Keesokan paginya.
Hari libur untuk bersantai-santai? Oh tentu tidak. Hal itu tak berlaku bagi Jenna. Libur diharuskan tetap bekerja. Bukankah Jenna sudah seperti budak korporat? "Ibu ke mana?" tanya Jenna kepada Zio yang tengah menonton televisi. Zio menoleh sebentar. "Nggak tau. Tadi ke depan. Mungkin lagi cari sayuran." "Ya udah. Kalau Ibu nanyain, bilang aja Kak Jenna udah berangkat kerja." Zio hanya menganggukkan kepalanya dan menjawab iya. Jenna pun berusaha mengeluarkan motornya dari bagasi dan melihat gerbang rumah sudah terbuka lebar. Syukurlah ia tidak harus bersusah payah membuka gerbang itu, sebab di rumahnya tidak ada satpam. "Astaga!" ujar Jenna benar-benar terkejut. Kalian tahu? Saat ia berhasil menjalankan motornya sampai depan rumah, betapa kagetnya melihat sang Ibu sedang mengobrol dengan Kendrick. Catat, Kendrick! Bosnya sendiri. "Nah, itu Jenna. Anaknya memang gila kerja. Nggak heran hari libur aja dia masuk," ucap Rani ketika sang anak berhenti di hadapan ia dan Kendrick. Meski kepalanya sudah tertutup helm, tetapi samar-samar Jenna dapat mendengar ucapan sang Ibu yang menyebalkan itu. Tunggu, jangan-jangan mereka sedang bergosip tentang dirinya? "Ibu ngapain di sini?" tanya Jenna sedikit kesal. "Nunggu tukang sayur." Ia pun menatap Jenna dari atas hingga bawah. "Jam segini sudah rapi. Rajin sekali kamu kerja di hari Minggu," nyinyirnya. "Namanya juga tuntutan pekerjaan, Bu," balas Jenna ala kadarnya. "Bos kamu itu sudah keterlaluan, Jenna. Hari libur, masih saja digunakan untuk bekerja." Kemudian wanita itu melirik ke arah Kendrick. "Pindah saja kamu ke perusahaan Ken. Lihat. Ken pasti lebih berperikemanusiaan dengan karyawannya sendiri. Betul, 'kan, Nak Ken?" "Hah-? Oh, iya, Bu." Kendrick bingung sendiri harus menjawab apa. Matanya lalu tertuju pada Jenna. Ia memandang perempuan itu tidak biasa. Jenna memang seunik itu orangnya, ya? Rasanya ingin tertawa melihat lipstick belopatan di bibirnya. "Tuh, cepat kasih lamaran kamu ke Ken," suruh sang Ibu. Jenna membuang wajah ke arah lain. Ibunya itu selain cerewet, ia juga suka ngatur-ngatur tidak jelas. Belum tahu saja wanita itu bahwa pria di depannya adalah Bos sang anak yang ia bilang tidak berperikemanusiaan itu. Lagipula, untuk apa Kendrick di sini? Mengobrol tidak jelas di depan rumah. Seperti tukang gosip saja. Ah, apa itu keahlian yang tersembunyi? "Ah, Ibu sampai lupa kalau hari ini tukang sayurnya mangkal di rumah Bu RT. Kalau gitu Ibu pamit dulu Nak, Ken." Kemudian pandangannya beralih pada sang anak. "Dan kamu Jenna. Sana berangkat kerja." Setelah mengatakan itu, Rani langsung pergi dan meninggalkan dua anak muda yang sudah tidak muda tersebut. "Jenna." Kendrick membuka suara kala perempuan itu hendak pergi. Menatapnya dengan seksama. "Di rumah kamu nggak ada kaca?" Keningnya mengerut. Jenna sontak menatap pria di depannya dengan pandangan bingung. "Bibir kamu. Jelek." Mendengar itu mata Jenna langsung membulat sempurna. Tangannya hendak menampar mulut sialan Kendrick, tetapi berhasil ia tahan. Sabar Jenna, batinnya. "Terima kasih atas pujiannya, Pak." Jenna tersenyum paksa. Masih belum sadar dengan lipsticknya yang ke mana-mana. Sayangnya ekspresi Kendrick membuat Jenna naik darah. Pria itu bahkan memberi