Share

5. Sekarang, Aku Yang Berkuasa!

Sepuluh menit sebelum kedatangan Kenzo dan Melvin di kantornya, Colin sudah sangat kesal karena rencananya yang selama ini ia susun digagalkan oleh dua orang yang dia anggap sebagai kuman.

Colin mengincar Claudia, tapi tidak berniat untuk mencintainya.

Dia hanya mengincar tubuh indah wanita itu. Claudia berparas sangat anggun, hingga pada waktu itu ia yang baru saja menjabat sebagai CEO The Lyceum ikut terpukau.

Banyak orang menginginkan jadi pendamping Claudia, tapi semua ditolak oleh Josh, kakeknya yang sekaligus founder Josh Development, perusahaan mekanik ternama di Skotlandia. Hingga pada suatu saat, Josh memilihkan seorang lelaki untuk dinikahkan dengan Claudia.

Seorang pria tanpa asal-usul yang jelas, tidak punya pekerjaan tetap, juga miskin. Dia adalah Kenzo.

“Ah, sialan! Kenapa harus ada lelaki bernama Kenzo itu? Sudah mengambil Claudia, kini ia ingin mengambil The Lyceum? Aku tidak boleh diam!”

“Aaarggh!” Colin menggebrak meja, membuat beberapa kertas di atas meja itu melayang dan jatuh ke karpet katun berwarna merah.

“Ada masalah apa, Sayang? Kenapa sampai sekacau ini” tanya Ellen lembut, sembari membelai dagu Colin dengan punggung tangan kanannya. Wajahnya mereka berdua semakin dekat hingga Colin dapat merasakan setiap hembusan nafas Ellen. “Ceritakan padaku jika ada masalah, aku siap membantumu kapanpun.”

Colin sadar itu hanya rayuan busuk karena mereka sama-sama tipikal penjilat. Colin suka dengan wanita dan sering berganti kekasih saat berkencan, termasuk juga Ellen, teman kencannya saat berada disini, di ruangan pribadinya tepat lantai paling atas perusahaan.

Ellen pun begitu, merelakan tubuhnya dinikmati demi meraup jabatan dan harta dari Colin.

Sudah menjadi rahasia umum perusahaan jika Ellen merupakan kekasih gelap Colin sejak awal menjabat sebagai CEO.

Terbukti, dalam setahun kepemimpinan lelaki buaya itu, Ellen beberapa kali naik jabatan meskipun kinerjanya sangatlah buruk. Sangat sering bolos absen, meninggalkan tanggung jawab awalnya, laporan yang kocar-kacir, bahkan semua pegawai tidak menyukai Ellen.

Semua kebencian itu sirna ketika Ellen menyuguhkan tubuhnya pada para petinggi perusahaan –termasuk Colin –hingga ia bisa menjadi salah satu elite tertinggi The Lyceum, perusahaan theater terkemuka di Edinburgh, bahkan Skotlandia.

“Ini, rasakan dan nikmati setiap detail tubuh indahku!” Ellen membuka kancing kemeja biru dongker miliknya, menampilkan dua bulatan mungil di dadanya yang terbungkus rapi oleh kacamata khusus berwarna putih tipis sedikit transparan. “Luapkan! Benamkan wajahmu disini! Aku jamin pikiran kalutmu itu hilang.”

“Diam kau, Jalang!” Colin mendorong Ellen hingga jatuh tersungkur dari atas meja ke karpet katun merah yang melapisi kantor pribadinya. “Diam! Dasar wanita murahan! Masalah ini tidak dapat selesai hanya dengan menikmati kemolekan tubuhmu. Tidak pernah!”

“Ini masalah serius!” Colin membentak Ellen yang masih belum kunjung menautkan kembali kancing-kancing bajunya sehingga nampak sekali dua aset berharga miliknya. “Keluar dari sini dan jangan kembali lagi!”

Ingin sekali rasanya Ellen membentak Colin yang hanya memperlakukannya sebagai budak pemuas saja. Karena sadar diri, ia memilih untuk diam dan menuruti Colin.

Kalau bukan karena Colin yang menjabat sebagai kepala perusahaan The Lyceum, tidak mungkin ia akan menjadi salah satu petinggi disini.

Ellen keluar dan membanting pintu, menyisakan Colin yang menunduk; merenungi kehidupannya yang semakin rumit setelah kemunculan Kenzo.

Setelah hampir lima belas menit pengusiran Ellen, Colin mendapat telepon dari Robin, asisten sekaligus wakilnya dalam memimpin The Lyceum.

