Share

Bab 5 - Terpana

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-19 22:51:43

Mentari oleng dan terjatuh hingga hampir terlentang. Pria itu lumayan tinggi dan gagah. Pantas saja mampu membuat tubuh Mentari yang tipis sampai terjerembab.

"Hei! Lu ngapain?!" Pria itu berseru kaget.

Mentari dengan cepat menegakkan badan. Masih setengah berjongkok, Mentari melihat pada pria itu. Keren sekali. Kulitnya bersih, dengan kacamata gelap bertengger di wajahnya. Sedang kepalanya ditutup dengan topi merah gelap bertuliskan. You - Yes!

"Lu nggak apa-apa?" tanya pria itu. Dia sedikit membungkuk, mengulurkan tangan hendak menolong Mentari.

Mentari terpana. Benar-benar keren pria di depannya itu! Seperti artis saja. Dengan kaos putih dan denim biru terang, dia makin memukau meskipun Mentari tidak bisa melihat jelas karena kacamata dan topi yang menghiasi wajah dan kepala.

"Hei, gue ngomong, nih!" ujar si tampan. "Lu ga apa-apa?"

"Nggak, aku cuma kaget." Dengan cepat Mentari berdiri, tidak menerima uluran tangan pria itu.

"Oh, oke. Gue kira ... abis lu bengong aja," kata pria itu, ikut berdiri. Logat Jakartanya kental sekali.

"Maaf, aku ga maksud nabrak Masnya," kata Mentari sedikit membungkuk.

"Ih, gue dipanggil Mas. Lu dari Jawa?" tanya pria tampan itu lagi.

"Iya ... Misi, Mas ..." Mentari segera mencari cara lebih baik menjauh. Dia harus hati-hati. Siapapun bisa jadi ... mata-mata tuan jahat itu?

"Ok." Dengan tegap pria tampan itu berjalan. Mentari yang sudah melangkah memutar tubuhnya dan menatap kembali si pria tampan. Mentari masih terpana, menatap si tampan yang makin jauh.

"Kayaknya suaranya ga asing. Apa orang Jakarta mirip-mirip gitu ya, jenis suaranya?" Mentari mengingat-ingat sesuatu.

"Sofi!"

Alman muncul. Mentari menoleh pada pria itu. Dia datang sedikit tergopoh-gopoh.

"Ah, kamu masih di sini. Aman, kan?" tanya Alman.

"Iya ..." Mentari bingung dengan pertanyaan itu.

"Aku takut ada yang tahu kamu di atas. Bisa diusir. Hati-hati." Alman tampak memastikan Mentari baik-baik saja.

"Iya, Om. Makasih," kata Mentari seraya mengangguk.

Alman berbalik dengan cepat. Berlari kecil dia meninggalkan Mentari. Tubuhnya yang sedikit gemuk, tampak lucu. Seperti terlalu berat mengangkat kedua kakinya. Mentari bersegera kembali menuju atap. Dia menaiki tangga menuju ke atap. Semakin ke atas, semakin terasa hawa panas menerpa kulitnya. Apa boleh buat? Tidak mungkin Mentari terus berkeliling di dalam mal.

Hari mulai sore. Matahari sedikit condong ke barat, tetapi panas masih menyengat. Di dalam gudang itu panas sekali. Seluruh tubuh terasa sangat gerah. Mentari mengambil botol air mineral yang tersisa setengah.

"Aaiisshhh ... air juga panas. Ga enak banget," ujarnya. Tetap saja Mentari teguk hingga hampir habis.

Pikiran Mentari bergerak. Apa yang harus dia lakukan setelah ini? Ke mana dia pergi? Gudang itu memang panas dan tidak nyaman. Jelas bukan tempat yang layak untuk tinggal. Tapi, Mentari juga tidak mungkin pergi karena belum yakin akan aman kalau berkeliaran di luar mal.

Gudang itu satu-satunya tempat persembunyian yang aman sementara. Soal makan dan minum selanjutnya bagaimana? Tidak mungkin Mentari akan minta tolong Alman lagi. Pria sedikit tua itu terlalu baik. Tapi tidak pantas kalau Mentari terus mengharapkan bantuan Alman yang juga hidup susah.

Mentari duduk memandang ke kejauhan, ke gedung-gedung di seberang. Karena ingin lebih tahu, Mentari bangun dan berjalan mendekat ke pinggir gedung. Dia sandarkan tubuh pada tembok pembatas, dengan tangan menyangga tubuhnya.

"Woww ... terlihat kecil semuanya. Tertata rapi dan cantik." Mentari memperhatikan ke bawah, area depan mall.

Orang berlalu lalang di sana. Cukup ramai. Karena memang mal ini besar, pasti pengunjungnya selalu ada saja. Beberapa orang tampak keluar dari dalam mall, dan salah satunya ... Mentari menajamkan pandangan sampai mengerutkan keningnya.

