"Oh, itu, mungkin wanita itu typo saat mengirimkan pesan," jawab Bira berusaha santai. Kening Liane semakin mengerut.
"Oh, jadi yang Abang pijat perempuan? Itu Abang tahu kalau yang mengirimkan pesan perempuan?" tanya balik Lunar dengan hati cemas. Ia was-was suaminya main belakang, meskipun tidak mungkin."Ya, karena rata-rata yang ke sana pasien Abang perempuan. Mulai dari pijat keseleo, turun berok, sakit pinggang, terkilir, sakit leher, patah tulang pun Abang bisa. Kamu cemburu ya? He he he... senang Abang kalau istri cemburu gini, tapi jangan cemburu buta, Abang kan mengobati pasien. Sama kaya dokter kandungan lelaki, pasti dia setiap hari malah ketemunya perempuan terus ya kan? Sudah, masakin Abang air hangat dulu sana, habis mandi, kita ke pasar yuk!" Lunar yang tadinya curiga sampai tidak bisa tidur, akhirnya luluh juga.Ucapan suaminya selalu saja masuk akal, bukan karena membela diri, tetapi karena keadaannya yang seperti itu."Eh, malah bengong! Mau ke pasar gak?" tanyanya lagi menegur Lunar yang masih tertutup sambil menatapnya."Eh, iya, mau, Bang." Lunar bergegas ke dapur untuk menjerang air mandi Bira. Selagi menunggu air bergolak, Lunar bersiap. Mengganti bajunya dengan baju pergi yang bagus. Tidak lupa ia berdandan yang cantik agar suaminya senang dengannya dan tidak melirik pasien pijatnya.Suara kecipak air di kamar mandi menandakan suaminya tengah mandi. Lunar segera merapikan kasur yang berantakan dan juga mengambilkan baju suaminya yang bagus. Semua ia taruh di atas ranjang.Pintu kamar terbuka, Bira berjalan masuk dengan gagahnya. Lunar sampai menelan ludah karena setiap hari tidak pernah bosan untuk menikmati pemandangan tubuh suami yang sangat menggoda. Tetes air dari ujung rambut, jatuh di pundak dan juga punggung suaminya. Sangatlah seksi, tentu saja.Lunar baru sadar ketika ia melihat warna agak kehitaman ada di leher suaminya, seperti bekas yang biasa ia berikan di malam sabtu."Bang, di leher Abang kenapa merah gitu?" tanya Lunar. Bira kembali merasa hari ini istrinya terlalu cerewet terhadap dirinya."Memangnya kenapa? Ini merah karena kemarin ada anak kecil pundaknya patah, Abang pijat, malah Abang digebukin." Bira memegang bagian merah di lehernya, lalu tanpa sepengetahuan Lunar, ia menancapkan kuku jari kelingkingnya di sana. Seolah-olah bekas cakaran."Ini, lihat saja!" Bira mendekat setelah memakai celana dalam yang sudah disiapkan Lunar di atas kasur."Oh, saya salah lihat ya, Bang, itu malah kayak cakaran?" komentar Lunar sambil menghela napas lega. Bira mengangguk. Jauh di dalam hatinya berkata, mulai hari ini ia harus berhati-hati pada Lunar, jangan sampai istrinya mendapati hal aneh lagi tentang dirinya.Dengan mengendarai motor N-nax, Bira membawa Lunar pergi ke mall. Niat awal mau ke pasar terpaksa ia batalkan. Lebih baik ke mall, mengajak istrinya berkeliling sambil membelikan beberapa helai baju dan juga make up. Keluar uang lebih tidak apa-apa, asalkan Lunar tidak curiga lagi padanya.Puas berbelanja hingga pukul tiga sore, Bira pun langsung mengantar Lunar pulang, sedangkan dirinya langsung pergi ke tempat praktek. Memang jam praktek mulai dari jam empat sore sampai dengan jam dua belas malam jika