Seperti biasa, setiap pagi Jenna selalu menyempatkan waktu untuk sarapan sebelum berangkat kerja. Nasi goreng yang tidak lepas dari telor ceplok tersebut sudah tersaji di atas meja makan. Ayah dan adik sambungnya pun sudah siap dengan kemeja serta seragam putih birunya.
"Besok kamu beneran masuk kerja, Jenna?" tanya sang Ibu tiri, Rani. Jenna mengangguk dengan satu kunyahan kecil. Sejujurnya ia malas jika sang Ibu sudah bertanya seperti itu, pasalnya besok ia harus kerja di hari libur. Tentu saja hal itu membuat Jenna selalu mendapatkan cibiran tidak enak dari mulut sang Ibu. "Hari Minggu kok masih kerja. Kalau masuk terus tanpa ada liburnya, kapan kamu mau kenalin calon ke Ibu sama Ayah?" tanya Rani seraya mengambilkan sarapan untuk suaminya sekaligus memancing emosi Jenna. Jenna terdiam. Ia terus mengunyah walau nafsu makannya sudah hilang sedari tadi. "Kamu tau kan Hilda anaknya Pak RT? Dua Minggu lagi dia menikah. Umurnya nggak jauh beda sama kamu. Dia juga sibuk kerja, tapi buktinya dia bisa, tuh, dapat pacar yang sekarang sudah mau jadi suami di tengah kesibukannya." Jenna langsung berhenti mengunyah. Ia menelan nasi goreng tersebut dengan susah payah. Sendok yang semula dipegang olehnya langsung ia taruh di atas piring hingga menimbulkan bunyi cukup nyaring. Ia muak. Benar-benar muak. "Jenna berangkat dulu," ucap Jenna langsung mengambil tasnya hendak pergi. "Bagus kamu, orang tua lagi bicara malah pergi gitu aja," sindir Rani membuat niat Jenna kembali ia urungkan. Ia pun menatap Rani dengan tatapan menahan amarah. "Jenna beberapa kali bilang sama Ibu, kalau sudah ada calonnya. Jenna pasti menikah, Bu." "Bu, sudah. Biarkan Jenna berangkat kerja," potong sang Ayah saat istrinya hendak membalas ucapan Jenna "Jenna itu terlalu gila kerja, Mas. Teman-temannya saja sudah pada menikah, cuma dia saja yang belum. Mau jadi perawan tua dia?" ucap Jenna begitu pedas. "Bu ... sudah," tegur Ridwan. Jenna tidak habis pikir dengan Ibunya. Meski ini bukan pertama kali ia mendapat nyinyiran dari Rani, tapi kali ini Jenna cukup terluka. Entah kenapa, hatinya pagi ini terlalu sensitif sehingga perkataan sang Ibu terkesan sangat menusuk di dalam sana. Terasa perih. Apalagi kata 'perawan tua' itu berhasil keluar dari mulut orang yang selama ini sudah ia anggap sebagai Ibu kandungnya. "Zio sarapannya sudah selesai atau belum?" tanya Ridwan kepada anak lelakinya dari pernikahannya dengan Rani. "Sudah, Yah." Zio langsung memakai tasnya di pundak. "Kak Jenna ayo? Zio sudah selesai sarapannya." "Sudah, berangkat sana. Nanti kamu telat berangkat kerjanya," ujar sang Ayah dengan senyum tipisnya. Jenna hanya menatap sekilas Ayahnya, lalu langsung melenggang pergi tanpa mengucapkan satu patah kata dan diikuti Zio di belakang. Ia memang kerap kali mengantar Zio berangkat sekolah karena kebetulan sekolah Zio dengan tempat kerjanya satu arah. Di atas motor. "Kak Jenna, mau nggak Zio jodohin sama Kakak temannya Zio? Orangnya ganteng, kok. Kak Jenna pasti suka," celetuk Zio tiba-tiba. Jenna menoleh sebentar ke arah Zio. "Kamu masih kecil, Zio. Fokus sekolah, jangan mikirin apa pun. Kalau Ibu bilang yang aneh-aneh tentang Kak Jenna, jangan didengerin." "Gimana nggak didengerin kalau pendengaran Zio aja masih normal dan nggak bermasalah sama sekali," jawab Zio cukup berani. Ah, tidak. Anak itu memang sangat berani. Jenna memilih tidak menjawab. Ia terus fokus menyetir sampai akhirnya sepeda motor yang ia kendarai berhenti tepat di