kode kepada Jenna agar dirinya melihat ke arah spion motor. Setelah menerima instruksi tersebut, betapa terkejutnya ia melihat lipstik tersebut melenceng jauh. Refleks tangannya menutupi bibir tersebut. Memalukan sekali. Kenapa sang adik bahkan ibunya tidak berkomentar? Ah, sial. "Nggak usah ditutup. Saya nggak tertarik sama bibir kamu," ucap Kendrick dengan mulut entengnya. Setelah itu, ia pergi dengan mobil mahalnya. Jenna yang melihat itu langsung berdecak sebal. Ia mengambil tisu basah di tasnya dan merapikan bibir berantakan tadi. Kemudian menjalankan sepeda motornya dengan mood buruk di pagi hari. -Skip di kantor. "Jenna, kebetulan kamu datang. Aku nitip dokumen ini, ya. Tolong antar ke ruang meeting," ujar Karin tampak sibuk di awal jam kerja. Ia pun menerima dokumen itu. "Hari ini ada meeting?" "Iya. Meeting sama Bos baru, Pak Kendrick." Plot twist macam apa ini? Tidak. Jenna belum siap bertemu pria itu di kantor. "Bukannya hari Senin, Mbak?" tanya Jenna. Mengapa jadwal tiba-tiba berubah? "Pak Direktur mau pergi, Jen. Makanya peralihan jabatan dimanjuin hari ini," jelas Karin. Perempuan itu menambahkan, "Oh, iya. Kamu ikut, ya. Perwakilan divisi kalian. Mas Henry nggak masuk, anaknya sakit." "Tapi, Mbak—" "Udah, nggak ada tapi-tapian." Perempuan itu melirik jam di pergelangan tangannya. "10 menit lagi meeting dimulai, jangan lupa." Usai kepergian Karin, yang Jenna lakukan hanya melamun dan menatap dokumen di tangannya dengan pandangan lesu. Bisakah sehari saja ia bertukar tubuh dengan orang lain? Sungguh, ia belum siap melihat Kendrick sebagai Bos barunya. *Sepuluh menit pun berlalu. Saat ini ruang meeting terasa lebih mencekam dari biasanya. Jenna hanya bisa menundukan kepalanya seraya menunggu kedatangan Kendrick. Namun, tiba-tiba semua orang berdiri dan menyapa si Direktur baru tersebut. "Selamat pagi Pak," sapa semua orang termasuk Jenna. Jenna tidak melihat Kendrick, sampai akhirnya mereka kembali duduk dan tanpa perempuan itu sadari, Kendrick tengah memperhatikannya. "Jenna," panggil Karin mnegur Jenna karena bersikap tidak sopan saat meeting. "Jangan nunduk." Catat, ini pertama kalinya ia meeting dengan perasaan hampir mati. Benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana. "Jenna ...?" Suara itu milik Kendrick. Sial. Pria itu berhasil mengenalinya. Dengan setengah gugup Jenna mengangkat kepalanya dan tersenyum canggung kepada sang atasan yang tidak lain adalah tetangganya sendiri. "Pak," sapa Jenna dengan raut wajah seperti orang yang tertangkap basah. Kendrick memandang tidak percaya atas apa yang ia lihat sekarang. Ia bahkan menatap Jenna dengan sorot mata tajam. "Ternyata kantor ini yang nggak berperikemanusiaan sama kamu sampai hari Minggu aja harus kerja?" sindir Kendrick tidak lepas dari Jenna. Semua orang yang mendengar itu langsung memandang aneh. Apakah Jenna pernah menyinggung perasaan Direktur barunya? Buru-buru Jenna menggeleng kuat. Ia bahkan memandang rekannya satu per satu karena takut kesalahpahaman terjadi. "Nggak, Pak. Ini bukan kesalahan kantor. Saya sendiri yang mengajukan diri masuk di hari weekend," jelas Jenna dengan sepenuh hati. Pria itu tidak bereaksi apa pun, sampai akhirnya .... "Setelah selesai meeting, ikut ke ruangan saya." Kendrick