sedang banyak pasien.Lunar benar-benar sudah menepis kecurigaannya terhadap Bira, setelah puas berbelanja dan juga mendapatkan uang bonus lima ratus ribu dari suaminya itu.Bira sampai di tempat praktek pukul empat lebih lima menit. Sudah ada Bu Dasmi yang mencatat pendaftaran pasien yang rata-rata adalah wanita dan juga anak kecil."Pasien pertama silakan masuk!" Kata Bu Dasmi berseru. Bira sudah berada di balik meja persegi panjang dan tengah duduk bersila. Di depannya ada banyak minyak, mulai dari minyak urut, minyak khusus keseleo, minyak bulus, minyak kelapa, dan ada satu lagi dalam botol besar minyak khusus yang bisa membuat birahi pasien tersulut.Seorang wanita jalan pincang masuk ke dalam kamar periksa."Selamat sore, Bang Bira.""Selamat sore, Mbak Intan ya?" sapa Bira ramah, memperlihatkan senyuman di bibirnya."Iya, Bang. Saya yang semalam WA." Bira mengangguk. Lalu suara musik relaksasi pun terdengar mengisi kamar periksa. Tidak akan ada yang mendengar jika ada suara aneh selain suara musik yang mengalun dari dalam kamar itu. Intan sudah berbaring pasrah. Bira tersenyum hangat, lalu menaikkan rok wanita itu."Bagus, sudah tidak memakai dalaman dari rumah, tapi tolong hutan ini nanti dirapikan ya. Akan susah saya memijatnya jika rimbun seperti ini," kata Bira dengan suara serak."B-baik, Bang, nanti saya cukur. T-tapi benarkan, Bang, setelah dipijat Bang Bira, rahim saya bisa kencang lagi? Biar suami juga puas gak ngomel bilang kendor terus." Bira tertawa pendek."Kalau yakin, pasti bisa. Ayo, kita mulai." Intan pun memejamkan matanya.Selesai dengan Intan selama satu jam di ranjang, Bira menerima pasien selanjutnya, kali ini seorang anak kecil yang kakinya keseleo. Anak kecil berwajah lucu itu diantar oleh ibunya yang cantik. Tentu saja, jika pasiennya anak-anak, maka yang Bira benar-benar akan memijatnya. Tentu saja dengan siasat licik di balik itu semua. "Siapa namanya, Sayang?" tanya Bira begitu ramah pada pasien anak kecil berusia tiga tahun itu. "Aima, Om," jawab anak kecil itu sambil malu-malu. Bira tersenyum hangat, baik pada si anak kecil, maupun ibunya. "Sini, Om Bira lihat kakinya ya. Aduh, pasti sakit sekali ini. Aima jatuh di mana?" tanya Bira sambil mengusap pelan kaki gadis cilik itu. "Lagi main sama temannya, Bang Bira, tahu-tahu pulang nangis dan digendong ibu-ibu tetangga," sahut ibu dari anak kecil itu. Bira mengangguk paham. "Mbak, si Cantik ini bukan sekedar jatuh biasa. Ini ada yang senang dengan Aima dan mengikutinya." Bira menjeda ucapannya. Lalu ia berjalan menuju laci lemari. Di dalamn
Begitu membaca nama pasien berikutnya adalah Lunar, maka. Bira kalang kabut membersihkan ruangan periksanya. Satu kotak alat kontrasepsi ia buang ke dalam tempat sampah. Minyak gosok juga ia tuang ke telapak tangan, lalu ia ciprat-cipratkan ke seluruh ruangan. Ia bergerak cepat, seperti detak jantungnya saat ini. Tidak, ia belum siap kalau Lunar mengetahui pekerjaannya. Baru dua tahun lebih delapan bulan ia seperti ini dan baru saja asik dengan mainan barunya. Tentu ia tidak mau diganggu oleh siapapun termasuk Lunar. "Silakan pasien berikutnya!" Seru Bira dari dalam kamar periksa. Tangannya yang gemetar, terpaksa ia kepalkan dengan kuat agar kegugupannya tidak terlihat oleh sang Istri. Cklek"Permisi, Bang Bira, saya Sunar." Bira melongo saat seorang pria yang muncul dari balik pintu. Seorang pemuda yang tersenyum padanya, sembari berjalan dengan sedikit pincang. Kali ini pemuda itu diantar oleh pria tua. Pria itu akhirnya menghela napas lega. Ia mengusap keringat yang mengucur de
