Share

Bab 8 - Melamar

last update Last Updated: 2023-01-02 10:21:06

Leon menghentikan langkah kakinya dan memperhatikan keributan yang ada di salah satu toko yang dia lalui.

"Gimana ceritanye, lu mau ngelamar kerja tapi kagak ada ijazah? Jangan ngadi-ngadi, Neng!" Seorang wanita berpostur besar tampak geram memandang gadis cantik yang ada di depannya.

Gadis itu tidak begitu tinggi, agak kurus, dan terlihat takut-takut melihat wanita itu.

"Maaf, Bu. Ijazah saya hilang, tapi saya butuh pekerjaan. Tolonglah, Bu." Gadis itu menghiba. "Saya bisa kerja apa saja, yang penting bisa kerja, Bu."

Leon mengerutkan keningnya. Aneh sih, ijazah kok sampai hilang. Memang gadis itu kena bencana banjir atau tanah longsor?

"Haallah, alasan klise. Bukan sekali ini orang datang minta kerja alasan kagak punye ijazah. Ntar, udah gue baikin, heh, nyolong! Ga pake alasan ye? Mau kerja, bawa sini ijazah lu!" Wanita itu masih terlihat emosi.

"Maaf, Bu. Saya permisi." Suara gadis itu terdengar pasrah dan sedih. Lalu dengan langkah lesu dia meninggalkan toko itu yang mulai ramai. Beberapa pengunjung berhenti dan memperhatikan kejadian itu.

Leon terus mengekori si gadis dengan pandangannya. Gadis itu melangkah ke arah food center yang akan Leon tuju. Refleks Leon mengikuti si gadis yang memang menuju food center. Dia berhenti tidak jauh dari stand pertama paling kiri. Tampak dia ragu-ragu melangkah. Gadis itu berbalik, dua langkah kaki, dia kembali berhenti.

"Kok, gue rasanya pernah lihat ini cewek?" gumam Leon. Seperti belum lama Leon melihat wajah dan model gadis seperti gadis melow itu.

Leon masih memperhatikan. Lalu gadis itu berbalik lagi dan melanjutkan langkah ke stand yang sepi, tidak ada pengunjung, stand minuman, stand nomor tiga dari kiri. Gadis itu mulai bicara dengan pegawai yang ada di stand itu. Kaki Leon kembali bergerak. Entah kenapa dia penasaran pada gadis itu. Leon bahkan lupa, dia mau beli makan siang. Dan stand yang Leon akan tuju hanya berjarak tiga stand lagi dari tempat gadis itu berdiri.

"Jadi ga bisa, ya? Serius, Mbak?" Suara sendu gadis itu terdengar. Leon makin yaikin dia pernah melihat gadis itu. Nada bicaranya khas Jawa meskipun tidak sangat medok.

"Ya gimana, ya? Itu aturannya, sih. Di sini emang ketat kalau buat ngelamar kerja. Ga ada ijazah dan KTP ga bisa, dong." Mbak pelayan stand itu menjawab ramah.

"Biar cuma bagian cuci piring dan bersihkan meja, ga bisa? Saya butuh kerja apapun untuk dapat uang, biar bisa makan, Mbak." Gadis itu masih membujuk.

"Beneran aku ga bisa bantu. Kalau misal ini stand aku yang punya, bisa jadi masih aku pertimbangkan." Pelayan itu menegaskan lagi.

"Baiklah ..." Lesu, gadis itu mengangguk. Dia memegang dadanya, lalu turun ke perutnya. Leon bisa melihat gadis itu tampak lelah dan sedih.

"Jadi aturannya seketat itu kalau mau kerja di sini?" Hati Leon bicara. Dia ingat kembali ucapan ibu di toko sebelumnya. Ada yang berbuat nakal, mencuri waktu diterima tanpa ada aturan tegas. Memang penting ada persyaratan jelas, agar orang tidak memanfaatkan kebaikan lalu disalahgunakan.

Gadis itu berjalan tertunduk. Dia berniat meninggalkan food center meskipun masih ada banyak stand yang belum dia datangi. Leon hampir saja mengikuti gadis itu lagi, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan cepat dia mengambil dari saku celana dan menerima panggilan.

