Share

Bab 8 - Melamar

Leon menghentikan langkah kakinya dan memperhatikan keributan yang ada di salah satu toko yang dia lalui.

"Gimana ceritanye, lu mau ngelamar kerja tapi kagak ada ijazah? Jangan ngadi-ngadi, Neng!" Seorang wanita berpostur besar tampak geram memandang gadis cantik yang ada di depannya.

Gadis itu tidak begitu tinggi, agak kurus, dan terlihat takut-takut melihat wanita itu.

"Maaf, Bu. Ijazah saya hilang, tapi saya butuh pekerjaan. Tolonglah, Bu." Gadis itu menghiba. "Saya bisa kerja apa saja, yang penting bisa kerja, Bu."

Leon mengerutkan keningnya. Aneh sih, ijazah kok sampai hilang. Memang gadis itu kena bencana banjir atau tanah longsor?

"Haallah, alasan klise. Bukan sekali ini orang datang minta kerja alasan kagak punye ijazah. Ntar, udah gue baikin, heh, nyolong! Ga pake alasan ye? Mau kerja, bawa sini ijazah lu!" Wanita itu masih terlihat emosi.

"Maaf, Bu. Saya permisi." Suara gadis itu terdengar pasrah dan sedih. Lalu dengan langkah lesu dia meninggalkan toko itu yang mulai ramai. Beberapa pengunjung berhenti dan memperhatikan kejadian itu.

Leon terus mengekori si gadis dengan pandangannya. Gadis itu melangkah ke arah food center yang akan Leon tuju. Refleks Leon mengikuti si gadis yang memang menuju food center. Dia berhenti tidak jauh dari stand pertama paling kiri. Tampak dia ragu-ragu melangkah. Gadis itu berbalik, dua langkah kaki, dia kembali berhenti.

"Kok, gue rasanya pernah lihat ini cewek?" gumam Leon. Seperti belum lama Leon melihat wajah dan model gadis seperti gadis melow itu.

Leon masih memperhatikan. Lalu gadis itu berbalik lagi dan melanjutkan langkah ke stand yang sepi, tidak ada pengunjung, stand minuman, stand nomor tiga dari kiri. Gadis itu mulai bicara dengan pegawai yang ada di stand itu. Kaki Leon kembali bergerak. Entah kenapa dia penasaran pada gadis itu. Leon bahkan lupa, dia mau beli makan siang. Dan stand yang Leon akan tuju hanya berjarak tiga stand lagi dari tempat gadis itu berdiri.

"Jadi ga bisa, ya? Serius, Mbak?" Suara sendu gadis itu terdengar. Leon makin yaikin dia pernah melihat gadis itu. Nada bicaranya khas Jawa meskipun tidak sangat medok.

"Ya gimana, ya? Itu aturannya, sih. Di sini emang ketat kalau buat ngelamar kerja. Ga ada ijazah dan KTP ga bisa, dong." Mbak pelayan stand itu menjawab ramah.

"Biar cuma bagian cuci piring dan bersihkan meja, ga bisa? Saya butuh kerja apapun untuk dapat uang, biar bisa makan, Mbak." Gadis itu masih membujuk.

"Beneran aku ga bisa bantu. Kalau misal ini stand aku yang punya, bisa jadi masih aku pertimbangkan." Pelayan itu menegaskan lagi.

"Baiklah ..." Lesu, gadis itu mengangguk. Dia memegang dadanya, lalu turun ke perutnya. Leon bisa melihat gadis itu tampak lelah dan sedih.

"Jadi aturannya seketat itu kalau mau kerja di sini?" Hati Leon bicara. Dia ingat kembali ucapan ibu di toko sebelumnya. Ada yang berbuat nakal, mencuri waktu diterima tanpa ada aturan tegas. Memang penting ada persyaratan jelas, agar orang tidak memanfaatkan kebaikan lalu disalahgunakan.

Gadis itu berjalan tertunduk. Dia berniat meninggalkan food center meskipun masih ada banyak stand yang belum dia datangi. Leon hampir saja mengikuti gadis itu lagi, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan cepat dia mengambil dari saku celana dan menerima panggilan.

