Share

Bab 5 - Terpana

Mentari oleng dan terjatuh hingga hampir terlentang. Pria itu lumayan tinggi dan gagah. Pantas saja mampu membuat tubuh Mentari yang tipis sampai terjerembab.

"Hei! Lu ngapain?!" Pria itu berseru kaget.

Mentari dengan cepat menegakkan badan. Masih setengah berjongkok, Mentari melihat pada pria itu. Keren sekali. Kulitnya bersih, dengan kacamata gelap bertengger di wajahnya. Sedang kepalanya ditutup dengan topi merah gelap bertuliskan. You - Yes!

"Lu nggak apa-apa?" tanya pria itu. Dia sedikit membungkuk, mengulurkan tangan hendak menolong Mentari.

Mentari terpana. Benar-benar keren pria di depannya itu! Seperti artis saja. Dengan kaos putih dan denim biru terang, dia makin memukau meskipun Mentari tidak bisa melihat jelas karena kacamata dan topi yang menghiasi wajah dan kepala.

"Hei, gue ngomong, nih!" ujar si tampan. "Lu ga apa-apa?"

"Nggak, aku cuma kaget." Dengan cepat Mentari berdiri, tidak menerima uluran tangan pria itu.

"Oh, oke. Gue kira ... abis lu bengong aja," kata pria itu, ikut berdiri. Logat Jakartanya kental sekali.

"Maaf, aku ga maksud nabrak Masnya," kata Mentari sedikit membungkuk.

"Ih, gue dipanggil Mas. Lu dari Jawa?" tanya pria tampan itu lagi.

"Iya ... Misi, Mas ..." Mentari segera mencari cara lebih baik menjauh. Dia harus hati-hati. Siapapun bisa jadi ... mata-mata tuan jahat itu?

"Ok." Dengan tegap pria tampan itu berjalan. Mentari yang sudah melangkah memutar tubuhnya dan menatap kembali si pria tampan. Mentari masih terpana, menatap si tampan yang makin jauh.

"Kayaknya suaranya ga asing. Apa orang Jakarta mirip-mirip gitu ya, jenis suaranya?" Mentari mengingat-ingat sesuatu.

"Sofi!"

Alman muncul. Mentari menoleh pada pria itu. Dia datang sedikit tergopoh-gopoh.

"Ah, kamu masih di sini. Aman, kan?" tanya Alman.

"Iya ..." Mentari bingung dengan pertanyaan itu.

"Aku takut ada yang tahu kamu di atas. Bisa diusir. Hati-hati." Alman tampak memastikan Mentari baik-baik saja.

"Iya, Om. Makasih," kata Mentari seraya mengangguk.

Alman berbalik dengan cepat. Berlari kecil dia meninggalkan Mentari. Tubuhnya yang sedikit gemuk, tampak lucu. Seperti terlalu berat mengangkat kedua kakinya. Mentari bersegera kembali menuju atap. Dia menaiki tangga menuju ke atap. Semakin ke atas, semakin terasa hawa panas menerpa kulitnya. Apa boleh buat? Tidak mungkin Mentari terus berkeliling di dalam mal.

Hari mulai sore. Matahari sedikit condong ke barat, tetapi panas masih menyengat. Di dalam gudang itu panas sekali. Seluruh tubuh terasa sangat gerah. Mentari mengambil botol air mineral yang tersisa setengah.

"Aaiisshhh ... air juga panas. Ga enak banget," ujarnya. Tetap saja Mentari teguk hingga hampir habis.

Pikiran Mentari bergerak. Apa yang harus dia lakukan setelah ini? Ke mana dia pergi? Gudang itu memang panas dan tidak nyaman. Jelas bukan tempat yang layak untuk tinggal. Tapi, Mentari juga tidak mungkin pergi karena belum yakin akan aman kalau berkeliaran di luar mal.

Gudang itu satu-satunya tempat persembunyian yang aman sementara. Soal makan dan minum selanjutnya bagaimana? Tidak mungkin Mentari akan minta tolong Alman lagi. Pria sedikit tua itu terlalu baik. Tapi tidak pantas kalau Mentari terus mengharapkan bantuan Alman yang juga hidup susah.

Mentari duduk memandang ke kejauhan, ke gedung-gedung di seberang. Karena ingin lebih tahu, Mentari bangun dan berjalan mendekat ke pinggir gedung. Dia sandarkan tubuh pada tembok pembatas, dengan tangan menyangga tubuhnya.

"Woww ... terlihat kecil semuanya. Tertata rapi dan cantik." Mentari memperhatikan ke bawah, area depan mall.

Orang berlalu lalang di sana. Cukup ramai. Karena memang mal ini besar, pasti pengunjungnya selalu ada saja. Beberapa orang tampak keluar dari dalam mall, dan salah satunya ... Mentari menajamkan pandangan sampai mengerutkan keningnya.

