Share

Bab 3 - Sofi?

Mentari makin meringkuk dengan tubuh bergetar. Nafasnya terdengar memburu karena ketakutan. Tubuh Mentari pun oleng. Pria itu urung memegang lengan Mentari, karena Mentari terjatuh, meringkuk, dan tidak sadarkan diri.

"Astaga! Ini hari apa, sih? Kenapa aku sial begini?" Pria itu kaget dan bingung karena gadis di depannya tiba-tiba jatuh pingsan.

"Aduh, bagaimana ini? Kalau ada yang tahu ini cewek di sini, bisa berabe juga. Dia harus bangun." Pria bertubuh agak gemuk itu kesal.

Pria itu setengah berjongkok di sisi tubuh Mentari. Dia bermaksud membangunkan gadis itu. Tapi begitu dia sentuh lengan Mentari, segera dia lepaskan lagi.

"Ya ampun!! Panas sekali. Ini cewek sakit?" Pria itu semakin bingung.

Tidak mungkin dia membiarkan gadis tak dikenalnya itu pingsan di situ dengan kondisi mengenaskan. Perlahan dia menyentuh tubuh Mentari dan membaringkannya dengan posisi terlentang. Dia perhatikan kondisi gadis bertubuh kurus dengan rambut berantakan itu.

"Wajahnya kotor begini. Sisa dandanannya masih ada, tapi amburadul gitu. Pakai gaun kayak abis ke pesta, tapi ga pakai sepatu. Ini cewek kenapa, sih? Abis dari mana? Ngapain dia sampai masuk gudang kayak gini?"

"Uhh ... perutku ... uhhh ..." Mentari mengeluh kesakitan.

"Kamu bangun?" Pria itu sedikit berjongkok dan menatap Mentari.

"Ohh ... Pak, tolong ... jangan ..." Mentari berucap lirih, hampir tak tertangkap pria berkumis itu.

Mentari kembali segera mendapatkan kesadaran. Belum benar-benar dengan posisi duduk, Mentari mengulurkan tangan, memberi tanda agar pria itu tidak makin mendekat.

"Aku ga akan ganggu kamu. Badan kamu panas sekali. Kamu sakit?" Tatapan pria itu berubah, sedikit lebih lunak, tidak segarang sebelumnya. Nada suaranya juga lebih rendah dan tidak tajam.

"Aku ... sakit ... perutku ... Uhhfhh ..." Tangan Mentari dengan cepat memeluk perutnya.

"Kamu kelaparan pasti. Sebentar," kata pria itu.

Dia berbalik dan meraih tasnya yang ada di dekat pintu. Dari dalam tas dia mengeluarkan plastik dan botol minum. Dia sodorkan di depan Mentari.

"Ini, kamu makan roti ini. Setidaknya mengganjal rasa lapar. Ini minumnya." Pria itu menatap Mentari.

Mentari hanya melongo, dengan mulut sedikit terbuka. Dia bingung dengan sikap laki-laki itu. Kenapa dia baik? Bukannya dia sedang mencari Mentari untuk dibawa balik menemui bosnya?

"Ayo ... kalau kurang aku belikan lagi roti atau makanan lain," kata pria itu lagi.

Mentari ragu-ragu, tapi dia ulurkan tangan juga menerima plastik berisi roti dan botol minum milik pria itu. Dengan cepat Mentari membuka plastik dan menggigit potongan pertama roti yang sudah pindah ke tangannya. Gerakannya disertai gemetar karena tubuhnya yang lemah dan sakit.

Ada iba menyusup di hati pria itu melihat Mentari. Gadis itu sesekali melirik takut-takut pada pria itu sembari mengunyah roti di mulutnya.

"Aku kerja di mal ini. Bagian clening service. Namaku Alman." Pria itu mengenalkan diri.

Mentari batal memasukkan roti ke mulutnya. Dia melihat ke arah Alman.

"Sebenarnya aku naik ke sini mau ambil itu." Tangan Alman menunjuk ke ujung ruangan kecil itu.

Mentari mengikuti arah tangan Alman. Tidak ada apa-apa di pojok ruangan. Hanya kardus yang terlipat, disandarkan di dinding.

"Kardus itu, aku mau bawa turun. Aku ngumpulin kardus-kardus, dijual. Lumayan buat tambah-tambah. Plastik-plastik juga," ujar Alman.

