Part 17'Po-polisi? Mau apa mereka?'"Selamat pagi, Pak," sapa pria berseragam itu dengan ramah."Iya, pagi. Cari siapa ya, Pak?" tanya Ramdan dengan nada gugup. "Apa benar ini kediaman Pak Ramdan Adiwinata dan Bu Alya Nadira?" tanya salah seorang petugas."Iya benar, saya sendiri dan Alya istri saya. Mohon maaf ada apa ya, Pak?" Ramdan kembali bertanya. "Ini surat panggilan untuk bapak, mari silakan datang ke kantor polisi, untuk proses penyidikan."Mata Ramdan membulat, apalagi saat membaca surat panggilan itu, wajahnya pias. Ia dipanggil ke kantor polisi atas kasus perselingkuhan dan perzinahan? Tidak, ini tidak mungkin!'Kurang ajar, Risna, jadi dia benar-benar melaporkan kami.'"Siapa yang datang, Mas?" tanya Alya. Ia terpaku di tempatnya berdiri saat melihat dua pria berseragam polisi itu. "Pak Polisi?" lirihnya."Al, kita dipanggil ke kantor polisi untuk proses penyidikan," ujar Ramdan "Hah, memangnya kita salah apa, Mas?" Kening Alya berkerut tak mengerti.Ramdan menyerah
"Kenapa? Memangnya aku biang masalah?" pekik Alya tapi terima.Ramdan membuang nafas kasar. "Bukan begitu. Seperti yang sudah-sudah, kalau kalian ketemu pasti tidak akan akur! Kalian bertengkar terus, aku pusing kalau lihat kalian berantem!"Alya mendengus lagi. "Itu karena dia yang mulai duluan, Mas, bukan aku! Kalau dia datang secara baik-baik, tentu saja aku menyambutnya dengan baik-baik pula!" Alya masih membela diri bahwa dia paling benar dan Risna yang salah."Sudah, pokoknya kamu di rumah saja, jaga Hendra. Masalah ini biar aku yang urus. Aku akan membuat Risna mencabut laporannya. Dan setelah laporan itu dicabut, aku akan menceraikannya, agar tak ada masalah seperti ini lagi. Kita bisa hidup bahagia dengan anak-anak kita. Apa kau puas?"Kali ini Alya mengangguk. Ia tersenyum lega karena sang suami memilihnya. Jelas lah, ada si jabang bayi di perut yang menjadi pengikat mereka. "Tapi aku ingin ikut, Mas, aku ingin tahu gimana ekspresinya itu setelah ditalak oleh kamu! Hahah di
Part 18Risna tersenyum miring. "Kamu mau menyuapku dengan ini, Mas? Hhh, Tidak akan!"Risna menerima buket bunga dan cake itu lalu membuangnya ke tanah. Mata Alya membulat melihat tindakan Risna. Ia hendak mendorong wanita itu, tapi Ramdan segera menahan tangannya. "Aku tidak akan luluh pada kalian!" ujar Risna. Seperti kue itu yang dibanting jadi luluh lantak. Seperti itu juga hatiku, hati yang terluka tak bisa kembali utuh seperti sedia kala. Sakit itu masih terasa bekasnya."Aku tahu Ris, ini memang tak bisa menutup kesalahanku. Tapi, bisakah kau memberiku kesempatan sekali saja? Maafin kesalahan kami, Ris."Risna hanya menggeleng. Ia merasa malas sekali kenapa suaminya datang kembali. Bahkan ia databg bersama madunya. Tetiba Ramdan bersimpuh di hadapannya. Lalu menggemggam kedua tangan wanita itu dengan erat.Risna menarik tangannya secepatnya."Pergilah, Mas. Aku tak ingin berdebat denganmu. Sudah cukup semalam kau memperlakukanku dengan buruk""Tunggu, Ris! Tolong maafin aku.