langsung memutus kontak mata dengan Jenna. Dengan gerakan pelan, Jenna menganggukkan kepalanya sambil memikirkan nasib dirinya nanti. Jenna terus berperang dengan pikirannya sendiri. Tidak mungkin. Kendrick pasti mengerti kenapa sang Ibu bilang bahwa kantor tidak berperikemanusiaan pada karyawan, ia pun sudah menjelaskan tadi bahwa itu kemauan diri sendiri. Mungkinkah pria yang tengah memimpin rampat itu hendak memberi peringatan? Atau .... Pria itu langsung memecatnya tanpa belas kasihan?—Di dalam mobil.Sepanjang perjalanan, mata Liam tidak berhenti melirik ke arah di mana Jenna duduk di bangku penumpang. Sesekali bibirnya tersenyum tipis."Kamu udah lama kerja di sana?" tanya Liam basa-basi. Jenna mengangguk pelan. "Lumayan. Sudah 2 tahun."Liam menoleh sebentar, kemudian kembali fokus ke depan. "Jenna ... soal masalah dulu, saya minta maaf, ya."Masalah yang Liam maksud adalah ketika pria itu menolak cinta Jenna. Entah bagaimana Liam masih ingat hal tersebut, padahal sudah lama sekali. Namun, meski sudah bertahun-tahun itu merupakan moment yang tidak akan pernah Jenna lupakan."Nggak apa, Mas. Itu cuma cerita lama. Nggak begitu berpengaruh juga," jawab Jenna tersenyum tipis. Sayangnya bukan itu yang Liam inginkan. Meski kala itu ia juga mencintai Jenna, tetapi hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Makanya Liam tidak pernah bicara yang sesungguhnya. Ia tidak ingin membuat Jenna makin berharap jika waktu itu ia juga mengutarakan isi hatinya."Laki-laki di cafe waktu
Beberapa hari pun berlalu."Teman-teman, itu ada makan siang dari Pak Ken. Bisa dimakan, ya." Karin memberitahu sebelum jam istirahat benar-benar tiba.Makan siang itu mulai dibagikan oleh kepala divisi masing-masing kepada meja kerja sang rekan. Semuanya terlihat tampak bahagia."Waduh, apa ini namanya berkah makan siang gratis?" kata Tasya menatap para rekan kerjanya.Dewi mengangguk setuju. "Lebih ke berkah di akhir bulan, si, Sya."Ken yang baru keluar dari ruangannya pun langsung mengulum senyum. Namun, pandangannya tidak lepas dari mata indah milik Jenna, kekasihnya sendiri."Terima kasih banyak, Pak," ucap para karyawan atas rasa hormat kepada sang atasan.Pria itu mengangguk lirih. Tidak lama langsung pergi dengan gaya cool-nya, diikuti Bagas—asistennya dari belakang. "Makan siang apaan ini semuanya bentuk love?" kaget Tasya usai Ken benar-benar pergi.Bukan hanya Tasya saja, yang lain juga ikut terkejut. Bahkan beberapa orang tercengang sendiri menatap isi box makanan terse
—Pukul 12 siang."Pokoknya kalian semua jangan berisik," ucap Tasya mewanti-wanti. Merrka sampai di rumah Jenna hendak menjenguk rekan kerja sekaligus sahabatnya. "Permisi," ucap Tasya di depan pintu rumah Jenna yang sedikit terbuka."Pintunya nggak dikunci," kata perempuan itu menoleh pada yang lain.Dewi kemudian ikut mengintip ke dalam. "Kok kayanya sepi, ya?""Coba masuk dulu, gimana?" Tasya meminta persetujuan. Yang memberi anggukan kepalanya hanya Dewi saja, sedangkan Henry dan Sakti berdiam diri bak patung. Tidak ada gunanya.Mereka pun memutuskan masuk ke dalam rumah Jenna secara bersamaan. Karena Tasya dan Dewi sering berkunjung ke rumah rekannya, mereka pun mengajak yang lain untuk melihat ke kamar Jenna, barangkali perempuan itu tengah istirahat di sana. "Halo, Jenna!" ujar Tasya penuh bersemangat mendorong pintu kamar tersebut yang sudah terbuka kecil.Ke empat manusia itu sontak terkejut setengah mati. Bahkan Tasya yang sudah tahu hubungan Jenna dan sang atasan pun ik