Bira sedang memanaskan mesin motor dan sudah duduk di atasnya, barulah pria itu mengaktifkan kembali ponselnya. Ada pesan dari Lunar dan kakaknya yang sudah sampai di rumah. Waduh, Lunar sakit! Bira langsung memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya, lalu ia menuju pulang ke rumah. Tidak lupa bubur ayam malam ia belikan sesuai pesanan sang Istri. Begitu tiba di rumah, keadaan sudah gelap. Bira memarkirkan motornya di halaman rumah, lalu mengunci pagar. "Tukang pijat malam banget pulangnya, lu mijet apaan?" tanya Haris yang membukakan pintu rumah untuk adiknya. Bira tertawa, pria itu mencium punggung tangan Haris, kemudian memeluk tubuh tinggi besar abangnya itu. "Banyak pasien hari ini, Mas. Mulai dari anak kecil, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak. Syukur ada saja pasien setiap hari, Mas. Oh, iya, Lunar sakit ya?" Bira berjalan masuk ke dalam rumah, sedangkan Haris mengikutinya di belakang sambil mengunci pintu. "Iya, muntah-muntah tuh. Udah minum obat dan gue buatin bubur tadi. Lu mah
Sepanjang usia pernikahan, baru kali ini suaminya membentaknya dengan begitu mengerikan. Memangnya apa yang salah dengan mencucikan dalaman suami sendiri? Kenapa hal yang wajib ia lakukan, malah salah di mata suaminya? Lunar hanya bisa tertegun saat melihat Bira sudah berada di halaman belakang sedang menjemur sempaknya. Jika saja ia tidak sedang sakit, pasti ia akan balik marah pada suaminya yang ia nilai terlalu berlebihan padanya. "Buatkan Abang teh, Lunar," kata Bira memerintah. Wajah pria itu sama sekali tidak menampakan penyesalan karena sudah membentak istrinya. Lunar malas menyahut, ia berdiri untuk mengerjakan perintah suaminya. Bira ke depan untuk menemui Haris, tetapi kakaknya itu tidak ada. Bira pergi ke luar rumah, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Haris, tetapi ia tidak menemukannya. "Mas Haris ke mana, Lunar?" tanya Bira saat Lunar meletakkan teh di atas meja ruang tamu. "Olah raga mungkin." Lunar menjawab tanpa semangat. Ia masuk ke dalam rumah umtuk
"Abang mau ke mana sudah mandi?" tanya Lunar saat melihat suaminya masuk ke kamar dalam keadaan memakai handuk saja dari pinggang sampai betis. "Hari ini Abang dapat panggilan pijat pejabat. Panggilan ke rumahnya. Lumayan, biasanya bayarannya gede. Kamu di rumah saja, Abang berangkat sama Mas Haris. Mas Haris mau wawancara kerja hari ini." Bira menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya, sebelum ia memakai baju kaus yang baru saja diambil di dalam lemari. Setelah kaus terpasang rapi, Bira pun memakai celana bahan berwarna hitam. Lunar hanya bisa memperhatikan tanpa rasa curiga sama sekali. "Jangan lupa minum obat, Abang berangkat ya." Bira mencium kening Lunar yang masih hangat. Ia nampak terburu-buru, karena mau mengantar kakaknya terlebih dahulu. Lunar turun dari tempat tidur ingin mengantar kepergian suaminya. Kakak iparnya sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dengan bet kancing di pundak dan juga memiliki jantung di bagian depan. Celananya berwarna hitam juga, pas di tubuh at
