"Sudah sampai, Pak," kata sopir taksi kepada Eddy yang saat ini sedang duduk melorot dan terkantuk-kantuk di kursi belakang.
Taksi ini ditumpangi Eddy sejak dia keluar dari bandara, karena dia merasa terlalu lelah dan malas untuk naik angkutan umum menuju vila warisan orangtuanya.
"Benarkah?" tanya Eddy sambil berusaha kembali menegakan tubuhnya.
"Iya, Pak, ini sesuai dengan alamat yang bapak kasih tadi," kata sopir taksi itu yakin.
"Baik, ini uangnya," kata Eddy sambil membayar sopir taksi sesuai perjanjian ketika mereka di bandara.
"Terima kasih, Pak," kata sopir taksi itu senang, karena mendapat bayaran yang lebih besar dari biasanya.
"Sama-sama," kata Eddy sambil keluar dari taksi dengan membawa kopernya.
Eddy memandang vila itu dengan perasaan aneh dan campur aduk. Dia lalu membuka kunci pintu gerbang yang mulai berkarat itu dengan sedikit tenaga ekstra.
Klik.
Eddy menghela nafas lega ketika gembok pintu gerbang itu sudah terbuka. Dengan tergesa dia memasuki vila karena hari sudah beranjak malam.
Cetak!
Eddy memencet saklar lampu vila perlahan tanpa terburu-buru. Dia memperhatikan sekeliling vila yang kini sudah terang benderang.
Semua masih terlihat sama seperti bayangan rumah yang diingatnya ketika masih kecil, hanya saja sekarang ada sarang laba-laba di beberapa sudut namun, itu tidak mengurangi kehangatan yang mengalir di dalam hatinya
Berbagai ingatan masa kecil yang tertinggal di vila itu mulai melintas seperti putaran film di dalam benaknya.
Kriieet!
Terdengar suara pintu yang sudah lama tidak terlumasi dengan baik ketika dia membuka pintu kamar yang dia ingat sebagai kamarnya di masa lalu.
Dia mengamati ruang kamar itu dengan perasaan tak menentu, ada banyak perubahan di kamarnya yang jauh sekali dari bayangannya selama ini.
Kamar itu rupanya telah diubah dan disesuaikan untuk orang dewasa.
'Apakah mereka mengubahnya setelah mereka menemukan panti asuhan tempat Aku dibesarkan?' tanya Eddy dalam hati.
Bruk!
Eddy menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk yang kelihatannya masih baru dan belum pernah ditiduri itu.
"Tidak buruk!" gumam Eddy ketika tubuhnya merasakan kenyamanan dari kasur yang ditidurinya tersebut.
Tadinya Eddy berencana untuk menginap di rumah penginapan terdekat, karena khawatir vila itu tidak layak huni setelah sekian lama tidak ditinggali.
Namun, setelah memperhatikan, semuanya baik-baik saja untuk ditinggali dan hanya butuh sedikit waktu untuk membersihkannya.
Akhirnya Eddy pun memutuskan untuk bermalam di vila.
Eddy sibuk membersihkan vila sambil memeriksa semua ruangan di dalam vila.
Sebelumnya dia pernah datang beberapa kali ke vila warisan orangtuanya ini bersama Guntur tapi dia masuk hanya sampai di ruang tamu saja, bahkan untuk tidur pun dia lebih memilih di ruang tamu.
Entah mengapa Eddy merasa canggung sendiri ketika berada di vila milik orangtuanya yang juga merupakan rumah tempat tinggalnya sebelum tersesat dan terpisah dari kedua orangtuanya.
Sekarang Eddy mencoba untuk membiasakan diri tidur di kamarnya di vila karena Eddy yakin renovasi vila itu pasti akan memakan waktu yang tidak sebentar.
Jadi, dari pada menyewa tempat tinggal sementara, tidur di dalam kamarnya di vila jauh lebih menghemat biaya dan waktu.
Setelah semuanya bersih, Eddy merasa sangat lelah sekali.
Dia membaringkan tubuhnya di kasur dengan harapan bisa secepatnya tertidur lelap.
Namun, sampai tengah malam dia tidak juga bisa tidur dengan nyenyak.
"Akh!"
Eddy mengacak acak rambutnya sendiri dengan perasaan kesal, dipikirnya jika capek dia akan dapat tertidur pulas namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Walau tubuhnya merasa lelah, Eddy merasa matanya segar dan sama sekali tidak mengantuk.
