Beranda / Urban / Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal / Bab 6 - Imajinasi dan Strategi

Share

Bab 6 - Imajinasi dan Strategi

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-01 17:25:25

"Om udah terlalu banyak bantu. Ga usah, Om makin repot nanti," kata Mentari. "Aku akan coba kerja apa saja, tukang cuci, jaga toko, apapun. Yang penting bisa makan tiap hari, yang boleh ga usah pakai ijazah."

Sebenarnya, justru Mentari takut berurusan dengan polisi. Dia harus menunjukkan siapa dirinya dan asal usulnya, sedangkan Mentari sedang bersembunyi. Buyar semua kalau sampai dia ketahuan.

Alman tersenyum. Hatinya berbisik, "Manis dan lugu sekali gadis cantik ini. Masih mikir ga mau ngrepotin orang. Padahal kondisinya memang banget butuh bantuan."

"Ya, udah. Terserah kamu. Oya, aku punya rahasia. Tapi jangan kasih tahu siapapun." Alman maju dua langkah.

"Rahasia? Apaan, Om?" Degdegan seketika dada Mentari mendengar kalimat Alman.

"Aku ga gembok pintu turun ke mal. Kalau kamu perlu ke toilet, tengah malam, bisa langsung aja." Alman bicara setengah berbisik, seperti takut ada yang mendengar.

Mentari tersenyum kecil. Alman punya kunci pintu? Dia cleaning service atau sekuriti? Itu yang muncul di benak Mentari. Tapi bagus juga, dengan begitu kalau Mentari gerah di atas, dia bisa masuk dan duduk di dalam mall.

"Iya, Om, makasih." Mentari mengangguk.

"Kamu ga panas lagi, kan? Kalau nanti malam demam lagi, obat masih ada. Jangan telat minum." Alman berpesan.

"Iya, Om. Sekali lagi makasih banyak." Kepala Mentari mengangguk-angguk lagi.

Alman meninggalkan Mentari. Sebelum turun di tangga, Alman masih menyempatkan menoleh dan melihat pada gadis belia dan kecil itu. Entah kenapa, iba meninggalkan sendirian di gudang di atap mal. Tapi tidak ada pilihan. Alman meneruskan langkahnya, turun ke dalam mall.

Mentari masuk ke dalam gudang. Dia buka tas plastik yang Alman berikan. Pakaian yang masih lumayan bagus. Memang milik wanita dan ukurannya ga begitu jauh dengan postur Mentari.

"Om Alman bilanh punya ponakannya. Apa ponakannya hampir sebesar aku, ya?" gumam Mentari.

Setidaknya dia punya beberapa baju ganti. Gaun yang Mentari pakai sudah kumal dan koyak di bagian bawah. Dia harus membuangnya. Sayang, masih beberapa jam lagi Mentari harus menunggu agar bisa turun dan pergi mandi.

"Kalau gudang ini akan jadi kamarku, aku harus merapikannya. Paling ga, keliatan layak buat tinggal. Gimana caranya, ya?" Mentari mengitari ruangan itu dengan pandangannya. Lalu Mentari memejamkan mata.

Dalam pikiran Mentari muncul ide dan imajinasi, dia mengubah gudang itu menjadi kamar untuk dia tinggal. Dia membayangkan ada ranjang kecil dengan kasur yang empuk. Di sebelah ranjang, ada nakas pendek dua rak untuk dia meletakkan barang-barang di sana. Lalu di ujung, ada meja dan rak yang bisa dia pakai untuk menyimpan pakaian dan berdandan.

Lebih jauh, dia bayangkan ada jendela di dekat meja yang membuat kamar lebih terang dan tidak panas. Lalu, ada kipas angin, ada ini dan itu ... semua Mentari bayangkan. Tentu kamar itu akan menjadi sangat nyaman.

"Bagus ... Aku akan mengubah gudang ini menjadi kamar buatku." Mentari memutuskan. Kembali dia membuka mata. "Berarti aku harus cepat dapat pekerjaan, dengan begitu aku punya uang beli barang-barang untk keperluan kamar ini."

Mentari bertekad. Jika hari berganti, Mentari akan mulai bergerak. Yang paling dekat dengannya adalah mal di mana dia tinggal. Di mal banyak sekali toko, butik, tempat orang jual makanan. Mentari yakin, pasti ada satu tempat dia bisa mendapat pekerjaan.

