel memang mengenakan earphone, itu berarti sejak awal dia sudah tahu semua hal yang terjadi di belakang panggung.

"Meski dia benar-benar melakukan itu, kamu tetap nggak boleh melukai orang!" ucap Farel dengan dingin.

Kata-kata itu akhirnya menghantamku sampai mati.

Aku menatap Farel dengan mata penuh air mata.

Ternyata, di dalam hatinya, bahkan ketika Nia menginjak-injak kehormatan ibuku, aku tetap tidak boleh melawan.

"Farel, gimana kamu akan ‘mendidikku’ lagi kali ini?" tanyaku dengan suara gemetar.

Mata Farel sempat goyah melihat air mataku.

Namun, itu hanya sesaat. Dengan cepat, tatapan dingin kembali menyelimuti wajahnya.

Farel mengeluarkan ponsel, lalu berkata, "Aku nggak bisa mendidikmu lagi. Andi, bawa orang ke pasar lelang. Tangkap Alisa dengan tuduhan pembunuhan berencana."

Hatiku meneteskan darah saat mendengar suaranya yang dingin

Sepuluh menit kemudian, dua polisi berseragam masuk.

"Nona Alisa, kamu diduga sengaja melukai orang. Silakan ikut kami," ucap salah satu polisi.

Aku tidak melawan. Kuserahkan tangan untuk diborgol.

Saat dibawa pergi, aku sempat menoleh ke belakang.

Di sana, Farel sedang memeluk Nia yang sudah diperban dan menenangkannya dengan lembut.

"Tenang, aku ada di sini. Nggak ada yang akan menyakitimu lagi," ucap Farel sambil mengelus rambut Nia.

Nia terisak manja di pelukannya, seperti hewan kecil yang terluka.

Sementara aku, digiring layaknya kriminal.

Dalam penjara, sekelompok wanita segera mengepungku.

"Anak baru, apa kesalahanmu?" tanya wanita pemimpin mereka yang memiliki tato penuh di lengannya.

"Apa urusannya denganmu?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

"Wah, galak juga. Kamu tahu aturan? Pendatang baru harus bayar uang jaga," ucap wanita itu sambil tertawa.

"Aku nggak punya uang," jawabku.

"Nggak punya? Kalau begitu, kamu harus bayar dengan cara lain," ucap wanita itu. Ekspresinya berubah bengis.

Malam itu, mereka menyiramkan seember air dingin ke tubuhku.

Esok paginya, aku menemukan pecahan kaca di nasiku.

Hari ketiga, mereka mulai menghajarku.

Setiap kali sebelum mereka menghajarku, pemimpin itu selalu berkata, "Ini pesan dari Pak Farel, supaya kamu belajar dari kesalahan."

Saat itu, aku baru tahu bahwa semua siksaan ini adalah perintah dari Farel.

Dia tidak hanya mengurungku dalam penjara, tetapi juga memastikan aku tersiksa di dalamnya.

Tiga hari kemudian, aku dilepaskan.

Hari itu menjadi hari terakhirku di Kota Persy.

Aku dengan tubuh penuh luka keluar dari penjara. Matahari siang begitu menyilaukan, membuatku tidak bisa membuka mataku.

Begitu tiba di gerbang, kepalaku terasa pusing.

Dunia sekitarku seperti berputar, akhirnya aku jatuh pingsan.

Saat aku bangun lagi, yang kulihat adalah bangsal rumah sakit yang begitu familier.

Farel berdiri di samping ranjang dengan satu tangan di saku, lalu bertanya padaku dengan suara dingin.

"Sudah belajar dari kesalahanmu kali ini?" tanya Farel dengan datar.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 22

    Alisa belajar tunduk pada takdirnya di hari kedua puluh tujuh dia dikurung.Dia tidak lagi melawan, tidak lagi mogok makan, bahkan terkadang tersenyum pada Farel.Awalnya, Farel masih curiga. Namun, perlahan-lahan dia mulai percaya bahwa Alisa benar-benar sudah menyerah."Pagi ini mau makan apa?" tanya Farel sambil merapikan dasi di tepi ranjang.Alisa bersandar di sandaran kasur, rambut panjangnya terurai. Dia menjawab dengan datar, "Apa pun yang kamu masak."Gerakan tangan Farel sempat terhenti. Dia sedikit terkejut, lalu segera tersenyum dan menjawab, "Baik."Setelah itu, dia pun berbalik menuju dapur. Langkahnya jarang terasa begitu rileks.Alisa menatap sosok Farel lenyap di ambang pintu, lalu cepat-cepat menyingkap selimut. Dari bawah kasur, dia mengeluarkan sebuah komputer mini.Itu adalah hasil curian dari ruang kerja Farel minggu lalu.Dia mengetik cepat di papan ketik, memasukkan kata sandi.Diam-diam dia menembus sistem keamanan pulau dan memancarkan sinyal permohonan pertol

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 21

    Sebab ada urusan bisnis di Grup Keano yang perlu ditangani, Farel terpaksa kembali ke kota selama beberapa hari.Senja hari di pulau pribadi.Hari ketiga sejak kepergian Farel, Alisa berdiri di depan jendela besar, menatap cahaya terakhir matahari yang perlahan ditelan garis khatulistiwa.Seorang pelayan masuk dengan hati-hati, meletakkan segelas susu hangat di meja. "Nyonya, setidaknya minumlah sedikit," ucap pelayan itu.Alisa tidak bergerak, hanya bertanya, "Kapan dia kembali?""Pak Farel bilang akan segera kembali setelah urusan perusahaan selesai," jawab pelayan itu.Prang!Gelas kaca melayang menghantam dinding dan pecah berantakan. Susu tumpah ke lantai."Aku bukan nyonya siapa pun. Keluar dari sini!" tegur Alisa dengan dingin.Pelayan itu ketakutan dan cepat-cepat mundur.Alisa membungkuk, memungut pecahan kaca paling tajam dari lantai.Pada saat yang sama, di kantor pusat Grup Keano.Ruang rapat penuh orang, Farel duduk di kursi utama mendengar para karyawannya melapor. Jari-j