Eddy akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sambil menunggu datangnya rasa kantuk. Dia keluar dari kamarnya dan mulai menyusuri kamar orangtua dan adiknya.
Eddy menarik nafas untuk menenangkan jantung dan pikirannya, entah mengapa dia seperti masih merasakan kehadiran kedua orangtuanya di vila.
Bahkan Shasha yang dulu masih bayi pun ada dalam bayangannya menjelma menjadi seorang gadis cantik seperti yang terpajang di foto dinding kamar adiknya tersebut.
Tanpa disadari oleh Eddy, dia sudah berada di luar vila dan sedang menyusuri taman.
Walaupun malam hari, Eddy dapat melihat rumput yang mulai tumbuh tinggi mengitari tanaman bunga mawar yang diingatnya sebagai bunga kesukaan mendiang ibunya.
Tiba-tiba Eddy menghentikan langkahnya dan mengerutkan alis.
Dia melihat ada pendaran sinar yang kuat berwarna kuning keemasan dari si jago merah.
Sinar itu menyeruak di antara pepohonan dan di antara celah dedaunan.
'Apakah itu kebakaran? tapi siapa yang sengaja menyalakan api di dalam vila kosong ini?' pikir Eddy merasa aneh.
Eddy memutuskan untuk mendekat ke arah cahaya api dengan penuh rasa ingin tahu.
Dia khawatir api tersebut menjadi tak terkendali jika dibiarkan menyala di antara semak belukar.
Bukankah itu yang sering diberitakan di televisi sebagai biang keladi alasan penyebab terjadinya kebakaran lahan yang biasa terjadi selama ini?
Srek!
Eddy menyibak semak-semak yang menjadi penghalang di depannya.
Dia membelalakkan mata dan menghentikan langkahnya ketika melihat sebuah pondok kecil di balik semak belukar.
Di luar pondok Eddy melihat tumpukan sampah yang menggunung sedang dibakar.
'Aneh, siapa yang tinggal di pondok kecil ini?' tanya Eddy dalam hati.
Dia lalu mendekati pondok tersebut dengan hati-hati dan waspada.
Jelas Eddy merasa harus waspada karena bagaimanapun tidak ada yang tahu siapa yang telah sembarangan memasuki kawasan vila warisan orangtuanya tanpa izin, bisa saja itu penjahat yang sedang melarikan diri dari tahanan.
'Aku ingat, dalam denah vila memang ada sebuah pondokan kecil tempat tinggal sopir pribadi papah, tapi sopir itu juga sudah meninggal saat terjadinya kecelakaan beruntun, lalu … siapa orang yang menghuni pondok itu sekarang?' pikir Eddy dengan perasaan was-was.
Satu hal yang saat ini ada dalam pikiran Eddy, orang yang menghuni pondok itu sekarang kalau bukan penjahat pasti seorang tuna wisma yang tidak punya tempat tinggal tetap.
'Mungkin karena melihat vila ini kosong, dia berpikir bisa tinggal dengan seenaknya tanpa izin,' cibir Eddy sinis.
Dengan hati-hati dia melangkahkan kaki mendekati pintu pondok yang saat ini seharusnya sepi dan gelap karena sudah lama di tinggalkan oleh pemiliknya.
Eddy melihat cahaya keemasan berpendar sangat lemah dan berkedip beberapa kali dari sela pintu pondok.
'Sepertinya itu adalah cahaya lilin,' tebak Eddy dalam hati sambil berdiri di depan pintu pondok dan menatapnya rumit.
'Tidak salah lagi, di dalam pondok ini pasti ada orangnya,' pikir Eddy dengan sikap waspada.
Dia merasa dilema apakah harus memanggil pihak yang berwajib atau menangani si penyusup gelap di pondok kecil itu sendiri.