"Ya, Pak? Oh, ini baru mau makan. Sorry, antri dan rame. Aku cepat balik sana." Leon menjawab panggilan Sujana. Saat dia menoleh ke arah gadis tadi, gadis itu tak terlihat lagi. Leon mematikan panggilan, memasukkan lagi ponsel di celana, tetapi matanya masih beredar mencari di mana gadis itu berada.

Lalu Leon menuju stand yang dia maksud. Lumayan rame, tapi pelayanannya cukup cepat. Leon hanya menunggu beberapa menit sudah mendapatkan pesanan dan segera dia mencari tempat untuk menikmati makan siangnya. Sementara makan, pikiran Leon kembali teringat si gadis. Ke mana lagi dia? Kalau tidak dapat kerja, dia tidak ada uang, lalu dari mana dia bisa beli makanan?

"Harusnya gue bisa buat sesuatu. Gue apa perlu bicara sama Pak Su, ngasih dia kerjaan? Tapi gimana gue bisa ketemu tuh cewek?" Leon terus memikirkan gadis itu. Sedang dia harus bergegas balik menemui Sujana dan meneruskan urusan hari itu.

*****

Mentari duduk di kursi panjang teras mal. Dari pagi dia berkeliling bertanya di setiap toko jika bisa mendapakan pekerjaan, tapi tidak ada hasil. Semua jawaban sama, kalau mau bekerja, mengajukan lamaran dengan syarat lengkap, foto copy KTP dan Ijazah disertakan. Sedang syarat itu yang Mentari tidak mungkin akan penuhi.

"Ya Tuhan ... ke mana lagi aku cari kerjaan? Apa perlu keluar mal? Di toko sekitar mal ini? Kalau ternyata sama aja, gimana?" Mentari bergelut dalam hati. Dia memandang ke depan, pada jalanan di depan mal yang lumayan ramai. Orang berlalu lalang seperti tidak ada habisnya.

"Aku mohon, Tuhan, ulurkan tangan-Mu. Kerja apapun, yang penting bisa dapat uang, biar dikit. Ga mungkin aku ngarep bantuan Om Alman terus. Mau gimana, dia orang lain. Lama-lama pasti dia lelah bantu. Dia pasti juga ada kebutuhan buat dirinya dan keluarganya," lanjut Mentari bicara di dalam hatinya sendiri.

Mata Mentari tiba-tiba tertuju pada sosok pria tinggi besar di seberang jalan. Pria itu mengenakan pakaian hitam-hitam lengkap dengan topi hitam. Jantung Mentari seketika melaju cepat. Tidak menunggu apapun lagi, Mentari berdiri dan sedikit berlari masuk ke dalam mal. Yang dia tuju adalah lift menuju lantai teratas dan secepatnya dia balik ke atap, di gudang tempat dia bersembunyi.

Rasa takut begitu cepat mendera Mentari. Satu saja yang harus dia lakukan, menjauhi pria dengan pakaian hitam-hitam. Karena siapa tahu itu adalah anak buah Tuan Jahat yang hampir menodai Mentari malam itu. Sampai di gudang, Mentari duduk di dalam sambil memeluk lututnya kuat-kuat.

"Tuhan, tolong ... tolong aku ... singkirkan jauh-jauh orang-orang itu. Jangan sampai mereka datang dan menemukan aku. Aku ga mau. Aku takut sekali. Tuhan, tolong ..." Bibir Mentari terus mengucapkan doa itu. Dalam pikirannya seolah-olah pria yang mengejarnya sudah dekat dan bisa saja menemukan dia tiba-tiba.

Sampai beberapa waktu, karena tidak terdengar apa-apa, Mentari mulai merasa nafasnya yang memburu perlahan menjadi tenang. Mentari melonggarkan pelukan kuat di kedua kakinya. Lalu dia merangkak ke arah pintu dan perlahan melongok keluar. Tidak ada siapapun di sana. 

"Aman ... Makasih, Tuhan ..." Mentari menarik tubuhnya lagi dan bersandar pada dinding triplek di belakangnya. Mentari menarik nafas dalam dan memejamkan mata.

"Hei ... kamu di sini?" Suara berat menegur Mentari dan membuatnya sedikit terlonjak karena kaget.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status