"Itu ... pria tampan dan keren tadi, kan? Iya, ga salah, itu dia. Bajunya sama, juga topinya. Ya ampun, beneran keren." Mentari terus mengekori pria itu dengan tatapannya. Pria itu berjalan terus meninggalkan area mall ke pinggir jalan raya.

"Sofi!!"

Suara panggilan keras itu membuat Mentari kaget dan sedikit terlonjak! Mentari berbalik dan melihat Alman tergopoh-gopoh mendekatinya, lalu memegang lengan Mentari, menarik gadis itu agar menjauh dari pinggir atap.

"Kamu ngapain di situ? Kamu jangan aneh-aneh!" Alman terlihat marah.

Mentari terkejut. Apa yang dia sudah lakukan? Hanya melihat ke bawah saja. Apanya yang aneh?

"Hidup kamu berharga, Sofi. Memang yang kamu hadapi sekarang berat, susah. Tapi ga usah kamu mikir pendek gitu!" Alman masih mencengkeram lengan Mentari.

"Hah? Om pikir aku mau lompat?" Mentari mulai mengerti apa yang Alman pikirkan.

"Lha, kamu di pinggir situ ngapain?" Pegangan Alman melonggar, tapi belum dilepaskan.

"Aku lihat ke bawah, pingin tahu seperti apa," kata Mentari.

"Huhhh ..." Alman melepaskan tangan Mentari, menghela nafas lega. "Syukurlah. Aku kejauhan mikir, ya?"

"Maaf, Om, kalau bikin panik. Aku ga ada pikiran buat mengakhiri hidup. Dosa, Om. Takut aku masuk neraka," tandas Mentari.

"Baguslah, kalau kamu masih sadar itu," ujar Alman sambil manggut-manggut. Dia lega sekali mendengar kata-kata Mentari.

"Om udah selesai kerja?" tanya Mentari, melihat Alman mengenakan jaket menutup seragam kerjanya.

"Iya, aku mau pulang. Aku bawain makanan, sama minum. Biar kamu ga kelaparan. Besok pagi aku belikan roti." Alman mengulurkan tangannya.

Plastik berisi bungkusan makanan dan botol air mineral tersedia buat Mentari. Mata Mentari berkaca-kaca. Rasanya Tuhan mengirim malaikat penjaga buatnya, ketika jalan buntu di sekeliling dan Mentari tidak tahu harus berbuat apa.

"Ini ..." Alman mengulurkan sebelah tangannya lagi. Tas plastik putih agak besar dia sodorkan di depan Mentari.

"Ini apa, Om?" tanya Mentari tidak mengerti.

"Itu pakaian buat kamu. Kalau mau ke toilet, udah tahu tempatnya, kan? Di atas jam sembilan pasti sepi, ga ada orang. Kamu bisa ke sana." Alman menjelaskan.

Mentari menatap Alman tidak percaya. Mentari menerima plastik dari tangan Alman. Mentari memperhatikan isi tas yang lumayan besar itu. Ada baju bukan satu stel, tapi beberapa, juga ada sandal jepit. Lalu handuk, sabun, dan sampo juga ada di sana. Bahkan lengkap dengan pasta gigi dan sikatnya.

"Itu punya keponakanku. Pakai saja," jawab Alman.

"Om Al ... Ini semua buat aku?" Mentari sangat terharu. Tidak tahu dia harus bilang apa.

Alman menatap Mentari. Wajah pria itu mendadak melow. Alman mengangguk.

"Terima kasih banyak, Om. Aku ga tahu mesti berterima kasih seperti apa. Om Al kenapa baik sekali sama aku?" Mata Mentari berkaca-kaca.

"Udah, jangan diterusin. Aku ga bisa lihat orang nangis." Alman berbalik. Dia mengerjap beberapa kali, tidak mau terbawa emosi, takut menangis di depan Mentari.

"Sekali lagi makasih, Om." Mentari menerima bungkusan itu.

"Kamu tinggal saja di sini. Sepanjang hari aku mikir terus. Kalau kamu pergi, mau ke mana? Tinggal di mana? Sementara di sini saja paling aman. Aku akan coba tanya-tanya kalau ada kerjaan buat kamu. Mudah-mudah beberapa hari udah ada." Alman memperhatikan Mentari.

"Om, beneran mau bantu cari kerja?" Mata Mentari mengerjap. Kegembiraan meluap di dadanya.

"Iya. Cuma, yang aku pikir ijazah kamu, lalu KTP ..." Alman memandang Mentari.

Ya, tanpa surat data diri, apa mungkin ada yang mau menerima Mentari kerja.

"Apa kamu lapor polisi saja, ya?" Alman mengusulkan.

"Jangan, Om, ga usah!" Dengan cepat Mentari menyahut.

"Hah?" Alman sampai kaget dengan reaksi Mentari.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status