depan gerbang sekolahnya Zio. Zio dengan pekanya langsung turun dari motor. Anak itu hendak membuka mulutnya, tetapi hal itu dicegah langsung oleh Jenna. "Masuk. Kakak nggak mau dengar apa pun dari bocah ingusan kaya kamu," tegas Jenna seolah tahu apa yang hendak Zio katakan. "Tapi Zio serius, Kak. Kalau Kak Jenna mau, Zio bakal—" "Nggak. Kak Jenna nggak mau," tolak Jenna mentah-mentah. Ia pun langsung menyalakan mesin motornya dan kembali melanjutkan perjalanan menuju kantor di mana ia bekerja. "Kak Jenna!" teriak Zio kesal sendiri. "Yang tadi itu Kakak kamu?" tanya seseorang membuat Zio refleks membalikkan badannya. "Eh, ada Bang Ken." Zio menyengir kuda dengan pandangan menatap kendaraan sang Kakak yang sudah jauh di sana. Lantas, Zio menggaruk tenguknya yang tidak gatal. "Iya, itu Kakaknya Zio, Bang." "Rupanya Kakak kamu memang pekerja keras, ya." Pria itu memberikan tatapan tidak biasa atas menghilangnya Jenna dari pandangan. Zio menyenggol lengan Gina, sahabatnya sekaligus adik dari pria yang Zio sapa dengan sebutan Ken tersebut. "Ya sudah, kalian masuk sana." Keduanya langsung bertukar pandang dan setelahnya ngibrit ke dalam tanpa mengucapkan salam perpisahan terlebih dahulu. Sedangkan di sisi lain, Jenna baru saja sampai di kantor tempat ia bekerja. Ia membuka helm-nya saat mesin kendaraan sudah mati. Merapikan pakaian, lalu masuk ke dalam dengan menenteng tas di tangannya. "Jen, kirim soft file yang aku minta semalam, ya. Kamu bilang ada di komputer kantor, aku tunggu sekarang," perintah Karin, rekan kerjanya. "Oke, Mbak Karin!" ujar Jenna dengan semangatnya. "Semangat banget kamu, Jen. Kaya besok libur aja," ledek Karin. Jenna terkekeh pelan dengan bokong yang sudah duduk di bangku kerjanya. Ia mulai menyalakan komputernya, lalu mencari file yang Karin minta dan mengirimnya sesegera mungkin. "Sudah aku kirim lewat email, ya, Mbak Karin," kata Jenna mengkonfirmasi. "Makasih, Jen. Btw, kalau semisal besok kamu mau libur, bisa aku ajukan ke Bos. Kamu kan karyawan teladan, pasti langsung di-acc." Tiba-tiba Tasya menyahut, "Mbak Karin kaya nggak tau Jenna aja, dia malah kesenangan masuk di hari libur." Tasya benar. Mungkin dulu Jenna salah satu dari banyaknya karyawan yang menantikan hari libur, tetapi berbeda sekarang. Usia 27 tahun seolah menjadi mala petaka baginya. Karena di usia sekarang yang 3 tahun lagi menginjak angka 30, Rani selaku ibunya terus mencecar Jenna agar segera menikah. Hal itu yang membuat Jenna seolah meniadakan hari libur. "Eh, Jen, tapi kamu suka nggak kalau dijodoh-jodohin gitu? Aku punya kenalan, orangnya baik. Itu pun kalau kamu mau," ujar Karin. Jenna mengulum senyum. Tidak adiknya, tidak rekan kerjanya. Kenapa semua orang berniat menjodohkan ia dengan para kenalannya si? Apakah memang sengenes itu hidup dirinya? "Ah, nggak usah, Mbak. Kerjaan aja sudah bikin pusing, mikirin itu malah tambah pening kepala," balas Jenna dengan kekehan. Setelahnya mereka langsung disibukan dengan pekerjaan masing-masing. Jenna sesekali menjawab telepon dari klien, juga sibuk mondar-mandir memberikan beberapa berkas yang sudah ia foto copy dan membagikannya kepada tim divisinya. —Jam pulang kerja. "Jenna, Tasya duluan, ya!" ucap Karin. Dibalas anggukan oleh yang bersangkutan. Pun dengan Tasya yang sudah siap pulang. "Masih lama, Jen?" "Sedikit lagi, Sya. Kamu kalau sudah beres, duluan aja nggak apa." Tasya menyetujuinya. "Ya sudah, aku pulang duluan, Jen." Tidak lama dari itu pekerjaan Jenna pun