Share

Bab 3 - Sofi?

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-16 11:31:10

Mentari makin meringkuk dengan tubuh bergetar. Nafasnya terdengar memburu karena ketakutan. Tubuh Mentari pun oleng. Pria itu urung memegang lengan Mentari, karena Mentari terjatuh, meringkuk, dan tidak sadarkan diri.

"Astaga! Ini hari apa, sih? Kenapa aku sial begini?" Pria itu kaget dan bingung karena gadis di depannya tiba-tiba jatuh pingsan.

"Aduh, bagaimana ini? Kalau ada yang tahu ini cewek di sini, bisa berabe juga. Dia harus bangun." Pria bertubuh agak gemuk itu kesal.

Pria itu setengah berjongkok di sisi tubuh Mentari. Dia bermaksud membangunkan gadis itu. Tapi begitu dia sentuh lengan Mentari, segera dia lepaskan lagi.

"Ya ampun!! Panas sekali. Ini cewek sakit?" Pria itu semakin bingung.

Tidak mungkin dia membiarkan gadis tak dikenalnya itu pingsan di situ dengan kondisi mengenaskan. Perlahan dia menyentuh tubuh Mentari dan membaringkannya dengan posisi terlentang. Dia perhatikan kondisi gadis bertubuh kurus dengan rambut berantakan itu.

"Wajahnya kotor begini. Sisa dandanannya masih ada, tapi amburadul gitu. Pakai gaun kayak abis ke pesta, tapi ga pakai sepatu. Ini cewek kenapa, sih? Abis dari mana? Ngapain dia sampai masuk gudang kayak gini?"

"Uhh ... perutku ... uhhh ..." Mentari mengeluh kesakitan.

"Kamu bangun?" Pria itu sedikit berjongkok dan menatap Mentari.

"Ohh ... Pak, tolong ... jangan ..." Mentari berucap lirih, hampir tak tertangkap pria berkumis itu.

Mentari kembali segera mendapatkan kesadaran. Belum benar-benar dengan posisi duduk, Mentari mengulurkan tangan, memberi tanda agar pria itu tidak makin mendekat.

"Aku ga akan ganggu kamu. Badan kamu panas sekali. Kamu sakit?" Tatapan pria itu berubah, sedikit lebih lunak, tidak segarang sebelumnya. Nada suaranya juga lebih rendah dan tidak tajam.

"Aku ... sakit ... perutku ... Uhhfhh ..." Tangan Mentari dengan cepat memeluk perutnya.

"Kamu kelaparan pasti. Sebentar," kata pria itu.

Dia berbalik dan meraih tasnya yang ada di dekat pintu. Dari dalam tas dia mengeluarkan plastik dan botol minum. Dia sodorkan di depan Mentari.

"Ini, kamu makan roti ini. Setidaknya mengganjal rasa lapar. Ini minumnya." Pria itu menatap Mentari.

Mentari hanya melongo, dengan mulut sedikit terbuka. Dia bingung dengan sikap laki-laki itu. Kenapa dia baik? Bukannya dia sedang mencari Mentari untuk dibawa balik menemui bosnya?

"Ayo ... kalau kurang aku belikan lagi roti atau makanan lain," kata pria itu lagi.

Mentari ragu-ragu, tapi dia ulurkan tangan juga menerima plastik berisi roti dan botol minum milik pria itu. Dengan cepat Mentari membuka plastik dan menggigit potongan pertama roti yang sudah pindah ke tangannya. Gerakannya disertai gemetar karena tubuhnya yang lemah dan sakit.

Ada iba menyusup di hati pria itu melihat Mentari. Gadis itu sesekali melirik takut-takut pada pria itu sembari mengunyah roti di mulutnya.

"Aku kerja di mal ini. Bagian clening service. Namaku Alman." Pria itu mengenalkan diri.

Mentari batal memasukkan roti ke mulutnya. Dia melihat ke arah Alman.

"Sebenarnya aku naik ke sini mau ambil itu." Tangan Alman menunjuk ke ujung ruangan kecil itu.

Mentari mengikuti arah tangan Alman. Tidak ada apa-apa di pojok ruangan. Hanya kardus yang terlipat, disandarkan di dinding.

"Kardus itu, aku mau bawa turun. Aku ngumpulin kardus-kardus, dijual. Lumayan buat tambah-tambah. Plastik-plastik juga," ujar Alman.

