Share

Bab 6 - Imajinasi dan Strategi

"Om udah terlalu banyak bantu. Ga usah, Om makin repot nanti," kata Mentari. "Aku akan coba kerja apa saja, tukang cuci, jaga toko, apapun. Yang penting bisa makan tiap hari, yang boleh ga usah pakai ijazah."

Sebenarnya, justru Mentari takut berurusan dengan polisi. Dia harus menunjukkan siapa dirinya dan asal usulnya, sedangkan Mentari sedang bersembunyi. Buyar semua kalau sampai dia ketahuan.

Alman tersenyum. Hatinya berbisik, "Manis dan lugu sekali gadis cantik ini. Masih mikir ga mau ngrepotin orang. Padahal kondisinya memang banget butuh bantuan."

"Ya, udah. Terserah kamu. Oya, aku punya rahasia. Tapi jangan kasih tahu siapapun." Alman maju dua langkah.

"Rahasia? Apaan, Om?" Degdegan seketika dada Mentari mendengar kalimat Alman.

"Aku ga gembok pintu turun ke mal. Kalau kamu perlu ke toilet, tengah malam, bisa langsung aja." Alman bicara setengah berbisik, seperti takut ada yang mendengar.

Mentari tersenyum kecil. Alman punya kunci pintu? Dia cleaning service atau sekuriti? Itu yang muncul di benak Mentari. Tapi bagus juga, dengan begitu kalau Mentari gerah di atas, dia bisa masuk dan duduk di dalam mall.

"Iya, Om, makasih." Mentari mengangguk.

"Kamu ga panas lagi, kan? Kalau nanti malam demam lagi, obat masih ada. Jangan telat minum." Alman berpesan.

"Iya, Om. Sekali lagi makasih banyak." Kepala Mentari mengangguk-angguk lagi.

Alman meninggalkan Mentari. Sebelum turun di tangga, Alman masih menyempatkan menoleh dan melihat pada gadis belia dan kecil itu. Entah kenapa, iba meninggalkan sendirian di gudang di atap mal. Tapi tidak ada pilihan. Alman meneruskan langkahnya, turun ke dalam mall.

Mentari masuk ke dalam gudang. Dia buka tas plastik yang Alman berikan. Pakaian yang masih lumayan bagus. Memang milik wanita dan ukurannya ga begitu jauh dengan postur Mentari.

"Om Alman bilanh punya ponakannya. Apa ponakannya hampir sebesar aku, ya?" gumam Mentari.

Setidaknya dia punya beberapa baju ganti. Gaun yang Mentari pakai sudah kumal dan koyak di bagian bawah. Dia harus membuangnya. Sayang, masih beberapa jam lagi Mentari harus menunggu agar bisa turun dan pergi mandi.

"Kalau gudang ini akan jadi kamarku, aku harus merapikannya. Paling ga, keliatan layak buat tinggal. Gimana caranya, ya?" Mentari mengitari ruangan itu dengan pandangannya. Lalu Mentari memejamkan mata.

Dalam pikiran Mentari muncul ide dan imajinasi, dia mengubah gudang itu menjadi kamar untuk dia tinggal. Dia membayangkan ada ranjang kecil dengan kasur yang empuk. Di sebelah ranjang, ada nakas pendek dua rak untuk dia meletakkan barang-barang di sana. Lalu di ujung, ada meja dan rak yang bisa dia pakai untuk menyimpan pakaian dan berdandan.

Lebih jauh, dia bayangkan ada jendela di dekat meja yang membuat kamar lebih terang dan tidak panas. Lalu, ada kipas angin, ada ini dan itu ... semua Mentari bayangkan. Tentu kamar itu akan menjadi sangat nyaman.

"Bagus ... Aku akan mengubah gudang ini menjadi kamar buatku." Mentari memutuskan. Kembali dia membuka mata. "Berarti aku harus cepat dapat pekerjaan, dengan begitu aku punya uang beli barang-barang untk keperluan kamar ini."

Mentari bertekad. Jika hari berganti, Mentari akan mulai bergerak. Yang paling dekat dengannya adalah mal di mana dia tinggal. Di mal banyak sekali toko, butik, tempat orang jual makanan. Mentari yakin, pasti ada satu tempat dia bisa mendapat pekerjaan.