“Tuan Kenzo tidak mau naik ke atas. Dia menyuruh Anda turun di hall utama The Lyceum.”

Satu kalimat itu membuat Colin menggertakkan giginya kuat-kuat, geram akan tingkah laku semena-mena Kenzo. Jari telunjuknya terus mengetuk-ngetuk meja cokelat sembari berpikir keras apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Okay, aku turun sekarang. Akan kuturuti permintaan si miskin itu!”

“Dan juga, Sir, beliau minta Anda un-”

“Apalagi? Minta apalagi si gembel Kenzo satu ini?” Colin sedikit membentak, kesal ketika diperintah oleh seseorang, apalagi orang tersebut seperti Kenzo.

“Tuan Kenzo minta Anda segera mengemasi barang karena kantor Anda akan diisi barang-barang miliknya.”  Robin menyampaikan apa yang diperintah Kenzo dengan cermat, tidak ada satupun permintaan yang terabaikan.

Ellen hanya bisa ternganga. Dia tidak tahu apapun tentang Kenzo dan Melvin yang baru saja datang menggunakan sedan mewah. Belum menyadari jika Kenzo telah mengakusisi seluruh saham The Lyceum, Ellen masih coba menggoda Colin, tapi niatnya gugur kala melihat mata merah Colin.

Sore tadi, tepat ketika Kenzo berjalan menyusuri Princes Street yang maha mewah, Melvin sudah berangkat menuju The Lyceum untuk mengkonfirmasi masalah penandatanganan surat balik nama pemilik perusahaan.

Colin yang kala itu sedang asyik menikmati liang hangat Ellen, memasrahkan segala urusan itu pada Robin, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Robin hanya menyampaikan jika ada orang yang akan membeli keseluruhan saham perusahaan itu, tapi tidak menyebut nama Kenzo.

Karena tidak ingin diganggu oleh diskusi saham yang rumit, Colin langsung menandatangani surat pernyataan di atas materai jika perusahaan ini resmi akan menjadi milik Kenzo, tanpa membacanya lebih dulu.

Dari seluruh petinggi The Lyceum, hanya Robin seorang yang dikenal jujur dan bertanggung jawab pada setiap tugasnya.  Dia juga selalu ramah terhadap seluruh bawahan.

Lima tahun bekerja di perusahaan ini –satu tahun sebelum Colin bekerja disini –, Robin cepat memperoleh jabatan tinggi karena kegigihannya. Jujur, dia memang pantas memegang jabatan wakil kepala, atau bahkan lebih cocok menjadi kepala perusahaan.

Kenzo menelepon Robin dan memberi beberapa permintaan lain.

“Beritahu juga Ellen, dia ikut dipecat bersama Colin. Perusahan tidak butuh gadis molek tak punya dedikasi.” Kenzo sengaja mengeraskan suaranya agar Ellen dapat mendengar kata-kata setannya.

“Juga dua satpam yang tadi sempat memandang remeh diriku.” Kenzo mengalihkan pandangnya ke arah dua lelaki sedikit kekar berbaju putih bertuliskan ‘security’ di ujung pintu masuk perusahaan.

Dua satpam itu terlihat sangat takut jika Kenzo menindak mereka seperti halnya Ellen. Tatapan nanar sudah mulai nampak, wajah sedih dengan urat memelas juga ikut dimunculkan. Tapi, apa daya, Kenzo tetaplah Kenzo. Keputusannya mutlak.

“Aku tidak ingin memecat mereka.” Kenzo diam sejenak, melirik wajah puas dua satpam The Lyceum. “Jam kerja mereka terlalu banyak. Pangkas jadi enam jam untuk satu shift. Jadi, The Lyceum punya empat shift kerja petugas keamanan.”

Robin menghela nafas. “Bukankah Tuan sendiri berhak untuk memberitahu mereka.”

“Ini urusanmu, Robin, aku tidak ingin ikut campur. Kau yang berhak mengurangi jam kerja dan memecat mereka yang tidak layak dipekerjakan di sini. Sekarang ini tanggung jawabmu. Perusahaan ini resmi dipimpin olehmu.”

“A-aku, Tuan?”

“Ya, kau sekarang menjadi Head of Officer sekaligus merangkap wakil kepala perusahaan, tepat di bawahku.”

Telepon ditutup.

Robin penasaran. Rencana apa yang akan disusun Kenzo. Menjadikannya sebagai kepala para petinggi? Pasti semua ada alasannya. Dan, di lobby The Lyceum, Kenzo menyunggingkan senyum penuh misteri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status