Part 13Pria itu menoleh ke belakang, hingga terlihat jelas wajahnya. "Kamu?!"Aku mengusap dahi pelan dan tersenyum salah tingkah. Aduh, mana kata Awan dia bos galak! Bisa-bisanya aku nyasar kesini."Maaf Pak, saya tidak tahu kalau ini ternyata mobil bapak," ucapku gugup. Bisa-bisanya aku bertingkah konyol seperti ini. "Saya turun di sini saja. Taksi pesanan saya ternyata ada di belakang, hehe."Aku hendak membuka pintu mobil tapi sayangnya masih terkunci. "Tidak usah turun. Saya antar kamu.""Tapi taksi saya--""Cancle saja."Ucapannya padat dan jelas tapi serupa perintah. Bertepatan dengan itu, sang sopir taksi online kembali menelepon. Terpaksa aku membatalkan pesanan taksi itu walau disahuti kata-kata yang tidak mengenakan hati dari sang sopir. Ah, sudahlah ..Seketika wajahku berubah. Menurutku, ini hari yang cukup sial. Aku menggeleng pelan, tidak, Allah sudah menakdirkan hari ini seperti ini, jadi tidak boleh mengeluh terus Risna!"Kamu mau kemana?" tanya pria itu setelah h
Part 14Tiba-tiba seseorang memukul Awan tanpa kompromi lagi."Maass!"Aku berteriak histeris melihat Awan dipukuli. Awan terhuyung ke belakang dan meringis kesakitan seraya memegangi pipinya. Aku shock, terlebih yang memukul adalah suamiku sendiri, Mas Ramdan. Entah dia datang dari mana, aku tidak tahu."Oh jadi kayak gini kelakuanmu? Pergi sama laki-laki lain padahal kau masih sah istriku!" Matanya menatapku tajam, dadanya kembang kempis, wajahnya sudah memerah. Mas Ramdan begitu emosi menatapku."Kau bahkan lari saat melihatku kemarin tapi sekarang justru berkeliaran dengan seorang laki-laki? Apa ini sifat kamu yang sebenarnya, Risna?!" Mas Ramdan membentakku. Aku balas menatapnya tajam, tapi mulut ini serasa terkunci, antara shock sekaligus bingung."Bukannya pulang kampung, kamu malah kabur bersama laki-laki! Gila kamu ya!""Yang gila itu kamu, Mas! Bukan aku!" balasku dengan nada berteriak."Cukup omong kosongmu itu, Risna! Ibu mengkhawatirkanmu, tapi kamu malah senang-senang
Part 15Brakk! Rasanya begitu kesal melihat Risna lari. Entah bersama dengan siapa."Ayah kenapa marah?" tanya Hendra dengan polosnya. Aku menoleh ke arah anak itu. Ia tampak ketakutan melihatku marah. Es krim di tangannya ia jatuhkan begitu saja."Mas, kamu kenapa? Hendra ketakutan nih!" sentak Alya. Aku membuang nafas gusar lalu mengacak rambut dengan frustasi.Bukan hal sepele itu yang kupikirkan tapi mengenai Risna, baru sebentar di Jakarta dia sudah kenal banyak orang."Hendra masuk ke kamar dulu ya, Ayah gak marah sama Hendra. Tapi ayah lagi pusing masalah pekerjaan.""Baik, Mama."Bocah laki-laki itu menuruti perintah ibunya. Sedangkan Alya langsung berdiri di sampingku. Menenangkanku dengan caranya."Kamu kenapa pulang-pulang marah? Bukannya tadi baik-baik saja?""Aku ketemu Risna tapi dia malah kabur.""Hah? Risna? Jadi bener kan dia yang buat ulah?! Ini tidak bisa dibiarkan, Mas! Aku benci dia!""Diam dulu, Al. Aku tak ingin mendengar keluhanmu, aku sendiri kesal sekali deng
Part 16"Kau tidak apa-apa?" Risna mengangguk pelan, lalu mengembalikan jas pada Reyhan. "Terima kasih Pak, sudah menolong saya."Reyhan menatapnya sendu. Merasa kasihan pada wanita yang ada di hadapannya. Entah masalah apa yang terjadi sampai dia disakiti oleh suaminya sendiri."Bapak tahu Mas Awan ada di Rumah Sakit?" tanya Risna penasaran."Iya, tadi anak buah saya yang membawanya ke sana.""Dia kenapa, Pak?""Dikeroyok preman.""Apa itu preman suruhan suamiku?" tanyanya lagi. Ia tak habis pikir kalau sang suami begitu tega.Tak ada jawaban apapun dari Reyhan. Risna benar-benar tak percaya apa yang sudah ia lakukan menyakiti rekan kerjanya sendiri."Saya mau ke Rumah Sakit, kamu mau ikut?" tanya Reyhan membuyarkan lamunannya. Wanita itupun mengangguk ragu. Sejujurnya ia takut kalau sang suami akan datang lagi. Kali ini Risna berani menatap dua manik mata lelaki itu. Entah kenapa hatinya merasa tak asing. Ia merasa berterima kasih karena Reyhan datang di waktu yang tepat.Satu jam