selesai. Ia langsung bergegas pulang. Sesampainya di rumah. "Kamu cepetan mandi, ya, Jen. Dandan secantik dan sewangi mungkin, habis itu antarkan kue ke tetangga baru kita yang nempatin rumahnya Pak Solo," ujar Rani setibanya ia di rumah. Jenna mengerutkan keningnya heran. Tetangga baru? Berarti rumah yang beberapa bulan lalu sedang direnovasi itu karena pemiliknya berubah orang? "Sudah sana. Jangan kebanyakan mikir. Siapa tahu habis ini kamu ketemu jodoh," celetuk Rani. Tidak ambil pusing, Jenna langsung naik ke atas dan membersihkan badannya. Ia kembali turun setelah rapi dengan baju santainya. Lalu pergi dengan menenteng kue sesuai perintah Rani. Ia mulai menekan bel rumah tetangganya. Rumah yang terlihat cukup mewah dibandingkan sebelumnya. Pasti pemiliknya orang kaya, pikir Jenna. Saat pintu itu terbuka, alangkah terkejutnya Jenna sampai barang bawaannya hampir jatuh. "Pak Kendrick?!" ujar Jenna langsung membulatkan matanya.—Di dalam mobil.Sepanjang perjalanan, mata Liam tidak berhenti melirik ke arah di mana Jenna duduk di bangku penumpang. Sesekali bibirnya tersenyum tipis."Kamu udah lama kerja di sana?" tanya Liam basa-basi. Jenna mengangguk pelan. "Lumayan. Sudah 2 tahun."Liam menoleh sebentar, kemudian kembali fokus ke depan. "Jenna ... soal masalah dulu, saya minta maaf, ya."Masalah yang Liam maksud adalah ketika pria itu menolak cinta Jenna. Entah bagaimana Liam masih ingat hal tersebut, padahal sudah lama sekali. Namun, meski sudah bertahun-tahun itu merupakan moment yang tidak akan pernah Jenna lupakan."Nggak apa, Mas. Itu cuma cerita lama. Nggak begitu berpengaruh juga," jawab Jenna tersenyum tipis. Sayangnya bukan itu yang Liam inginkan. Meski kala itu ia juga mencintai Jenna, tetapi hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Makanya Liam tidak pernah bicara yang sesungguhnya. Ia tidak ingin membuat Jenna makin berharap jika waktu itu ia juga mengutarakan isi hatinya."Laki-laki di cafe waktu
Beberapa hari pun berlalu."Teman-teman, itu ada makan siang dari Pak Ken. Bisa dimakan, ya." Karin memberitahu sebelum jam istirahat benar-benar tiba.Makan siang itu mulai dibagikan oleh kepala divisi masing-masing kepada meja kerja sang rekan. Semuanya terlihat tampak bahagia."Waduh, apa ini namanya berkah makan siang gratis?" kata Tasya menatap para rekan kerjanya.Dewi mengangguk setuju. "Lebih ke berkah di akhir bulan, si, Sya."Ken yang baru keluar dari ruangannya pun langsung mengulum senyum. Namun, pandangannya tidak lepas dari mata indah milik Jenna, kekasihnya sendiri."Terima kasih banyak, Pak," ucap para karyawan atas rasa hormat kepada sang atasan.Pria itu mengangguk lirih. Tidak lama langsung pergi dengan gaya cool-nya, diikuti Bagas—asistennya dari belakang. "Makan siang apaan ini semuanya bentuk love?" kaget Tasya usai Ken benar-benar pergi.Bukan hanya Tasya saja, yang lain juga ikut terkejut. Bahkan beberapa orang tercengang sendiri menatap isi box makanan terse
—Pukul 12 siang."Pokoknya kalian semua jangan berisik," ucap Tasya mewanti-wanti. Merrka sampai di rumah Jenna hendak menjenguk rekan kerja sekaligus sahabatnya. "Permisi," ucap Tasya di depan pintu rumah Jenna yang sedikit terbuka."Pintunya nggak dikunci," kata perempuan itu menoleh pada yang lain.Dewi kemudian ikut mengintip ke dalam. "Kok kayanya sepi, ya?""Coba masuk dulu, gimana?" Tasya meminta persetujuan. Yang memberi anggukan kepalanya hanya Dewi saja, sedangkan Henry dan Sakti berdiam diri bak patung. Tidak ada gunanya.Mereka pun memutuskan masuk ke dalam rumah Jenna secara bersamaan. Karena Tasya dan Dewi sering berkunjung ke rumah rekannya, mereka pun mengajak yang lain untuk melihat ke kamar Jenna, barangkali perempuan itu tengah istirahat di sana. "Halo, Jenna!" ujar Tasya penuh bersemangat mendorong pintu kamar tersebut yang sudah terbuka kecil.Ke empat manusia itu sontak terkejut setengah mati. Bahkan Tasya yang sudah tahu hubungan Jenna dan sang atasan pun ik