Lunar begitu cemas dengan penemuan pil KB yang bukan miliknya dari dalam lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang masuk ke kamarnya selain dirinya dan juga suaminya. Tidak mungkin juga milik kakak iparnya karena Haris sudah lama menduda. Lunar mengambil ponsel, lalu menekan kontak suaminya. Semakin ia tahan, maka semakin besar rasa penasarannya. Ia harus tahu obat itu milik siapa dan kenapa bisa ada di dalam lemarinya. Namun sayang, Bira tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya tetap saja tidak diangkat. Ini masih pukul satu siang, harusnya suaminya sudah selesai memijat. "Halo, Mbak Citra lagi di mana?""Masih di rumah, Nar, kenapa?""Kalau Mbak nanti sampai di klinik pijat Mas Bira, tolong sampaikan untuk menelepon saya balik ya, Mbak.""Oh, gitu, gak aktif ya HP-nya.""Iya, Mbak.""Oke, nanti begitu sampai di sana, Mbak suruh Bira telepon kamu."Lunar masih memegang plastik berisi tiga pack obat KB. Tanga
"Ya ampun, kenapa sampai nunggu bengkak begini baru dibawa ke sini?" Bira memperhatikan kaki Budi yang memang benar-benar membesar. Ini bukan sekedar pijat, ia harus benar-benar harus hati-hati dan juga pelan dalam mengobati kaki suami Citra. "Iya, nih, Bar, kata saya juga langsung ke Bira aja, tapi Citra gak nurut, akhirnya salah deh nih." Pria itu meringis saat merasakan linu pada kedua kakinya. Wanita bernama Citra hanya bisa terdiam sambil menunduk kikuk. "Gak papa, saya coba obati pelan-pelan ya, tapi ini kayaknya gak bisa satu atau dua kali sembuh." Bira memegang wajah Budi. Lalu berpindah pada kepalanya. Tepatnya memegang ubun-ubun Budi. "Hawanya panas. Apa Mas Budi jatuh di dekat pohon?" lelaki bernama Budi itu mengangguk pelan. Dari mana Bira tahu ia jatuh di dekat pohon? Batin pria itu. "Mas, ditanyai Bira tuh, jatuh dekat pohon nggak?" tegur Citra pada suaminya. "Iya, jatuh di bawah pohon. Saya mengantuk, terus, tiba-tiba mata kayak ada yang tutupi, tidur untuk sekian
"Bang, kenapa diam? Kenapa ada banyak pil KB di dalam lemari? Untuk apa dan punya siapa?""Ya ampun, Lunar, jadi obat itu ada di dalam lemari kita? Pasti Abang lupa, Abang kirain jatoh. Jadi waktu Abang mau pulang, Bu Dasmi nitip obat itu untuk putrinya. Dia kan gak ada motor mau ke apotek, Abang taruh di jaket. Abang kirain jatoh, rupanya ada di dalam lemari. Nih, kalau kamu gak percaya, nanti kamu telepon saja Bu Dasmi. Syukur deh kalau gitu, jadi Abang gak kena gantiin beli lagi. Makasih atas informasinya ya, Neng. Simpankan dulu saja, besok baru ingatkan Abang untuk bawa obat itu ya. Abang kerja lagi, assalamu'alaikum."Lunar bahkan belum membuka mulut untuk menanyakan hal lain lagi, tetapi suaminya sudah menutup panggilan. Hatinya yang cemas karena teka-teki pil KB, kini sudah mereda. Ucapan suaminya sangat masuk di akal bahwa obat itu titipan Bu Dasmi. Wanita itu bahkan diminta menelepon Bu Dasmi untuk konfirmasi. Tentu saja hal itu tidak akan ia lakukan, karena pasti akan sang