Efek dari pesan yang masuk ke ponsel suaminya tadi, membuat Lunar tidak bisa tidur. Ia terus saja berbalik ke kanan dan ke kiri agar mendapat posisi nyaman untuk terlelap, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa kantuk yang hilang begitu saja.
Sejak awal menikah dengan Birawa, ia tidak pernah sama sekali membuka sembarangan ponsel suaminya, jika tidak diijinkan oleh pria itu atau memang sedang diminta untuk membuka dan membalas pesan dari beberapa pasien suaminya. Namun jika untuk membuka ponsel itu sendiri secara diam-diam, ia tidak pernah berani melakukannya. Ia tidak mau lancang dan sekarang, setelah membaca pesan yang tidak tuntas tadi, Lunar benar-benar resah.Wanita itu akhirnya turun dari tempat tidur setelah suara dengkuran suaminya begitu keras. Ia menekan cukup lama tombol kecil berbentuk memanjang di sisi kanan ponsel Bira. Logo ponsel dan tema pocong pun muncul di sana. Lunar sudah biasa, sudah tidak kaget ataupun takut lagi.Ia mencoba membuka ponsel suaminya, tetapi gagal. Semua kode yang pernah ia ingat tidak pernah cocok hingga akhirnya ponsel suaminya terkunci otomatis dan tidak bisa dibuka untuk beberapa waktu. Lelah karena usahanya tidak juga membuahkan hasil, Lunar pun memilih tidur saja. Besok ia akan menayakan perihal pesan itu pada suaminya.Pukul setengah lima pagi Lunar bangun untuk mandi dan salat subuh. Sebenarnya matanya masih mengantuk, tetapi ia harus bangun untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya."Bang, bangun, salat subuh dulu!" Panggil Lunar sambil mengusap pipi suaminya. Seperti biasa, Bira tertidur seperti orang pingsan jika semalaman sedang banyak pasien. Lelaki itu tidak bergerak saat dibangunkan, walaupun Lunar sudah mengguncang tubuh suaminya. Wanita itu pasrah, saat lagi-lagi suaminya melewatkan salat subuh. Salat lima waktu pun sama, suaminya melaksanakan kewajiban itu ketika sedang ingin saja, bukan karena kesadaran akan kewajiban.Lunar pun pergi ke halaman belakang rumah untuk menjemur cucian yang sudah ia putar di mesin kemarin sore."Jemur, Mbak Lunar," tegur Bu Tejo yang belakang rumahnya berhadapan dengan halaman belakang rumah Lunar."Iya, Bu, sore kemarin saya nyucinya, biar pagi tinggal jemur. Cucian memang gak terlalu banyak, Bu, makanya nyuci tiga hari sekali," jawab Lunar sambil tersenyum."Tapi kalau nyuci celana dalam suaminya setiap hari ya, Mbak?" tanya Bu Tejo lagi."Iya, Bu, bukan saya yang cuci, tapi Bang Bira. Setiap mandi, pasti nyuci sendiri dalamannya. Katanya biar sekalian," jawab Lunar."Wah, Pak Bira keren sekali mau nyuci dalaman. Kalau suami saya, dari itu sempak bau keringat sampai bau mayit, gak bakalan dia mau nyuci, kalau bukan saya yang nyuci, " puji Bu Tejo dengan intonasi sedikit sewot di akhir kalimat. Lunar pun tertawa melihat ekspresi Bu Tejo."Sabar, Bu, namanya juga lelaki." Lunar pun pamit masuk ke dalam rumah. Keasikan ngobrol sama Bu Tejo di belakang, bisa-bisa membuatnya kesiangan ke warung sayur.Pulang dari warung sayuran, Lunar membuatkan sarapan nasi goreng dengan telur dadar. Suaminya masih juga belum bangun, padahal sudah pukul tujuh