"Itu ... pria tampan dan keren tadi, kan? Iya, ga salah, itu dia. Bajunya sama, juga topinya. Ya ampun, beneran keren." Mentari terus mengekori pria itu dengan tatapannya. Pria itu berjalan terus meninggalkan area mall ke pinggir jalan raya.

"Sofi!!"

Suara panggilan keras itu membuat Mentari kaget dan sedikit terlonjak! Mentari berbalik dan melihat Alman tergopoh-gopoh mendekatinya, lalu memegang lengan Mentari, menarik gadis itu agar menjauh dari pinggir atap.

"Kamu ngapain di situ? Kamu jangan aneh-aneh!" Alman terlihat marah.

Mentari terkejut. Apa yang dia sudah lakukan? Hanya melihat ke bawah saja. Apanya yang aneh?

"Hidup kamu berharga, Sofi. Memang yang kamu hadapi sekarang berat, susah. Tapi ga usah kamu mikir pendek gitu!" Alman masih mencengkeram lengan Mentari.

"Hah? Om pikir aku mau lompat?" Mentari mulai mengerti apa yang Alman pikirkan.

"Lha, kamu di pinggir situ ngapain?" Pegangan Alman melonggar, tapi belum dilepaskan.

"Aku lihat ke bawah, pingin tahu seperti apa," kata Mentari.

"Huhhh ..." Alman melepaskan tangan Mentari, menghela nafas lega. "Syukurlah. Aku kejauhan mikir, ya?"

"Maaf, Om, kalau bikin panik. Aku ga ada pikiran buat mengakhiri hidup. Dosa, Om. Takut aku masuk neraka," tandas Mentari.

"Baguslah, kalau kamu masih sadar itu," ujar Alman sambil manggut-manggut. Dia lega sekali mendengar kata-kata Mentari.

"Om udah selesai kerja?" tanya Mentari, melihat Alman mengenakan jaket menutup seragam kerjanya.

"Iya, aku mau pulang. Aku bawain makanan, sama minum. Biar kamu ga kelaparan. Besok pagi aku belikan roti." Alman mengulurkan tangannya.

Plastik berisi bungkusan makanan dan botol air mineral tersedia buat Mentari. Mata Mentari berkaca-kaca. Rasanya Tuhan mengirim malaikat penjaga buatnya, ketika jalan buntu di sekeliling dan Mentari tidak tahu harus berbuat apa.

"Ini ..." Alman mengulurkan sebelah tangannya lagi. Tas plastik putih agak besar dia sodorkan di depan Mentari.

"Ini apa, Om?" tanya Mentari tidak mengerti.

"Itu pakaian buat kamu. Kalau mau ke toilet, udah tahu tempatnya, kan? Di atas jam sembilan pasti sepi, ga ada orang. Kamu bisa ke sana." Alman menjelaskan.

Mentari menatap Alman tidak percaya. Mentari menerima plastik dari tangan Alman. Mentari memperhatikan isi tas yang lumayan besar itu. Ada baju bukan satu stel, tapi beberapa, juga ada sandal jepit. Lalu handuk, sabun, dan sampo juga ada di sana. Bahkan lengkap dengan pasta gigi dan sikatnya.

"Itu punya keponakanku. Pakai saja," jawab Alman.

"Om Al ... Ini semua buat aku?" Mentari sangat terharu. Tidak tahu dia harus bilang apa.

Alman menatap Mentari. Wajah pria itu mendadak melow. Alman mengangguk.

"Terima kasih banyak, Om. Aku ga tahu mesti berterima kasih seperti apa. Om Al kenapa baik sekali sama aku?" Mata Mentari berkaca-kaca.

"Udah, jangan diterusin. Aku ga bisa lihat orang nangis." Alman berbalik. Dia mengerjap beberapa kali, tidak mau terbawa emosi, takut menangis di depan Mentari.

"Sekali lagi makasih, Om." Mentari menerima bungkusan itu.

"Kamu tinggal saja di sini. Sepanjang hari aku mikir terus. Kalau kamu pergi, mau ke mana? Tinggal di mana? Sementara di sini saja paling aman. Aku akan coba tanya-tanya kalau ada kerjaan buat kamu. Mudah-mudah beberapa hari udah ada." Alman memperhatikan Mentari.

"Om, beneran mau bantu cari kerja?" Mata Mentari mengerjap. Kegembiraan meluap di dadanya.

"Iya. Cuma, yang aku pikir ijazah kamu, lalu KTP ..." Alman memandang Mentari.

Ya, tanpa surat data diri, apa mungkin ada yang mau menerima Mentari kerja.

"Apa kamu lapor polisi saja, ya?" Alman mengusulkan.

"Jangan, Om, ga usah!" Dengan cepat Mentari menyahut.

"Hah?" Alman sampai kaget dengan reaksi Mentari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status