Share

Bab 7 - Seragam

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-06 14:16:24

"Estas listo?" Pria berhidung bangir dengan rambut cepak sedikit botak di bagian atas itu menatap Leon.

"Sí, Señor Álvarez. Saya siap bekerja." Leon berdiri tegak membalas tatapan papanya, Horacio Alvarez.

“Oke. Kalau begitu, kamu mulai bekerja.” Horacio berkata tegas.

Tangannya meraih plastik di meja sebelahnya. Plastik itu berisi pakaian yang terlipat rapi di sana.

“Ini seragam kerjamu. Pak Sujana yang akan mengawasi kamu selama bekerja. Dia akan menunjukkan apapun yang kamu perlu tahu. Tapi, kamu tidak bisa menyuruh-nyuruh dia. Kamu adalah pegawai. Kamu mengerti?” Tatapan tegas Horacio arahkan pada putra sulungnya.

“Oke, ngerti,” jawab Leon setengah enggan.

“Aku akan selalu bertanya pada Pak Sujana bagaimana kamu dalam bekerja. Itu bisa kapan saja. Aku tidak mau kamu membuat masalah. Paham?” Lagi-lagi, kalimat yang tidak ingin Leon dengar harus dia telan.

“Iya, sangat paham. Jadi gimana? Aku sudah bisa bekerja?” Leon sudah tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Lebih baik dia segera pergi dari kantor Tuan Besar.

“Oke, silakan. Jadilah pegawai yang baik.” Horacio mengacungkan tangannya mempersilakan Leon pergi dari ruangannya.

Leon melangkah keluar dengan plastik berisi seragam di tangannya. Sujana, salah satu asisten dan orang kepercayaan Horacio, mengikutinya.

“Tuan Muda, setelah ini saya akan memanggil nama jika di depan para pegawai.” Sujana menyampaikan hal yang penting yang akan dia lakukan.

“Namaku Agus,” kata Leon.

“Apa?” Sujana kaget mendengar itu.

“Aku tidak mau pakai namaku sendiri. Kalau sampai pegawai tahu nama belakangku? Mereka tahu aku Alvarez? Panggil aku Agus saja, Pak.” Leon mengulangi dan menegaskan.

Sujana tersenyum. Tuan muda tampan ini aneh-aneh saja.

“Lagian, Pak, Agus itu emang nama panggilanku dari teman-teman. Sejak SMP selalu ada yang gangguin kayak gitu. Namaku Leonardo, kan? Lambang bintang lahirku, Leo, di bulan Agustus. Makanya teman-temanku, lebih seneng manggil aku Agus.” Leon menjabarkan alasannya.

“Baiklah, Mas Agus. Sekarang, ayo ikut saya. Saya akan beritahu pekerjaan Mas Agus. Yang sabar, ya?” hibur Sujana. Leon nyengir sambil melirik Sujana.

Sujana tersenyum-senyum lagi. Dia merasa lucu juga dengan kegilaan Tuan Besar. Sebelum meminta Leon masuk bekerja, lebih dulu Tuan Besar Alvarez bicara pada tiga asistennya. Salah satunya adalah Sujana. Masing-masing asisten itu memang dipercaya mengontrol semua kegiatan operasional di tiga mal milik Alvarez. Dan akhirnya, pilihan jatuh di mall di mana Sujana yang menjadi pengawas,

“Pak, para karyawan itu norak-norak ga, sih?” tanya Leon sementara mereka berjalan menuju ke bagian agak ke belakang dari mall, di lantai dasar.

“Ya biasa saja, Tuan, eh, Mas Agus.” Sujana meralat panggilannya. Senyumnya kembali megembang. Dia lihat wajah Leon. Menurutnya tidak cocok dipanggil Agus, karena wajahnya lebih kuat ikut sisi Spanyol sebagai Alvarez ketimbang dari sisi ibunya yang asli Indonesia.

“Pada kasar, susah diatur, kayak gitu, ga?” Leon bertanya lagi.

“Nanti akan tahu sendiri. Susah njelasinnya. Macam-macam model orang yang kerja di sini.” Sujana menjawab santai.

“Ih, Pak Su pelit, ga mau kasih bocoran.” Leon nyengir lagi.

“Tugas saya bantu Tuan Muda mengenal perusahaan dan bisa kerja dengan baik. Soal itu nanti Tuan akan paham,” kata Sujana.

“Lalu kerjaan aku ngapain? Jadi penjaga toko?” tanya Leon.

“Aku ajak Tuan Muda keliling aja, lihat semuanya. Aku kenalkan ke pegawai, baru nanti aku aturkan mau kerja di mana dulu. Paling nggak dua hari ini.” Sujana menjelaskan rencananya.

“Oke, aku ikut saja.” Leon tidak punya pilihan.

“Kalau gitu cepat ganti baju dengan seragam, lalu kita mulai perjalanan hari ini.” Sujana menunjuk ke toilet di ujung lantai itu.