Keesokan paginya. "Semuanya udah beres, 'kan? Ada yang ketinggalan nggak?" tanya Rani repot di pagi menjelang siang karena Jenna sudah diperbolehkan pulang.Tiba-tiba Ken datang dengan napas terengah-engah. "Maaf saya terlambat. Tadi sempat ada kendala di jalan.""Nggak apa-apa, Nak Ken. Lagipula sudah ada Erica yang membantu," ucap Rani. Wanita itu memang sendiri di rumah sakit. Pagi-pagi Ridwan dan Zio sudah pulang sebab sang suami harus bekerja, sedangkan Zio masuk sekolah.Erica tersenyum simpul pada sang Kakak. Seolah memberi reaksi meledak karena dirinya berhasil bertemu dengan calon sang kakak ipar."Tante baru tau kalau Nak Ken punya adik dokter di sini," ujar Rani menoleh pada pria itu sebentar.Ken menatap horor sang adik. Sudah pasti si tengil itu memperkenalkan diri sebagai saudaranya. "Iya, Bu. Erica adik kedua saya. Yang terakhir Gina, dia masih SMP."Rani mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah Gina ... temennya Zio itu.""Wah, dunia sempit banget, ya." Erica langsung men
Rumah Sakit.Usai kejadian pingsan di toilet, saat ini Jenna tengah terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Sejak mendapat penanganan serius dari dokter hingga kini tangannya terpasang jari infus, perempuan itu belum juga membuka matanya.Sekarang sudah pukul 7 malam, tetapi Jenna masih setia menutup matanya dengan tenang. Ken yang sedari siang menemani sang kekasih pun rela membatalkan beberapa janji, juga menunda meeting karena saking khawatirnya pada perempuan yang kini terlihat lemah itu."Jenna," ucap Ken merasakan jari-jemarinya perempuan itu bergerak. Ia langsung memandang penuh perempuan itu dengan tangan tidak lepas dari genggaman. Mengusap lembut wajah kekasihnya. Tersenyum senang karena Jenna berhasil membuka matanya."H-haus," lirih Jenna sedikit terbata-bata.Buru-buru Ken mengambilkan air putih dan membantu Jenna duduk agar perempuan itu mudah untuk meneguk air bening tersebut. "Pusing nggak? Mau saya panggilkan dokter?" ujar Ken setelah menaruh kembali gelas itu.
Usai kejadian kencan kemarin. Saat ini hati Jenna sedang berbunga-bunga. Perempuan itu bahkan senyum-senyum sendiri di lorong kantor dengan tas di bahunya."Pagi Mbak Jenna," sapa beberapa karyawan yang lewat.Jenna membalas dengan senyuman. Melanjutkan jalan sampai ruang kerja. "Selamat pagi semua!" sapa perempuan itu dengan girang.Semua orang yang ada di ruangan pun kompak membalas, "Pagi." Dengan nada pelan dan kebingungan. "Kesambet apa lo?" tanya Sakti tepat di belakang Jenna.Ia pun menoleh dengan tatapan sinis. Merusak suasana saja. Kemudian melangkahkan kakinya menuju meja kerja."Jen ... kamu nggak salah minum obat, 'kan?" tanya Tasya memastikan."Ngadi-ngadi aja kamu," balas Jenna sedikit cuek.Sakti dari meja seberang sana menyahut, "Kerjaan lo banyak. Jangan seneng dulu.""Nggak ada yang ngomong sama kamu, ya, Sakti," dengus Jenna kesal."Gue si ngasih tau, ya. Dari pada lo nanti nangis karena banyak komplenan," balasnya.Tasya pun mencoba melerai, "Udah nggak usah dila