pagi."Bang, bangun, sarapan dulu, nanti lanjut tidur lagi," seru Lunar berbisik di telinga Bira.Bira membuka kelopak matanya perlahan. Mulutnya menguap lebar menandakan ia masih sangat mengantuk."Bang, sarapan dulu!" Kata Lunar lagi mengguncang tubuh suaminya."Aduh, jangan cerewet dong, Lunar, aku ngantuk nih! Bangunin aku jam sembilan. Udah, sana! Aku mau tidur lagi." Bira melanjutkan tidurnya, sedangkan Lunar hanya bisa menghela napas. Ia keluar dari kamar untuk menyantap sarapan sendirian.Pukul sembilan pagi, tanpa perlu dibangunkan, Bira sudah bangun sendiri. Pria itu langsung masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Pria itu menghampiri Lunar sambil yang sedang duduk bersantai menonton televisi. Di tangannya sudah ada sepiring nasi goreng yang sudah dingin.Lunar tersenyum pada suaminya yang ketampanannya maksimal jika bangun tidur seperti ini."Bang, semalam ada WA masuk ke ponsel kamu. Tulisannya, 'Bang Bira, nanti sore saya datang lagi. Seperti permintaan Bang Bira, dari rumah saya gak pakai dala', tapi ponsel Abang keburu mati dan saya gak bisa baca lanjutannya, memangnya kalau mau pijat gak boleh pakai apa, Bang?" Bira menelan ludah sambil berpikir kerasa jawaban apa yang akan ia berikan untuk istrinya."I-ini m-maksudnya.... " Lunar merasa napasnya sesak. Kenapa tiba-tiba Haris melamarnya tanpa bilang apapun?"Mau loh ya, masa gak mau." Haris memasang wajah cemberut."Sebelum kamu pulang kampung, saya ikat dulu, biar di sana gak disamber berondong. Tiga bulan lagi, setelah masa iddah kamu selesai, kita akan menikah. Bagaimana, Pak Rahmat, saya bolehkan menjadi menantu Bapak?""Bapak sih gimana Lunar saja." Pak Rahmat mencolek pipi putrinya yang merona."Lunar, itu dijawab pertanyaan Haris, diterima gak?" Pak Rahmat mendesak putrinya.Lunar sudah meneteskan air mata penuh haru. Tanpa banyak drama babibu, dengan beraninya Haris melamar dirinya di depan bapaknya. Ia juga pantas bahagia setelah begitu dikecewakan oleh Bira."Lunar," panggil Haris. Wanita itu mengangkat wajahnya, lalu dengan mata berkabut menatap Haris sambil mengangguk perlahan."Alhamdulillah." Pria itu pun dengan cepat meraih tangan Lunar untuk memasangkan cincin bermata satu di jari manis Lunar. Dengan penuh hikmat,
Hari ini adalah hari yang sudah sangat lama dinantikan oleh Lunar. Tiga bulan berlalu sejak Bira ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani proses sidang dan hari ini adalah sidang putusan pengadilan atas gugatan cerainya pada Bira. Ditemani oleh ayahnya, Lunar pergi ke tempat yang membuatnya bertekad untuk tidak akan mengunjungi tempat seperti ini lagi. Cukup satu kali ia ke pengadilan agama untuk urusan perceraian. Selama tiga bulan ini juga ia ngekos di tempat Harus, tetapi sudah mendapatkan kamar di kos putri. Haris benar-benar memberikannya uang untuk memasak karena sarapan, makan siang, dan Haris juga membawa bekal makan malam masakan Lunar ke tempat ia bekerja. Mereka hanya tidak tinggal satu atap saja, tetapi perhatian Haris dan baiknya sikap Haris, seperti mereka memiliki hubungan spesial. "Jadi pulang nanti sore? Yakin?" kata Pak Rahmat pada putrinya. "Yakin, Pak, kenapa memangnya?" tanya Lunar bingung. Pak Rahmat tertawa pendek sambil mengusap rambut Lunar dengan