Keesokan paginya. "Semuanya udah beres, 'kan? Ada yang ketinggalan nggak?" tanya Rani repot di pagi menjelang siang karena Jenna sudah diperbolehkan pulang.Tiba-tiba Ken datang dengan napas terengah-engah. "Maaf saya terlambat. Tadi sempat ada kendala di jalan.""Nggak apa-apa, Nak Ken. Lagipula sudah ada Erica yang membantu," ucap Rani. Wanita itu memang sendiri di rumah sakit. Pagi-pagi Ridwan dan Zio sudah pulang sebab sang suami harus bekerja, sedangkan Zio masuk sekolah.Erica tersenyum simpul pada sang Kakak. Seolah memberi reaksi meledak karena dirinya berhasil bertemu dengan calon sang kakak ipar."Tante baru tau kalau Nak Ken punya adik dokter di sini," ujar Rani menoleh pada pria itu sebentar.Ken menatap horor sang adik. Sudah pasti si tengil itu memperkenalkan diri sebagai saudaranya. "Iya, Bu. Erica adik kedua saya. Yang terakhir Gina, dia masih SMP."Rani mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah Gina ... temennya Zio itu.""Wah, dunia sempit banget, ya." Erica langsung men
Rumah Sakit.Usai kejadian pingsan di toilet, saat ini Jenna tengah terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Sejak mendapat penanganan serius dari dokter hingga kini tangannya terpasang jari infus, perempuan itu belum juga membuka matanya.Sekarang sudah pukul 7 malam, tetapi Jenna masih setia menutup matanya dengan tenang. Ken yang sedari siang menemani sang kekasih pun rela membatalkan beberapa janji, juga menunda meeting karena saking khawatirnya pada perempuan yang kini terlihat lemah itu."Jenna," ucap Ken merasakan jari-jemarinya perempuan itu bergerak. Ia langsung memandang penuh perempuan itu dengan tangan tidak lepas dari genggaman. Mengusap lembut wajah kekasihnya. Tersenyum senang karena Jenna berhasil membuka matanya."H-haus," lirih Jenna sedikit terbata-bata.Buru-buru Ken mengambilkan air putih dan membantu Jenna duduk agar perempuan itu mudah untuk meneguk air bening tersebut. "Pusing nggak? Mau saya panggilkan dokter?" ujar Ken setelah menaruh kembali gelas itu.
Usai kejadian kencan kemarin. Saat ini hati Jenna sedang berbunga-bunga. Perempuan itu bahkan senyum-senyum sendiri di lorong kantor dengan tas di bahunya."Pagi Mbak Jenna," sapa beberapa karyawan yang lewat.Jenna membalas dengan senyuman. Melanjutkan jalan sampai ruang kerja. "Selamat pagi semua!" sapa perempuan itu dengan girang.Semua orang yang ada di ruangan pun kompak membalas, "Pagi." Dengan nada pelan dan kebingungan. "Kesambet apa lo?" tanya Sakti tepat di belakang Jenna.Ia pun menoleh dengan tatapan sinis. Merusak suasana saja. Kemudian melangkahkan kakinya menuju meja kerja."Jen ... kamu nggak salah minum obat, 'kan?" tanya Tasya memastikan."Ngadi-ngadi aja kamu," balas Jenna sedikit cuek.Sakti dari meja seberang sana menyahut, "Kerjaan lo banyak. Jangan seneng dulu.""Nggak ada yang ngomong sama kamu, ya, Sakti," dengus Jenna kesal."Gue si ngasih tau, ya. Dari pada lo nanti nangis karena banyak komplenan," balasnya.Tasya pun mencoba melerai, "Udah nggak usah dila