*****

"Ga masuk akal! Gue beneran ga paham dengan jalan pikiran Papa!" Leon menggaruk-garuk kepalanya yang jelas tidak gatal. Lagi-lagi papanya membuat dia semakin jengkel.

"Kenapa lagi lu? Lagi seru, nih, jangan buat kacau suasana!" Kawan sebaya Leon yang sedang asyik main game dengan laptop terpaksa menghentikan keseruannya.

"Udin, baca nih, pesan paling baru yang Papa gue kirim." Leon menyodorkan ponsel ke depan kawannya itu dengan kesal. "Kalau lu di posisi gue, lu mau gimana?"

Baharudin, sohib Leon sejak bocah sampai masa kuliah, dan masih berlanjut, segera menarik ponsel Leon dan membaca pesan terbaru yang muncul di sana. Bibirnya komat-kamit serius membaca. Aura wajahnya berubah, lalu senyum lebar mulai terurai, dan akhirnya tawa lepas meledak menggelegar terdengar.

"Haa ... haa ...!!" Baharudin sampai memukul-mukul meja di depannya karena merasa lucu.

"Lu sedeng apa? Bukannya kasihan ama gue, malah ngakak!" ujar Leon kesal.

"Hei, Agus! Itu ide gila paling gue setujui dari papa lu." Dua jari Baharudin menonjok kening Leon.

"Lu setuju?" Leon melotot.

"Iyes, pake banget." Baharudin mengacungkan jempolnya.

"Lu bakalan jadi pimpinan perusahaan, bukan asal perusahaan ya, tapi yang bonafit. Kalau lu kagak paham segala sesuatu urusan perusahaan, mulai dari yang paling bawah ame atas, dari yang paling simple ampe yang kompleks, gimana lu mau jadi bos sukses?" Senyum Baharudin menyingkir, berganti dengan pandangan serius.

Dengan geram, Leon melipat kedua tangan di dada. "Tapi ini berlebihan, Din. Ya masa, gue ga boleh bawa mobil kalau kerja. Pakai motor matic yang keluaran di bawah tahun 2000. Apaan coba? Dia ga mau ngakuin gue anak dia kali, ya?" Gerutu Leon.

"Gue justru salut ame bokap lu. Ga sok-sokan nunjukin kekuasaan karena pimpinan. Elu, musti mendarat, ke bawah, biar ga arogan kalo ntar jadi bos," kata Baharudin.

Leon mengerutkan kening. Kedua tangannya terlipat di dada. Masuk akan juga yang Baharudin katakan. Apa memang itu tujuan papanya memerintahkan Leon melakukan itu semua? Jika dipikir-pikir, bisa jadi Baharudin benar. Sejak Leon kecil, papanya tidak suka mengajak keluarga ke kantor dan pamer ini itu. Acara tertentu saja diajak.

Apalagi saat Leon mulai remaja, makin jarang dia dan adiknya diajak papanya ke acara yang berurusan dengan teman bisnisnya. Ke mall yang mereka punya pun, papanya selalu wanti-wanti, beli, tidak asal ambil, Datang ke mall, bayar sebagaimana pelanggan lain yang datang.

"Lu kayaknya bener, Din. Gue mulai mikir kelakuan bokap sejak gue bocah. Gue pikir dia pelit, kikir. Ternyata bokap gue beda cara mikirnya." Leon memandang Baharudin yang sudah asyik lagi dengan game.

"Apaan? Gue udah ga nyambung, Sorry, kali ini game ga bisa ditinggal," sahut Baharudin.

"Dasar!" Leon menonjok pelan kepala belakang temannya yang berambut sedikit keriting itu.

Sepertinya Leon tidak punya pilihan. Dia akan melakukan semua yang papanya minta. Tapi jelas, dia tidak bisa pakai jati dirinya sendiri saat menjadi pegawai di mal milik papanya. Dia akan minta syarat juga ke papanya agar dia nyaman saja.

“Papa punya strategi? Gue juga. Ga adil kalau semua kenyamanan ditarik gitu aja. Gue juga punya cara, atau gue lebih baik pindah ke negeri sebrang saja, ngikut Om atau Kakek Nenek gue.” Leon tersenyum. Dia yakin rencananya pasti tidak akan bisa ditolak sang ayah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status