"Ya, Pak? Oh, ini baru mau makan. Sorry, antri dan rame. Aku cepat balik sana." Leon menjawab panggilan Sujana. Saat dia menoleh ke arah gadis tadi, gadis itu tak terlihat lagi. Leon mematikan panggilan, memasukkan lagi ponsel di celana, tetapi matanya masih beredar mencari di mana gadis itu berada.

Lalu Leon menuju stand yang dia maksud. Lumayan rame, tapi pelayanannya cukup cepat. Leon hanya menunggu beberapa menit sudah mendapatkan pesanan dan segera dia mencari tempat untuk menikmati makan siangnya. Sementara makan, pikiran Leon kembali teringat si gadis. Ke mana lagi dia? Kalau tidak dapat kerja, dia tidak ada uang, lalu dari mana dia bisa beli makanan?

"Harusnya gue bisa buat sesuatu. Gue apa perlu bicara sama Pak Su, ngasih dia kerjaan? Tapi gimana gue bisa ketemu tuh cewek?" Leon terus memikirkan gadis itu. Sedang dia harus bergegas balik menemui Sujana dan meneruskan urusan hari itu.

*****

Mentari duduk di kursi panjang teras mal. Dari pagi dia berkeliling bertanya di setiap toko jika bisa mendapakan pekerjaan, tapi tidak ada hasil. Semua jawaban sama, kalau mau bekerja, mengajukan lamaran dengan syarat lengkap, foto copy KTP dan Ijazah disertakan. Sedang syarat itu yang Mentari tidak mungkin akan penuhi.

"Ya Tuhan ... ke mana lagi aku cari kerjaan? Apa perlu keluar mal? Di toko sekitar mal ini? Kalau ternyata sama aja, gimana?" Mentari bergelut dalam hati. Dia memandang ke depan, pada jalanan di depan mal yang lumayan ramai. Orang berlalu lalang seperti tidak ada habisnya.

"Aku mohon, Tuhan, ulurkan tangan-Mu. Kerja apapun, yang penting bisa dapat uang, biar dikit. Ga mungkin aku ngarep bantuan Om Alman terus. Mau gimana, dia orang lain. Lama-lama pasti dia lelah bantu. Dia pasti juga ada kebutuhan buat dirinya dan keluarganya," lanjut Mentari bicara di dalam hatinya sendiri.

Mata Mentari tiba-tiba tertuju pada sosok pria tinggi besar di seberang jalan. Pria itu mengenakan pakaian hitam-hitam lengkap dengan topi hitam. Jantung Mentari seketika melaju cepat. Tidak menunggu apapun lagi, Mentari berdiri dan sedikit berlari masuk ke dalam mal. Yang dia tuju adalah lift menuju lantai teratas dan secepatnya dia balik ke atap, di gudang tempat dia bersembunyi.

Rasa takut begitu cepat mendera Mentari. Satu saja yang harus dia lakukan, menjauhi pria dengan pakaian hitam-hitam. Karena siapa tahu itu adalah anak buah Tuan Jahat yang hampir menodai Mentari malam itu. Sampai di gudang, Mentari duduk di dalam sambil memeluk lututnya kuat-kuat.

"Tuhan, tolong ... tolong aku ... singkirkan jauh-jauh orang-orang itu. Jangan sampai mereka datang dan menemukan aku. Aku ga mau. Aku takut sekali. Tuhan, tolong ..." Bibir Mentari terus mengucapkan doa itu. Dalam pikirannya seolah-olah pria yang mengejarnya sudah dekat dan bisa saja menemukan dia tiba-tiba.

Sampai beberapa waktu, karena tidak terdengar apa-apa, Mentari mulai merasa nafasnya yang memburu perlahan menjadi tenang. Mentari melonggarkan pelukan kuat di kedua kakinya. Lalu dia merangkak ke arah pintu dan perlahan melongok keluar. Tidak ada siapapun di sana. 

"Aman ... Makasih, Tuhan ..." Mentari menarik tubuhnya lagi dan bersandar pada dinding triplek di belakangnya. Mentari menarik nafas dalam dan memejamkan mata.

"Hei ... kamu di sini?" Suara berat menegur Mentari dan membuatnya sedikit terlonjak karena kaget.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status