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 20

    Pagi hari di pulau pribadi.Helikopter mendarat di landasan tengah pulau, suara baling-balingnya akhirnya melambat, menyisakan suara ombak yang pecah di karang.Farel menggendong Alisa turun dari helikopter. Begitu kakinya menyentuh tanah, Alisa langsung mendorong Fajar menjauh."Penahanan ilegal, ya?" tanya Alisa. Dia mendengus dingin, gaun pengantinnya berkibar liar ditiup angin laut. "Sejak kapan kamu juga mulai pakai cara licik seperti ini?" tanya Alisa.Alih-alih marah, Farel justru tersenyum tipis. "Memangnya kenapa?" tanya Farel.Jarinya yang dingin menyapu pelan wajah Alisa, tetapi tatapannya membara, "Alisa, kamu milikku."Dia melanjutkan, "Seumur hidupmu, jangan pernah bermimpi jadi milik orang lain."Di vila utama.Farel menuntun Alisa berkeliling pulau."Semua yang ada di sini milikmu," ucap Farel sambil membuka pintu kaca raksasa. Hembusan laut yang asin langsung menyerbu ke dalam. "Mulai dari taman, kolam renang, perpustakaan, bahkan samudera itu."Alisa tidak tergerak sa

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 19

    Sehari sebelum pernikahan, di mansion pribadi Keluarga Fathir.Alisa duduk di depan meja rias di kamar pengantin, jarinya menelusuri taburan berlian di gaun pengantin.Di luar jendela, matahari bersinar hangat. Para pelayan sibuk menata lokasi acara pernikahan besok. Segala sesuatu tampak begitu sempurna.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu."Putri Kecil?" panggil Hendra.Hendra masuk sambil membawa secangkir teh bunga hangat dan sebuah kotak beludru mungil di tangan lainnya.Dia mengenakan setelan hitam rapi, kerah kemejanya terbuka sedikit, tatapannya sangat lembut."Kamu hampir nggak makan sarapan," ucap Hendra sambil memberikan cangkir teh ke tangan Alisa. Dia lalu berkata, "Bibi di dapur bilang kamu cuma minum setengah gelas susu."Alisa mendongak, kemudian tersenyum dan bertanya, "Apa kamu mencoba mendidikku?""Aku mana berani," ucap Hendra sembari menunduk sedikit, lalu menyerahkan kotak itu ke tangan Alisa. "Aku cuma takut kamu kelaparan," lanjut Hendra.Alisa membuka ko

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 18

    "Bukankah Keluarga Fathir di Kota Appia dan Keluarga Keano di Kota Persy nggak pernah berhubungan? Itu Pak Farel, 'kan? Kenapa dia ada di sini?"Bisikan para tamu menyebar di seluruh aula pesta.Semua mata serentak tertuju pada sosok tegap yang berdiri di pintu. Farel mengenakan jas yang rapi dan berdiri tegap di sana, tetapi tatapannya suram menakutkan."Kenapa mata Pak Farel menatap langsung ke Nona Alisa setajam itu. Jangan-jangan, dia datang untuk merebutnya?"Hendra segera memeluk Alisa ke dalam dekapannya. Lengannya terentang di depan tubuhnya, seolah ingin meleburkan gadis itu ke dalam darah dan dagingnya sendiri.Alisa perlahan berubah tenang.Dia menatap Farel, lalu tersenyum. "Untuk apa Pak Farel datang? Membawa hadiah pernikahan untuk kami?" tanya Alisa.Kata-kata itu bagai sebilah pisau yang menancap di dada Farel.Rahangnya menegang, urat di pelipisnya tampak menonjol. Farel berkata dengan suara sangat serak, "Alisa, ikut aku pulang."Senyum Alisa justru makin dalam. "Pula

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 17

    Hendra pun berkata, "Sepuluh tahun lalu, di pesta kapal pesiar itu ….""Kamu lupa siapa yang pernah kamu selamatkan?" tanya Hendra,Alisa tertegun. Ingatannya seperti ditarik kembali ke masa sepuluh tahun silam.Malam pesta itu, Alisa berdiri di tepi dek, membiarkan angin laut menerpa wajah. Tiba-tiba dia mendengar suara tubuh jatuh ke air.Seorang anak laki-laki tercebur.Sebelum orang-orang di sekitar sadar, Alisa sudah melompat ke laut.Air laut dingin sampai menusuk tulang. Alisa berenang sekuat tenaga ke anak itu sampai beberapa kali tersedak air. Akhirnya, dia berhasil menyelamatkan anak itu ke atas kapal."Kamu nggak apa-apa?" tanya Alisa. Tubuhnya basah kuyup, tetapi dia hanya fokus memberi pertolongan darurat.Anak itu akhirnya memuntahkan air asin, lalu membuka mata. Bulu matanya masih basah, menggantung butir air.Alisa melepas jaketnya, membungkus tubuh kecil yang gemetar dan berkata, "Bocah, lain kali hati-hati. Jangan lari ke dek lagi."Anak itu menggenggam ujung jaketnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status