Share

Bab 4 - Gudang

Panggilan itu membuat Mentari dengan cepat menoleh. Alman berjalan mendekat. Pria bertubuh agak gemuk dengan rambut ikal itu tersenyum. Ternyata, Alman suka tersenyum.

"Lihat ..." Alman menunjukkan kotak yang ada di tangannya. "Ada temanku yang ulang tahun. Dia bagi-bagi makanan. Ini pasti enak."

Alman berjongkok di depan pintu dan membuka kotak kue yang dia letakkan di depan Mentari. Donat, pastel, dan risoles ada di kotak itu. Alman memberikannya pada Mentari. Mentari memandang Alman. Rasa takut yang semula menyergap hati Mentari perlahan lenyap. Apa Alman benar-benar baik? Mungkinkah Mentari akan mendapat pertolongan dari pria ini?

“Makanlah, lalu minum obat ini.” Alman mengulurkan satu lembar obat kepada Mentari. “Setelah itu kamu bisa pulang.”

"Bisakah aku di sini saja? Aku belum bisa pergi, Om. Belum kuat." Mentari beralasan.

Sebenarnya Mentari belum berani keluar dari persembunyiannya. Paling aman kalau dia keluar di malam hari, atau setidaknya menunggu hingga sehari lagi.

Alman memperhatikan Mentari. “Ya, terserah saja. Aku harus segera bekerja,” ujar Alman.

Dering ponsel mengalunkan lagu dangdut terdengar. Alman dengan cepat menerima panggilan.

"Ya, Bu Bos. Aku udah datang. Ini otewe ke situ ... Amanlah, beres!" Suara berat Alman sedikit berubah lebih semangat. Mentari memandangi pria itu. Dia menyimpan lagi ponsel di saku bajunya sebelah kiri, di dekat dada.

"Aku harus turun. Kalau kamu mau di sini ya udah, ga apa-apa. Nanti aku balik, kalau kerjaanku longgar." Alman berdiri.

Mentari mengangguk. Lega menyeruak di dada. Setidaknya dia tidak harus pergi dengan cepat. Dia punya waktu menata bagaimana langkah selanjutnya. Apalagi tubuhnya kelelahan dan belum sehat. Mentari memperhatikan Alman, sedikit menyeret tubuhnya mendekat pintu dan melihat ke mana Alman. Ternyata tangga ke bawah ada di bagian samping sedikit ke belakang gudang itu letaknya. Karena itu Alman bisa mudah bolak balik ke atas.

Mentari balik lagi ke dalam, kembali duduk di atas plastik seperti sebelumnya. Dia biarkan pintu terbuka agar angin dapat masuk, memberi kesegaran. Di dalam ruangan terasa sangat panas. Mentari duduk bersandar pada dinding. Mentari menyentuh keningnya, lalu turun ke leher.

"Masih hangat, tapi ga sangat panas. Kurasa obat yang dikasih Om Alman cocok buat aku. Hhaahh ... aku mulai mengantuk." Mentari menguap. Dia menutup mulut dengan tangan kanan. Rasa kantuk mendera, efek obat yang dia minum mulai terasa. Mentari berusaha tetap terjaga, tapi beberapa menit kemudian, dia lebih sering terpejam ketimbang membuka mata. Akhirnya tak kuasa menahan kantuk, Mentari terlelap.

*****

Siang, saat makan siang, Alman kembali datang dengan mie ayam dan minuman di botol plastik. Alman mengajak Mentari makan siang bersama. Sepertinya pria itu memastikan jika Mentari sudah lebih baik. Sambil menikmati makan siang bersama, Alman mulai bertanya bagaimana Mentari bisa berada di atap mall itu.

"Aku ... aku tersesat ..." Mungkin jawaban itu yang paling tepat untuk Mentari ucapkan.

"Tersesat?" Alman semakin heran.

Kali ini Mentari mengangguk.

"Gimana bisa? Kamu bukan orang Jakarta, ya? Kamu dari Jawa?" Pertanyaan berikutnya lagi-lagi dijawab dengan anggukan.

"Ya, Om. Aku mau kerja di sini. Di Jakarta." Jawaban jujur yang Mentari berikan.

"Kamu nekat sekali. Lalu barang-barang kamu mana? Sepatu saja kamu ga pakai. Apa kamu dirampok orang?" Ternyata tidak habis pertanyaan dari Alman.

Mentari ingin menangis rasanya. Seandainya dia bisa menumpahkan segala penat di dadanya. Dua minggu di ibukota, seperti masuk neraka. Hampir dia jadi barang dagangan pria-pria hidung belang. Kedua mata Mentari berkaca-kaca, butiran bening dengan cepat mengumpul di sana. Pria berkumis tebal itu menampakkan wajah iba. Melihat Mentari hatinya makin terenyuh.

"Iya, aku dirampok, eh, dicopet ... aku ... semua barangku abis. Aku cuma punya pakaian ini." Mentari mengusuk gaunnya yang kumal dan dekil.

"Malang benar nasibmu. Orang tuamu gimana? Sudah kamu hubungi?" Alman duduk di samping Mentari.