Part 17'Po-polisi? Mau apa mereka?'"Selamat pagi, Pak," sapa pria berseragam itu dengan ramah."Iya, pagi. Cari siapa ya, Pak?" tanya Ramdan dengan nada gugup. "Apa benar ini kediaman Pak Ramdan Adiwinata dan Bu Alya Nadira?" tanya salah seorang petugas."Iya benar, saya sendiri dan Alya istri saya. Mohon maaf ada apa ya, Pak?" Ramdan kembali bertanya. "Ini surat panggilan untuk bapak, mari silakan datang ke kantor polisi, untuk proses penyidikan."Mata Ramdan membulat, apalagi saat membaca surat panggilan itu, wajahnya pias. Ia dipanggil ke kantor polisi atas kasus perselingkuhan dan perzinahan? Tidak, ini tidak mungkin!'Kurang ajar, Risna, jadi dia benar-benar melaporkan kami.'"Siapa yang datang, Mas?" tanya Alya. Ia terpaku di tempatnya berdiri saat melihat dua pria berseragam polisi itu. "Pak Polisi?" lirihnya."Al, kita dipanggil ke kantor polisi untuk proses penyidikan," ujar Ramdan "Hah, memangnya kita salah apa, Mas?" Kening Alya berkerut tak mengerti.Ramdan menyerah
"Kenapa? Memangnya aku biang masalah?" pekik Alya tapi terima.Ramdan membuang nafas kasar. "Bukan begitu. Seperti yang sudah-sudah, kalau kalian ketemu pasti tidak akan akur! Kalian bertengkar terus, aku pusing kalau lihat kalian berantem!"Alya mendengus lagi. "Itu karena dia yang mulai duluan, Mas, bukan aku! Kalau dia datang secara baik-baik, tentu saja aku menyambutnya dengan baik-baik pula!" Alya masih membela diri bahwa dia paling benar dan Risna yang salah."Sudah, pokoknya kamu di rumah saja, jaga Hendra. Masalah ini biar aku yang urus. Aku akan membuat Risna mencabut laporannya. Dan setelah laporan itu dicabut, aku akan menceraikannya, agar tak ada masalah seperti ini lagi. Kita bisa hidup bahagia dengan anak-anak kita. Apa kau puas?"Kali ini Alya mengangguk. Ia tersenyum lega karena sang suami memilihnya. Jelas lah, ada si jabang bayi di perut yang menjadi pengikat mereka. "Tapi aku ingin ikut, Mas, aku ingin tahu gimana ekspresinya itu setelah ditalak oleh kamu! Hahah di
Part 18Risna tersenyum miring. "Kamu mau menyuapku dengan ini, Mas? Hhh, Tidak akan!"Risna menerima buket bunga dan cake itu lalu membuangnya ke tanah. Mata Alya membulat melihat tindakan Risna. Ia hendak mendorong wanita itu, tapi Ramdan segera menahan tangannya. "Aku tidak akan luluh pada kalian!" ujar Risna. Seperti kue itu yang dibanting jadi luluh lantak. Seperti itu juga hatiku, hati yang terluka tak bisa kembali utuh seperti sedia kala. Sakit itu masih terasa bekasnya."Aku tahu Ris, ini memang tak bisa menutup kesalahanku. Tapi, bisakah kau memberiku kesempatan sekali saja? Maafin kesalahan kami, Ris."Risna hanya menggeleng. Ia merasa malas sekali kenapa suaminya datang kembali. Bahkan ia databg bersama madunya. Tetiba Ramdan bersimpuh di hadapannya. Lalu menggemggam kedua tangan wanita itu dengan erat.Risna menarik tangannya secepatnya."Pergilah, Mas. Aku tak ingin berdebat denganmu. Sudah cukup semalam kau memperlakukanku dengan buruk""Tunggu, Ris! Tolong maafin aku.
Part 19“Hai Sayang, kamu mau tau kenapa kau ada di sini? Kau adalah mainanku sekarang, Cantiiik.”Risna menepis tangan lelaki asing yang berusaha menyentuh pipinya. Perasaannya takut setengah mati. Apalagi berada bersama lelaki yang begitu kurang ajar. Ia ada dimana dan dengan siapa, sama sekali tak tahu. Bagaimana caranya dia kabur dari cengkeraman lelaki yang berbahaya ini?Risna masih berpikir dengan keras, tapi tak ada titik terang. Ia baru sadar kalau kedua kakinya di borgol hingga ia tak leluasa bergerak.“Si-apa kau?” tanya Risna masih gemetar. Ia menggeser tubuhnya menjauh dari lelaki itu. Badannya terasa lemas, kepalanya pun terasa begitu pusing. Tapi ia harus menjaga kesadarannya.Lelaki itu tersenyum menyeringai. “Kau sudah tak sabar sepertinya. Kenalkan sayang, aku Gibran. Namamu Risna Prameswari, bukan?” tanyanya.Mata Risna membelalak, ia terkejut bahwa lelaki itu mengenalnya. Sebenarnya siapa dia? Mendadak pria itu merangkul pundak Risna hingga kepala mereka berdekatan