*****

"Ga masuk akal! Gue beneran ga paham dengan jalan pikiran Papa!" Leon menggaruk-garuk kepalanya yang jelas tidak gatal. Lagi-lagi papanya membuat dia semakin jengkel.

"Kenapa lagi lu? Lagi seru, nih, jangan buat kacau suasana!" Kawan sebaya Leon yang sedang asyik main game dengan laptop terpaksa menghentikan keseruannya.

"Udin, baca nih, pesan paling baru yang Papa gue kirim." Leon menyodorkan ponsel ke depan kawannya itu dengan kesal. "Kalau lu di posisi gue, lu mau gimana?"

Baharudin, sohib Leon sejak bocah sampai masa kuliah, dan masih berlanjut, segera menarik ponsel Leon dan membaca pesan terbaru yang muncul di sana. Bibirnya komat-kamit serius membaca. Aura wajahnya berubah, lalu senyum lebar mulai terurai, dan akhirnya tawa lepas meledak menggelegar terdengar.

"Haa ... haa ...!!" Baharudin sampai memukul-mukul meja di depannya karena merasa lucu.

"Lu sedeng apa? Bukannya kasihan ama gue, malah ngakak!" ujar Leon kesal.

"Hei, Agus! Itu ide gila paling gue setujui dari papa lu." Dua jari Baharudin menonjok kening Leon.

"Lu setuju?" Leon melotot.

"Iyes, pake banget." Baharudin mengacungkan jempolnya.

"Lu bakalan jadi pimpinan perusahaan, bukan asal perusahaan ya, tapi yang bonafit. Kalau lu kagak paham segala sesuatu urusan perusahaan, mulai dari yang paling bawah ame atas, dari yang paling simple ampe yang kompleks, gimana lu mau jadi bos sukses?" Senyum Baharudin menyingkir, berganti dengan pandangan serius.

Dengan geram, Leon melipat kedua tangan di dada. "Tapi ini berlebihan, Din. Ya masa, gue ga boleh bawa mobil kalau kerja. Pakai motor matic yang keluaran di bawah tahun 2000. Apaan coba? Dia ga mau ngakuin gue anak dia kali, ya?" Gerutu Leon.

"Gue justru salut ame bokap lu. Ga sok-sokan nunjukin kekuasaan karena pimpinan. Elu, musti mendarat, ke bawah, biar ga arogan kalo ntar jadi bos," kata Baharudin.

Leon mengerutkan kening. Kedua tangannya terlipat di dada. Masuk akan juga yang Baharudin katakan. Apa memang itu tujuan papanya memerintahkan Leon melakukan itu semua? Jika dipikir-pikir, bisa jadi Baharudin benar. Sejak Leon kecil, papanya tidak suka mengajak keluarga ke kantor dan pamer ini itu. Acara tertentu saja diajak.

Apalagi saat Leon mulai remaja, makin jarang dia dan adiknya diajak papanya ke acara yang berurusan dengan teman bisnisnya. Ke mall yang mereka punya pun, papanya selalu wanti-wanti, beli, tidak asal ambil, Datang ke mall, bayar sebagaimana pelanggan lain yang datang.

"Lu kayaknya bener, Din. Gue mulai mikir kelakuan bokap sejak gue bocah. Gue pikir dia pelit, kikir. Ternyata bokap gue beda cara mikirnya." Leon memandang Baharudin yang sudah asyik lagi dengan game.

"Apaan? Gue udah ga nyambung, Sorry, kali ini game ga bisa ditinggal," sahut Baharudin.

"Dasar!" Leon menonjok pelan kepala belakang temannya yang berambut sedikit keriting itu.

Sepertinya Leon tidak punya pilihan. Dia akan melakukan semua yang papanya minta. Tapi jelas, dia tidak bisa pakai jati dirinya sendiri saat menjadi pegawai di mal milik papanya. Dia akan minta syarat juga ke papanya agar dia nyaman saja.

“Papa punya strategi? Gue juga. Ga adil kalau semua kenyamanan ditarik gitu aja. Gue juga punya cara, atau gue lebih baik pindah ke negeri sebrang saja, ngikut Om atau Kakek Nenek gue.” Leon tersenyum. Dia yakin rencananya pasti tidak akan bisa ditolak sang ayah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status