Part 19“Hai Sayang, kamu mau tau kenapa kau ada di sini? Kau adalah mainanku sekarang, Cantiiik.”Risna menepis tangan lelaki asing yang berusaha menyentuh pipinya. Perasaannya takut setengah mati. Apalagi berada bersama lelaki yang begitu kurang ajar. Ia ada dimana dan dengan siapa, sama sekali tak tahu. Bagaimana caranya dia kabur dari cengkeraman lelaki yang berbahaya ini?Risna masih berpikir dengan keras, tapi tak ada titik terang. Ia baru sadar kalau kedua kakinya di borgol hingga ia tak leluasa bergerak.“Si-apa kau?” tanya Risna masih gemetar. Ia menggeser tubuhnya menjauh dari lelaki itu. Badannya terasa lemas, kepalanya pun terasa begitu pusing. Tapi ia harus menjaga kesadarannya.Lelaki itu tersenyum menyeringai. “Kau sudah tak sabar sepertinya. Kenalkan sayang, aku Gibran. Namamu Risna Prameswari, bukan?” tanyanya.Mata Risna membelalak, ia terkejut bahwa lelaki itu mengenalnya. Sebenarnya siapa dia? Mendadak pria itu merangkul pundak Risna hingga kepala mereka berdekatan
Part 20A"Ris-na be-lum pu-lang ju-ga?" tanya wanita tua yang tengah berbaring di bed pasien. Perasaannya harap-harap cemas memikirkan sang menantu yang tak kunjung pulang dan jarang memberinya kabar.Dewangga menggeleng sejenak. "I-bu kha-wa-tir, Nak. A-pa a-da se-su-a-tu yang ter-ja-di de-ngan-nya? A-pa-la-gi Ram-dan ti-dak per-nah mem-be-ri ka-bar.""Jangan harapkan anak itu, Bu. Dia sibuk dengan kerjaannya sendiri." Dewangga menghela nafas panjang. "Ibu mau aku menyusul Risna pulang?" tanya pria itu lagi. Rasanya tak tega melihat sang ibunda bersedih karena kehilangan menantu tercintanya.Sang ibunda mengangguk lemah. "Ibu yakin tidak apa-apa kalau ditinggal?" tanya Dewangga lagi memastikan."I-bu i-ngin Ris-na pu-lang, i-bu kha-wa-tir," jawabnya dengan nada bergetar.Deqangga menatap ibunya dengan pandangan sayu. "Baiklah kalau begitu, aku akan siap-siap berangkat ke kota. Doakan supaya ketemu dengan Risna ya, Bu."Ibu mengangguk lagi."Ibu tidak perlu khawatir, aku akan suru
Part 20 B"Oh atau kau memilih kuhangatkan saja?" tanya Gibran dengan pandangan mengintimidasi.Risna menggeleng perlahan. Kristal bening yang sedari tadi tergenang, kini luruh juga. Ya Allah, tolong hambaMu ini."Mas, tolong jangan hina aku seperti ini. Sebenarnya, apa yang kamu inginkan, Mas? Apa kamu butuh uang? Hingga mau melakukan pekerjaan kotor seperti ini?" tanyq Risna memberanikan diri.Gibran menaikkan sebelah alisnya. "Kamu menghinaku ya wanita?!"Braaakk ...! Gibran menggebrak meja di sampingnya, cukup membuat Riena berjingkut kaget. Lelaki itu makin mengintimidasinya, ia makin mendekat, membuat Risna makin bergidik ngeri."Layani aku malam ini, maka kamu akan kulepaskan!" teriak Gibran, membuat Risna makin ketakutan."Tidak akan pernah! Sampai mati pun aku tidak akan pernah menyerahkan kehormatanku pada orang lain!" tukas Risna membela diri."Oh, kau berani rupanya. Menarik! Baru kali ini ada wanita yang menolakku!"***Pukul 21.35 WIB, mereka sampai di lokasi tujuan. Se
Part 21"Risna!!"Dewangga menangkap tubuh Risna agar tak jatuh ke lantai. Ia memeriksa suhu badannya, terasa panas. "Astaghfirullah, aku sampai gak peka kalau kamu sakit," lirih Dewangga. Ia langsung membopong tubuh adik iparnya yang tiba-tiba tak sadarkan diri."Bertahanlah, Risna. Aku akan membawamu ke klinik terdekat."Dengan perasaan khawatir Dewangga membawa Risna masuk ke dalam mobil, untung saja ada petugas polisi yang berbaik hati, bersedia mengantar mereka ke pusat layanan kesehatan.Kendaraan roda empat itu bergerak membelah jalanan dengan kencang. Sepanjang jalan, ia hanya harap-harap cemas serta mengutuk perbuatan adiknya yang bahkan tidak peduli istrinya berada dalam bahaya. Untung saja ia masih bisa menemukan Risna, mungkin bila terlambat sedikit saja, entah apa yang terjadi padanya. Saat ini saja, dia merasakan trauma.Dewangga tergopoh-gopoh, sembari menggendong adik iparnya masuk ke dalam klinik. Beberapa orang suster datang sembari mendorong brankar. Mereka membaw
Part 22Aku merasa sangat bersyukur, Mas Dewangga datang di waktu yang tepat. Entah aku justru merasa kakak iparku jauh lebih peduli dari pada suamiku sendiri. "Lalu ibu?" tanyaku dengan getir. Sesekali kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Menatap langit-langit ruang perawatan yang putih bersih. Ada kekosongan dan hampa di sudut hati ini. "Kamu tenang saja, Risna. Aku akan bantu jelaskan juga pada ibu mengenai sikap Ramdan. Dan juga mengenai keputusanmu.""Apa ibu tidak apa-apa mendengar itu semua?""Semoga saja, insayaallah, ini yang terbaik buat kamu dan buat semuanya. Ibu pasti akan mengerti. Jadi janganlah ragu untuk ikut pulang denganku," sahut Mas Dewangga. Aku mengangguk pelan, lalu terdiam, hanyut dalam pikiranku sendiri. Rasanya terlalu lelah bila mengikuti dendam."Makanlah Risna, jangan sampai perutmu kosong lagi, kau terlihat lemah sekali. Ibu akan sedih melihatmu seperti ini."Mas Dewangga menyodorkan makanan yang tadi diantar oleh petugas. "Mau kusuapin?" tanyan