Mentari memperhatikan Alman. Kumis yang agak tebal di wajahnya memang memberi kesan dia sangar. Tetapi setelah beberapa kalimat yang dia katakan, Mentari mulai yakin, Alman bukan salah satu dari kelompok penjahat yang mencarinya.

"Kardus itu masih bagus, harganya cukup baik kalau dijual." Alman berdiri dan mendekati kardus di pojok ruangan.

Mentari terus memperhatikan Alman, lalu pada kardus yang sudah disentuh pria itu.

"Nama kamu siapa?" tanya Alman, urung mengambil kardus. Dia kembali memandang Mentari.

Mentari terdiam. Apa akan aman kalau dia mengatakan siapa dirinya? Kalau sampai para penjahat itu terus mencarinya, dan bertanya tentang gadis kurus kecil bernama Mentari? Mata Mentari menatap lurus ke kardus di tangan Alman.

"Nama kamu, siapa?" ulang Alman.

"Sho ... pee ...?" kata Mentari pelan. Kata itu terucap begitu saja sementara mata Mentari tertuju pada tulisan di kardus.

"Siapa? Sofi?" Alman mengerutkan kening. Dia ulang ucapan Mentari, meyakinkan dirinya, kalau dia tidak salah dengar.

"Ya ... aku ... Sofi." Dengan dada berdebar, Mentari menyebut nama itu. Mungkin lebih baik dia tidak memberitahu siapa dirinya. Toh, dia tidak akan bertemu dengan Alman lagi.

"Nama yang bagus." Alman tersenyum.

Ah, senyum ... Mentari menatap Alman yang tersenyum. Senyum pria berkumis itu ternyata membuat ketakutan Mentari lenyap.

"Lanjutkan makan, abisin. Oya, aku akan carikan kamu obat. Biar panas badanmu turun." Alman melangkah ke arah pintu.

"Hah? Obat?" Mentari heran dengan Alman. Dia mau cari obat buat Mentari?

"Kamu pingsan, badanmu panas. Kamu itu sakit. Tunggu di sini, aku ambil obat sebentar. Ga sampai sepuluh menit aku balik." Alman berpesan.

Mentari hampir membuka mulut, tapi dia urungkan. Alman sudah berjalan cepat keluar ruangan dan entah ke mana. Mentari bingung harus bagaimana. Kalau dia meninggalkan gudang itu, ke mana dia akan menuju?

Mentari melihat ke tubuhnya. Gaun hitam yang dia kenakan terlihat lusuh dan dekil. Tubuhnya terasa lengket karena keringat sejak hari sebelumnya. Kalau dia keluar di siang hari, orang akan melihatnya dengan tatapan aneh.

"Tidak bisa. Aku harus tunggu sampai malam baru bisa pergi. Setidaknya, Om Alman, dia baik. Dia kasih aku roti, minum ... obat juga ..." Mentari berpikir sambil mengunyah lagi roti yang ada di mulutnya.

Hanya dua gigitan berikutnya, roti sudah ludes. Mentari meneguk air di botol minum usang yang Alman berikan sampai hampir habis. Lumayan, rasa lapar menyingkir. Tapi rasa ngilu di perut belum benar-benar hilang. Pasti asam lambung naik. Belum lagi rasa panas di badan, dan juga terasa sakit semua sekujur tubuh.

Mentari memaksa diri mendekat ke pintu dan memperhatikan keluar. Langit seperti begitu dekat. Biru terang dengan awan-awan berarak. Hari cerah, panas matahari mulai terasa sedikit menyengat.

"Langit luas dan bagus. Bumi begitu besar. Kenapa aku harus bersembunyi dari semua keindahan itu?" bisik Mentari.

Tidak ada jawaban yang terdengar. Mentari merasa campur aduk di hatinya. Perjalanan panjang dia lalui agar bisa tiba di Jakarta. Pekerjaan menunggu untuknya, sebagai karyawan di sebuah pabrik konveksi.

Ternyata, dia dijebak. Bukan pabrik yang menerimanya, melainkan dia akan dipekerjakan sebagai wanita malam. Mentari merasa dunianya seperti dijungkirbalikkan. Apa yang dia bayangkan ketika berangkat dan apa yang dia hadapi saat tiba di ibukota, bertolak belakang bagai utara dan selatan yang tidak mungkin bersatu.

"Uuffhh ..." Mentari melenguh. Sedih dan syukur bercampur di dadanya.

Untung dia berhasil kabur. Seandainya tidak ...

"Sofi!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status