Lunar pergi ke rumah sakit ditemani oleh Haris. Sepanjang jalan di taksi online, Lunar sama sekali tidak banyak bicara. Mulutnya bungkam bukan karena marah dengan godaan Haris tadi, tetapi khawatir dengan Bira. Bagaimanapun marah dan kesalnya ia pada suaminya, Bira pernah menjadi lelaki terbaik di hidupnya. Ada yang bilang, jika kita membenci, membencinya secukupnya. "Apa yang kamu pikirkan, Lunar? Wajah kamu tegang sekali," tanya Haris penasaran. Meskipun ia tahu jawaban Lunar tentu saja memikirkan suaminya yang katanya mengalami luka bakar. "Memikirkan Bang Bira. Saya khawatir lemah dengan orang yang tengah sakit. Jika ia membujuk saya untuk berbaikan dan meminta maaf, bagaimana?" Haris tersenyum miris. "Kamu akan susah seumur hidup, Lunar. Ingat, ada tiga wanita yang hamil oleh Bira, sedangkan kamu belum hamil sama sekali. Apa kamu siap kembali bersama pria yang kemaluannya tidak bisa ia jaga? Menanam benih di sana-sini tanpa memikirkan bagaimana istrinya. Beda jika Bira masih s
"Tolong! Tolong!" Bira berteriak sekuat tenaga. Ia masih berharap ada mukjizat dari Tuhan yang bisa menyelamatkannya dan Kek Sugi.Api kian membesar. Bira berusaha menyelamatkan Kek Sugi dengan memapahnya keluar dari pintu depan. Brak! Asbes rumah jatuh tepat di depan mereka. Bira terjebak dan tidak tahu lagi cara keluar dari api yang mengelilingi rumah. "Jendela kamar samping, cepat!" Kek Sugi yang tadinya lemas, menjadi bertenaga agar bisa menyelamatkan diri dari bencana kebakaran. Hanya di kamar samping tidak memakai teralis dan mereka ada harapan bisa keluar dari sana. Api merembet cepat, ruang tengah tempat Kek Sugi tidur sudah dilalap api dengan begitu ganas.Kamar samping aman, keduanya berlari untuk keluar dari jendela. Namun, sangat disayangkan, kaitan jendela macet dan tidak bisa dibuka. "Dobrak cepat, Bira! Cepat!" Napas Kek Sugi mulai terengah-engah. Brak! Brak! Bira berhasil keluar lebih dahulu. Tangannya terulura untuk menyelamatkan Kek Sugi. Hap! Brak! "Argh!" B
Berdasarkan data GPS, pihak kepolisian berhasil menemukan posisi Bira berada. Mereka langsung meluncur ke lokasi tanpa menunggu nanti. Surat perintah penangkapan pun sudah dipegang oleh mereka, sehingga Bira tidak akan mungkin bisa berkelit. Bu Mega pasrah, saat ia dan Kinan malah digiring ke kantor polisi menggunakan mobil petugas. Rasa malu yang luar biasa membakar wajah Bu Mega sehingga ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap orang-orang lingkungan tempat tinggal Bira yang kini tengah menatapnya dengan penuh cemooh. "Pantesan Bang Bira nyuci sempak sendirian ya. Istrinya gak boleh nyuciin. Rupanya itu celana buat lap hasil anuan ya. Ih, jijik deh!""Pantesan Mbak Lunar kabur. Dia takut kena penyakit menular dari suaminya. Astaghfirullah, ngerinya manusia.""Kedok doang tukang pijet, aslinya malah dukun mesum." Bu Mega tidak sanggup mendengar cibiran dari tetangga. Ia lekas masuk ke dalam mobil sembari menulikan telinganya. Kinan yang tidak mengerti hanya bisa terdiam.