'Apakah Aku dobrak saja pintunya sekarang? Tapi bagaimana kalau ternyata yang ada di dalam pondok ini adalah komplotan penjahat yang sedang melarikan diri dari tahanan?' pikir Eddy cemas
Krieet...!!! Tiba-tiba terdengar suara kursi digeser dan helaan nafas panjang dari seorang wanita. Eddy terkejut dan merasa sangat penasaran ingin mengetahui siapa wanita di dalam pondok itu yang telah begitu berani memasuki dan melanggar hak teritorialnya di kawasan vila milik orangtuanya ini. Braaakk..!!! Akhirnya Eddy memutuskan untuk mendobrak pintu pondok itu walaupun awalnya dia sempat ragu-ragu untuk melakukannya. "Ah!" Terdengar suara kaget seorang perempuan. Eddy menyipitkan matanya agar dapat melihat dengan jelas wajah wanita di dalam keremangan cahaya lilin tersebut. Wanita itu saat ini sedang membungkuk menjaga cahaya lilin dengan tangannya, agar tidak padam. "Siapa Kamu?!" tanya Eddy heran. Eddy menatap penuh selidik pada wajah cantik wanita berambut lurus yang panjang tergerai dan sedikit berantakan itu. Wanita di hadapannya ini berkulit putih dan berpakaian sangat modis. Jadi tidak mungkin kalau dia adalah gadis kampung yang tinggal di sekitaran vila mi
"Lalu apa yang akan Kamu lakukan selanjutnya? Apakah Kamu memiliki pekerjaan?" tanya Eddy ingin tahu. Tiba-tiba Eddy merasa bersalah karena telah mengusir Milla setelah melihat raut kesedihan di wajah cantiknya. Namun, dia juga merasa bingung apa yang harus dilakukannya untuk Milla, saat vila tersebut dijual kepada orang lain. "Apa urusannya itu denganmu?" tanya Milla acuh tak acuh. Dia kini merasa hidup sangat tidak adil dan tidak berpihak kepadanya. Saat dia balita ibunya meninggal, ketika dia kuliah ayahnya juga meninggal dalam kecelakaan yang juga telah menewaskan sahabat baiknya. Milla benar-benar merasa sebatang kara hidup di dunia yang keras ini. Eddy terdiam. 'Dia benar, apa urusannya masalah itu denganku,' batin Eddy merasa aneh dengan dirinya sendiri. "Aku seorang arsitek, walau pun baru lulus Aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan dari yang sebelumnya," kata Milla seolah menyemangati diri sendiri. "Oh?!" Eddy mengangkat alisnya terkejut me
Eddy berpikir pasti adiknya banyak menyimpan berbagai informasi tentang Milla. Krieet...!!! Eddy menghela napas mendengar suara berderit dari pintu yang dibukanya. 'Sepertinya semua pintu di vila ini juga memerlukan pembaharuan,' pikirnya sambil memasuki kamar mendiang adiknya yang bernuansa merah muda. Dia lalu melihat ke arah dinding kamar dan mendapati ada foto dua orang gadis cantik usia remaja tanggung saling rangkul sambil tersenyum lebar menghadap ke kamera. "Wajahnya tidak banyak perubahan," gumam Eddy sambil memandang foto Milla dengan cermat. Kemudian dia membuka laci meja belajar milik adiknya dan menemukan banyak sekali surat dari Milla untuk adiknya. "Aneh sekali, zaman sudah maju begini mereka masih berkirim surat," kata Eddy sambil tersenyum lebar menggelengkan kepalanya merasa tidak habis pikir. Setelah Eddy membaca surat milik Milla, dia baru mengetahui kalau almarhum adik perempuannya suka sekali mengoleksi perangko. Jadi itu sebabnya kemanapun Milla pergi,
Eddy hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat pada akhirnya gadis itu benar-benar tertidur pulas dengan posisi duduk melorot bersandar di kursi taman. "Sudah kuduga," kata Eddy terkekeh geli ketika melihat Milla yang tertidur pulas di kursi taman. Milla sama sekali tidak menyadari kalau kelakuannya saat ini sedang diperhatikan oleh Eddy. Pria tampan itu hanya mengamati wajah Milla dari balik jendela sambil menghabiskan kopi dan sarapannya yang saat ini ada di atas meja. Sesekali dia melihat wajah Milla yang tertidur pulas dan terlihat sangat polos. Entah mengapa Eddy merasa dengan mengamati wajah tersebut bisa memberikan efek menenangkan buatnya. Selesai sarapan Eddy memutuskan untuk keluar vila dan berjalan-jalan di sekitar taman. Dia mendekati kursi taman tempat di mana Milla tertidur pulas. Eddy melipat tangannya di depan dada ketika tiba di hadapan gadis yang tertidur pulas sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia merasa kagum dan takjub melihat Milla yang ma