“Baiklah, the game starts.” Leon bicara dengan nada berat, lalu melangkah masuk ke dalam toilet. Toilet khusus buat karyawan.

Sujana menunggu di depan ruangan itu. Seorang pegawai perempuan lewat.

“Pagi, Pak,” sapa pegawai muda itu sambil tersenyum ramah.

“Ya, pagi.” Sujana menyahut, lalu memasukkan ponsel ke saku celana.

“Mau ke toilet, Pak?” tanya pegawai itu lagi. Rupanya dia heran kenapa atasannya itu ada di depan toilet.

“Oh, nggak. Aku nunggu …” Saat itu muncul Leon dari toilet. “Nah, ini!”

Sujana menatap Leon. Rasanya lucu melihat anak Tuan Besar mengenakan seragam pegawai mall. Tapi tidak menghilangkan ketampanan dan kegagahannya.

“Astaganaga …” Pegawai di samping Sujana terbelalak. Matanya melebar dan mulutnya menganga melihat pada Leon.

“Hei … kamu mau ke toilet?” Sujana menepuk bahu kiri gadis itu.

“Eh, iya, ehh … nggak, Pak.” Gadis itu menjawab bingung. Dia memandangi Leon masih dengan keheranan. “Ini … pegawai baru?”

“Iya. Baru mulai hari ini. Kalau ga perlu ke toilet, cepat balik kerja.” Sujana mulai menaikkan nada suaranya.

“Iya, bentar, Pak. Kenalan, dong. Aku Lalita Nadia. Panggilanku Lila. Kamu siapa?” Gadis itu tidak menggubris ucapan Sujana. Dia mengulurkan tangan meminta berkenalan dengan Leon.

“Aku Le … Agus!” Leon hampir saja salah menyebut nama. Sujana cengar cengir melihat itu.

“Siapa? Agus?” Gadis itu kembali terbelalak. Dia memastikan tidak salah mendengar.

“Iya, namaku Agus.” Leon menarik tangannya.

“Udah kenalannya. Cepat kerja. Atau aku laporkan supervisor kamu?” ujar Sujana.

“Pak, jangan!” Gadis itu bergegas mengangkat langkah dan bergerak menjauh.

Leon tertawa melihat gadis itu takut dengan ancaman Sujana.

“Ternyata cocok juga seragam itu buat Tuan Muda. Cakeppp!” Sujana mengacungkan jempol, keduanya. Senyumnya lebar sedikit meledak Leon.

“Puas, lihat aku dikerjain Papa?” tanya Leon dengan kesal.

“Haa … haa …” Sujana tidak menjawab pertanyaan itu. Dia melanjutkan langkah, mengajak Leon berkeliling seperti rencana semula.

Mal lumayan besar dengan enam lantai itu selalu ramai. Banyak event digelar di mall itu, khususnya saat weekend dan hari-hari libur. Dari jam sembilan pagi sampai jam dua belas siang, Sujana dan Leon berkeliling. Sujana menjelaskan ini dan itu kepada Leon, agar dia dapat paham apa saja yang ada di mall itu.

Sujana mengajak Leon ke ruangannya untuk makan siang lebih dulu, lalu akan melanjukan lagi urusan mereka. Leon sudah merasa lelah dan haus. Dia sudah tahu sebenarnya isi mal itu, setidaknya sebagian besar. Jadi Leon tidak begitu memperhatikan.

“Siang makan apa, Pak?” tanya Leon begitu mereka duduk di ruangan Sujana.

“Aku sudah pesan. Tuan Muda mau pesan apa?” tanya Sujana balik.

“Kalau aku pergi ke food centre saja gimana? Jam istirahat satu jam, kan?” Leon lebih suka makan langsung di tempat daripada pesan online.

“Silakan saja. Hati-hati kalau ditanya orang. Udah pakai seragam soalnya.” Sujana menjawab.

“Hati-hati apa?” Leon mengerutkan kening.

“Jangan salah sebut nama, hee … hee …” Sujana terkekeh.

“Ahh … Pak Su bisa saja.” Leon nyengir. Dia menghentikan langkah, mereka sudah ada di depan ruangan Sujana. “Pak, kalau ada yang nanya aku kerja di bagian apa?”

“Bilang saja masih observasi. Mereka paham itu,” kata Sujana santai.

“Oke. Makasih, Pak. Sampai ketemu satu jam lagi.” Leon melambai dan berjalan menjauh.

Tujuan Leon adalah food centre yang ada di lantai tiga. Dia punya satu tempat favorit meskipun jarang dia datang. Dengan cepat Leon melangkah menuju ke counter serba ayam yang ada di sana.

Beberapa meter lagi dia sampai, tidak sengaja dia mendengar suara seorang wanita bicara keras dan kasar. Leon menoleh ke sisi kirinya ingin tahu apa yang terjadi?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status