"Ayah dan Ibu udah meninggal, Om. Aku nekat ke Jakarta pingin mengubah nasib. Ternyata aku hanya dapat sial." Mentari menjawab dengan hati perih. Dia usap matanya yang mulai basah.

Alman duduk bersila memandangi Mentari. Wajahnya tidak karuan. Masih ada sisa makeup, bercampur dengan air mata, jadi makin kotor saja. Padahal gadis imut ini cantik dan menarik. Wajahnya oval dengan janggut sedikit lancip.

Alman mencermati wajah Mentari. Malang sekali nasib gadis belia ini. Alman yakin gadis yang baru dia kenal itu tidak berbohong. Dari gaya bicaranya, gestur tubuhnya, ketahuan sekali memang dari kampung, yang pasti bukan dari kota besar asalnya.

"Jadi setelah ini kamu mau ke mana?" tanya Alman.

Mentari menggeleng pelan. Tentu saja dia tidak tahu. Tidak ada uang di tangan. Tasnya dia tinggal di hotel tempat dia dibawa pria kaya entah siapa itu. Dompet dengan sejumlah uang, KTP, dan ponsel, semua ada di sana. Pakaiannya dalam koper butut yang tidak seberapa, dia tinggal di rumah besar tempat pertama yang Mentari tuju saat tiba di Jakarta. Mentari tidak mungkin kembali ke sana mengambil semua pakaiannya juga.

"Ya udah, aku bantu beresin tempat ini. Lalu aku balik kerja. Nanti aku bawakan makan malam." Alman pikir tidak ada pilihan, gadis itu lebih baik memang di gudang itu saja.

Mentari menurut, tapi masih merasa aneh. Bagaimana bisa Alman sangat baik dengannya? Apa laki-laki itu tulus menolongnya? Masih ada tanda tanya di hati Mentari. Dia harus tetap hati-hati.

Alman mengambil sapu jelek yang ada di ujung gudang tertutup plastik dan kardus jelek, Dengan itu dia membersihkan gudang. Mentari memasang kardus di lantai lalu dia tutup dengan plastik agar tidak sangat berdebu. Lalu Alman melangkah keluar ruangan.

"Om!" panggil Mentari. Alman menoleh. "Aku sakit perut."

"Hah? Masih lapar?" tanya Alman heran.

"Mau ke toilet. Dari semalam ga ke belakang," kata Mentari.

"Haah ..." Alman menaikkan kedua alisnya. "Baiklah. Ayo, ikut aku."

"Ke mana?" tanya Mentari.

"Toilet. Jadi nggak?" sahut Alman.

"Iya ..." ucap Mentari sedikit bingung.

Alman berjalan ke sisi belakang gudang. Ada tangga turun di sana. Mentari mengikuti di belakang Alman. Begitu turun udara sejuk menerpa. Udara dingin dari AC di mall segera menyambar. Alman terus turun lalu sampai di bawah dia menuju ke kanan, ujung mal di lantai teratas.

"Bentar, aku cek, banyak orang ga?" ujar Alman.

Mentari mengangguk. Alman maju beberapa langkah, menengok ke arah toilet, memastikan situasi. Dia menoleh ke arah Mentari dan melambai. Mentari mendekat.

"Itu yang jaga temanku. Sepertinya toilet sepi. Aku akan ajak dia bicara agak minggir ke sana, lalu kamu cepat-cepat ke toilet. Oke?" Alman mengatur strategi. Mentari mengangguk, mengerti.

Alman berjalan mendekati penjaga toilet. Seorang karyawati yang terbilang muda. Alman tampak bicara serius, lalu mereka bergerak agak menjauh. Saat itu, dengan cepat Mentari masuk menyelinap dalam toilet.

Mentari cepat masuk ke bilik paling dekat. Segera dia bereskan urusan belakang. Setelah itu, Mentari mencuci wajahnya di wastafel di luar bilik. Leher dan lengan pun dia usap dengan air agar terasa segar. Mentari memperhatikan wajahnya. Kusam, lelah, dan berantakan.

Tangan Mentari sibuk menyisir rambutnya yang semrawut. Rasanya bukan dirinya lagi yang dia lihat di cermin. Kotor dan dekil. Tidak bisa ganti pakaian meskipun ada air yang bersih dan segar.

"Pingin mandi, tapi gimana?" batin Mentari.

Sayup-sayup terdengar tawa dari luar toilet. Mentari gelagapan. Dia harus segera keluar. Atau akan ketahuan dia masuk diam-diam dan tidak bisa membayar uang toilet. Cepat-cepat Mentari menyelinap keluar. Dia berjalan balik ke arah tangga menuju ke atas.

Dari jauh tampak Alman melihat Mentari sudah keluar dari toilet. Mentari terus berjalan secepat mungkin, jangan sampai bertemu siapapun. Tangga naik tinggal beberapa meter lagi. Mentari makin mempercepat langkah, tepat dua meter berikut Mentari berbelok sebelum ketemu tangga.

"Auhh!!" Mentari kaget luar biasa. Dia menabrak seseorang yang datang tiba-tiba dari arah belokan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status