Milla memang tidak percaya kalau ayahnya telah meninggalkan harta warisan untuknya ketika dia masih hidup, sebagaimana yang dikatakan oleh Eddy. 'Kalau Aku punya harta warisan, Aku tidak akan bekerja pontang panting hanya untuk membiayai kuliahku di Jakarta,' batin Milla sinis. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana susahnya kehidupan setelah ayahnya meninggal. Kuliah sambil bekerja, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Tidak seperti teman-temannya yang bisa masuk kuliah dengan santai tanpa harus terbebani dengan biaya hidup dan biaya kuliah, Milla malah sibuk mendampingi bosnya yang juga kekasihnya itu keliling daerah dan luar negeri. Beruntung dosennya adalah seorang yang pengertian, dia mengizinkan Milla untuk tetap mengikuti kuliah secara daring melalui video. "Aku tidak berbicara omong kosong, almarhum ayahmu memang memiliki bagian dalam harta warisan papaku, Aku juga baru melihatnya tadi pagi," jelas Eddy serius. Eddy memaklumi kenapa Milla tidak mempercayai kabar yang d
"Karena ada perubahan ini, maka renovasi vila juga akan berubah. Antara vila ini dan pondok milikmu akan dipisahkan oleh tembok tinggi agar Kamu maupun pemilik vila ini nantinya tidak akan merasa saling terganggu," ujar Eddy bijak. Milla terdiam, sepertinya kekhawatiran tidak dapat lagi melihat kenangan sahabatnya dari dekat memang tidak bisa lagi dihindari olehnya. "Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy ketika melihat Milla tampak melamun. "Aku baik-baik saja ... tapi barang-barang Shasha dapatkah Kamu memberikan padaku agar Aku dapat terus menyimpannya sebagai kenangan?" tanya Milla ragu khawatir Eddy marah dan menuduhnya serakah. "Tidak masalah ... tadi di taman Kamu bilang ada kerusakan yang harus di perbaiki dan diubah total, Aku ingin rincian jelasnya sekarang juga," kata Eddy kepada Milla sambil bersandar di sofa dengan gaya elegan. "Semua tanaman mawar itu harus diganti karena sudah rusak dan pohon akasia itu juga perlu di tebang beberapa dahannya yang sudah kering agar b
"Selain itu Aku sibuk bekerja, besok pun Aku harus pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Apakah Kamu tidak apa-apa jika Aku tinggal dan mengerjakan semua ini sendiri?" kata Eddy lagi bertanya pada Milla. "Tidak masalah," jawab Milla datar. Bagaimana pun itu memang sudah menjadi tugasnya, semenjak Eddy memilih untuk tidak ikut campur tangan dan menyerahkan semua masalah yang terkait dengan urusan renovasi vila kepada dirinya. "Kalau begitu semuanya beres," kata Eddy lega. Tadinya Eddy sempat merasa tidak enak hati untuk menyampaikan kepada Milla bahwa dia akan pergi sementara dari tempat ini untuk membereskan pekerjaan yang sempat terbengkalai dan dia tinggalkan di Jakarta. "Lalu kapan Kamu akan kembali? Soalnya untuk pemotongan pohon dan pembangunan taman Aku butuh persetujuan darimu," kata Milla serius. Bagaimana pun tidak mungkin baginya mengambil keputusan sendiri tentang renovasi pembangunan ulang vila, karena vila ini bukan milik pribadinya. "Kamu bisa memutuskannya
Milla akhirnya memutuskan untuk menelpon tukang pangkas pohon itu untuk menanyakan alasan dan sebab keterlambatannya datang. "Maaf, Non Milla, Saya tadi malam sudah telpon ke vila untuk mengonfirmasi ke pemilik vila tersebut dan memastikan soal pekerjaan yang kita sepakati kemarin untuk pekerjaan hari ini tetapi saat telpon diangkat oleh pemilik vila, katanya Dia sedang ada di luar dan membatalkan kesepakatan kerja hari ini karena Dia sedang tidak berada di vila," kata sang tukang pangkas pohon itu kepada Milla sopan. "Siapa yang membatalkannya, Pak?" tanya Milla merasa heran. Pikirannya langsung mendarat pada sosok Eddy. Namun, kemudian dia tepis, sebab Milla sendiri tidak merasa yakin apakah orang yang dimaksud oleh tukang pangkas pohon itu adalah Eddy. "Orang itu mengaku sebagai pemilik vila, Non," sahut tukang pangkas pohon itu tegas. Milla langsung paham siapa yang dimaksud tukang pangkas pohon tersebut. Siapa lagi kalau bukan Eddy? Awalnya Milla memang meragukan bahwa Ed