Bira benar-benar telah hilang akal. Ketakutan akan ditangkap oleh polisi membuatnya malah nekat mengguna-guna Haris dan istrinya. Apalagi menurut penuturan Kek Sugi. Energi Haris dan Lunar sangat dekat, itu pertanda keduanya sedang bersama. Membayangkan sang Istri yang dekat dengan Haris, tentu saja membuatnya marah dan juga kesal. Ponsel keduanya juga tidak aktif, sehingga amarahnya kian memuncak. Kek Sugi tidak bisa membantunya karena masih sakit. Kakek tua itu terkena penyakit lambung dan masih lemas untuk beraktivitas. Jangankan mengguna-guna orang, untuk ke kamar mandi saja, kakek tua itu tertatih. Untunglah Bira menumpang di sana, sehingga ada yang membantunya di rumah. "Kenapa gak bisa, Kek?" tanya Bira saat lagi-lagi ia gagal. Napasnya menjadi sesak karena ulahnya sendiri yang hendak mengirimkan santet pada Haris. "Susah, aku saja tidak bisa. Apalagi kamu yang tahunya cuma mijet. Selama ini istri kamu itu tidak curiga macam-macam karena aku bisa mengikatnya, tetapi sejak a
"Mas Haris, apa sudah lihat berita semalam?" tanya Lunar saat keesokan paginya, Haris pulang dari bekerja menjaga rumah majikannya. "Sudah, ramai sekali beritanya di media sosial. Tapi kamu jangan khawatir. Kamu kan tidak bersalah." Haris membuka sepatu dan juga menggantung tas ranselnya di paku. Lunar menyiapkan air untuk Haris. "Ini, Mas, minum dulu!" pria itu tersenyum, sembari menerima segelas air putih dari tangan Lunar. "Terima kasih, Lunar. Oh, iya, soal Bira, kamu tidak mungkin tidak dimintai keterangan karena kamu bertindak sebagai saksi. Pokoknya jangan takut, apapun yang ditanyakan polisi, katakan jujur." Lunar mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat begitu cemas. Haris mengerti kecemasan tersebut karena kapanpun wanita itu bisa diminta ke kantor polisi. Ada rasa kasihan pada Lunar karena ia adalah istri baik yang tidak macam-macam dengan suami. Beda dengan mantan istrinya dahulu. Ia bekerja banting-tulang, istri malah selingkuh. "Mas, apa saya ke kantor polisi saja
"Bang Bira, maaf, ada aparat datang ke klinik sama salah satu pasien, tapi saya gak tahu nama pasien siapa. Pasien wanita muda itu menangis dan aparat itu meminta Bang Bira datang, kalau tidak mau klinik dibakar.""Apa? Siapa? Kurang ajar! Siapa yang berani mengancam saya? Pasien wanita saya banyak, Bu, mana saya inget dan kenapa juga cewek itu nangis!"Srak!Aparat itu merampas ponsel Bu Dasmi dengan tiba-tiba. "Bira, cepat kamu ke sini! Atau aku bakar klinik kamu dan aku tarik paksa kamu kantor polisi. Dasar dukun mesum! Bangsat!"Bira lekas mematikan ponselnya. Lalu berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Tentu saja hal itu membuat ibunya yang tengah menonton televisi merasa bingung. Wanita setengah baya itu menyusul putranya ke kamar dan melihat Bira tengah memasukkan pakaian ke dalam tas jinjing. "Loh, ada apa ini, Bira? Kamu mau ke mana?" tanya ibunya dengan menghampiri Bira yang berwajah tegang. "Bira sepertinya tahu Lunar di mana, Bu. Bira mau susul Lunar dulu ya." Bira mengel
"Mas Haris, saya sudah di bengkel yang Mas Haris share lock. Mas Haris di mana?" "Oh, iya udah, tunggu sebentar ya, Lunar. Kosan saya gak jauh dari situ. Jangan ke mana-mana. Biar saya jemput." Lunar pun mematikan ponselnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk membaca keadaan lingkungan sekitar yang baru kali ini ia datangi. "Lunar!" Teriakan Haris membuat wanita itu menoleh kembali ke kanan. Ia tersenyum, lalu buru-buru mematikan ponselnya. Jangan sampai suaminya mengetahui di mana posisi ia sekarang . Haris melangkah lebar agar segera sampai di dekat Lunar. "Udah lama?" tanya Haris. Lunar menggeleng. "Baru aja, Mas." Lunar menjawab tidak semangat. Rasa kecewa dan sakit hati cenderung lebih besar menguasai hatinya saat ini. "Sini, saya yang bawakan tasnya." Lunar mengangguk; memberikan tas belanja berukuran besar itu pada Haris. Pria sederhana itu memakai sandal jepit dan juga baju kaus yang amat sederhana. Celananya juga pun sama. Berbeda dengan suaminya yang selalu