Mentari memperhatikan Alman. Kumis yang agak tebal di wajahnya memang memberi kesan dia sangar. Tetapi setelah beberapa kalimat yang dia katakan, Mentari mulai yakin, Alman bukan salah satu dari kelompok penjahat yang mencarinya.

"Kardus itu masih bagus, harganya cukup baik kalau dijual." Alman berdiri dan mendekati kardus di pojok ruangan.

Mentari terus memperhatikan Alman, lalu pada kardus yang sudah disentuh pria itu.

"Nama kamu siapa?" tanya Alman, urung mengambil kardus. Dia kembali memandang Mentari.

Mentari terdiam. Apa akan aman kalau dia mengatakan siapa dirinya? Kalau sampai para penjahat itu terus mencarinya, dan bertanya tentang gadis kurus kecil bernama Mentari? Mata Mentari menatap lurus ke kardus di tangan Alman.

"Nama kamu, siapa?" ulang Alman.

"Sho ... pee ...?" kata Mentari pelan. Kata itu terucap begitu saja sementara mata Mentari tertuju pada tulisan di kardus.

"Siapa? Sofi?" Alman mengerutkan kening. Dia ulang ucapan Mentari, meyakinkan dirinya, kalau dia tidak salah dengar.

"Ya ... aku ... Sofi." Dengan dada berdebar, Mentari menyebut nama itu. Mungkin lebih baik dia tidak memberitahu siapa dirinya. Toh, dia tidak akan bertemu dengan Alman lagi.

"Nama yang bagus." Alman tersenyum.

Ah, senyum ... Mentari menatap Alman yang tersenyum. Senyum pria berkumis itu ternyata membuat ketakutan Mentari lenyap.

"Lanjutkan makan, abisin. Oya, aku akan carikan kamu obat. Biar panas badanmu turun." Alman melangkah ke arah pintu.

"Hah? Obat?" Mentari heran dengan Alman. Dia mau cari obat buat Mentari?

"Kamu pingsan, badanmu panas. Kamu itu sakit. Tunggu di sini, aku ambil obat sebentar. Ga sampai sepuluh menit aku balik." Alman berpesan.

Mentari hampir membuka mulut, tapi dia urungkan. Alman sudah berjalan cepat keluar ruangan dan entah ke mana. Mentari bingung harus bagaimana. Kalau dia meninggalkan gudang itu, ke mana dia akan menuju?

Mentari melihat ke tubuhnya. Gaun hitam yang dia kenakan terlihat lusuh dan dekil. Tubuhnya terasa lengket karena keringat sejak hari sebelumnya. Kalau dia keluar di siang hari, orang akan melihatnya dengan tatapan aneh.

"Tidak bisa. Aku harus tunggu sampai malam baru bisa pergi. Setidaknya, Om Alman, dia baik. Dia kasih aku roti, minum ... obat juga ..." Mentari berpikir sambil mengunyah lagi roti yang ada di mulutnya.

Hanya dua gigitan berikutnya, roti sudah ludes. Mentari meneguk air di botol minum usang yang Alman berikan sampai hampir habis. Lumayan, rasa lapar menyingkir. Tapi rasa ngilu di perut belum benar-benar hilang. Pasti asam lambung naik. Belum lagi rasa panas di badan, dan juga terasa sakit semua sekujur tubuh.

Mentari memaksa diri mendekat ke pintu dan memperhatikan keluar. Langit seperti begitu dekat. Biru terang dengan awan-awan berarak. Hari cerah, panas matahari mulai terasa sedikit menyengat.

"Langit luas dan bagus. Bumi begitu besar. Kenapa aku harus bersembunyi dari semua keindahan itu?" bisik Mentari.

Tidak ada jawaban yang terdengar. Mentari merasa campur aduk di hatinya. Perjalanan panjang dia lalui agar bisa tiba di Jakarta. Pekerjaan menunggu untuknya, sebagai karyawan di sebuah pabrik konveksi.

Ternyata, dia dijebak. Bukan pabrik yang menerimanya, melainkan dia akan dipekerjakan sebagai wanita malam. Mentari merasa dunianya seperti dijungkirbalikkan. Apa yang dia bayangkan ketika berangkat dan apa yang dia hadapi saat tiba di ibukota, bertolak belakang bagai utara dan selatan yang tidak mungkin bersatu.

"Uuffhh ..." Mentari melenguh. Sedih dan syukur bercampur di dadanya.

Untung dia berhasil kabur. Seandainya tidak ...

"Sofi!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status