-Usai meeting.
Saat ini Jenna sudah berada di hadapan Ken dengan pria itu duduk menyilangkan kakinya di kursi kerjanya. Sudah hampir lima belas menit ia berada di ruangan Direktur, Jenna tidak tahu harus berbuat apa, selain menunggu Ken dengan panggilan teleponnya. Kemudian, Ken memberi isyarat bahwa ia haus. Jenna yang tidak mengerti hanya mampu menelaah dan mengerutkan kening, kebingungan. "Minum," ucap Ken singkat langsung kembali berbicara dengan si penelepon. Ia pun membuka mulutnya. "Ah ... minum. Sebentar, Pak." Buru-buru ia mengambil minum untuk sang atasan. Tidak lama, Jenna kembali dengan gelas berisikan air. Menaruhnya di atas meja. Mempersilakan pria itu untuk meminumnya. "Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" tanya Ken usai mengakhiri panggilan tersebut. "Hampir 2 tahun, Pak." Pria itu terus melihat data diri milik Jenna. Astaga, ia benar-benar gugup sekarang. Tuhan, ini bukan hari terakhir ia bekerja, 'kan? "Kamu anak terakhir?" Ken memandang Jenna tidak percaya. Ia pun mengangguk lirih. "Iya, Pak." Jika perempuan di depannya adalah anak terakhir, lantas anak bujang yang dimaksud Ibu perempuan itu siapa? Bukankah mereka adik-kakak? Tidak peduli. Ken melanjutkan membaca data Jenna. "Kamu silakan kembali bekerja," putus Ken menutup lembar data tersebut. Jenna tercengang di tempat. Ia tidak salah dengar bukan? Sungguh, hanya itu? Tidak ada kata-kata pedas, makian dan sebagainya? Padahal ia sudah siap kena omel. "Ngapain masih berdiri di sini? Sana balik kerja." Kali ini dengan kalimat penuh perintah. Jenna sontak membungkuk kecil. "Terima kasih, Pak. Saya pamit kembali bekerja." -Beberapa jam kemudian. Waktu pulang kerja. Dikarenakan masuk kerja di hari weekend, otomatis jam kerja tidak sepenuhnya full. Mereka bekerja hanya setengah hari saja. Jam 12 siang sudah keluar dari perusahaan. "Mbak Karin duluan!" ucap Jenna seraya menenteng tas keluar menuju parkiran. Namun, saat di lobi bawah tiba-tiba seseorang memanggil namanya. Jenna menoleh. Di sana ada Ken dengan seorang perempuan di sampingnya. Dengan inisiatif ia pun berjalan menuju dua orang itu. "Maaf. Bapak manggil saya?" Terlihat Ken melepas cekalan perempuan di sampingnya dengan raut wajah risih. Jenna mulai menerka-nerka sendiri. Mungkinkah si cantik dengan rambut golden brown itu kekasih sang atasan? "Bantu saya," bisik Ken dengan tatapan penuh harapan. Bantu apa? Tiba-tiba otaknya loading sendiri. "Pokoknya aku mau kamu harus datang ke kencan malam ini," ujar perempuan itu membuat Jenna tercengang sendiri. Kencan? Jadi perempuan itu benar kekasih Ken? Atau ... mereka baru mau melakukan kencan buta? "Naomi. Saya sibuk. Udah berapa kali saya bilang. Saya sibuk," tekan Ken seolah sudah muak. "Alasan klise, Ken. Ini hari Minggu. Nggak ada pekerjaan di hari libur," ucap Naomi tidak mau kalah. "Jenna," bisik Ken kembali terdengar. Menatap Jenna dengan pandangan memohon. "Tanyain saya soal pekerjaan, cepat," desak Ken. Seolah dapat sinyal 5G, Jenna langsung meluncurkan ide cemerlangnya dengan senyum jahil. "Khem! Kalian mau kencan buta, ya?" tanya Jenna sengaja menggoda. Perempuan dengan rok pendek itu langsung menyahut, "Kamu siapa? Jangan ikut campur urusan kita." "Saya?" Jenna menunjuk dirinya sendiri. Matanya melirik ke arah Ken sekilas. Tersenyum miring di sana. "Saya pacarnya," ucap Jenna dengan wajah sangat meyakinkan. Mengabaikan usulan Ken barusan. Ken langsung melirik Jenna dengan pandangan penuh pertanyaan. Sedangkan perempuan yang masih krisis identitas itu tercengang di tempat. "Pacar?!" pekik pemilik rambut golden brown itu. Dengan cepat Jenna mengangguk-anggukan kepalanya. Tersenyum kepada Ken yang menatapnya sinis. "Kalian pacaran?" tanya Naomi kembali memastikan. Ia bahkan menatap Ken seolah meminta penjelasan. Jenna dengan santainya menjawab, "Sudah 1 tahun. Sekarang lagi hamil." "H-hamil?!" Naomi makin terkejut mendengarnya. Ken? Jangan tanya pria itu, jelas ia syok setengah mati. "Iya, 'kan, Sayang?" ujar Jenna bahkan merangkul lengan Ken dengan aktingnya. Naomi langsung menunjuk dengan wajah merah padam kepada pria di depannya. "Ken, bener-bener, ya, lo-" Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Ken sudah lebih dulu menarik tangan Jenna dan meninggalkan Naomi yang murka di belakang sana. "Ken! Gue bilangin Kakek lo!" teriak Naomi cukup kencang. Ingin rasanya Jenna tertawa terbahak-bahak. Bahkan, Naomi langsung mengubah panggilan dari 'Aku-Kamu' mejadi 'Lo-Gue'. Lelucon sekali. *parkiran perusahaan. "Bapak liat nggak ekspresi perempuan tadi?" Jenna tidak tahan untuk tidak tertawa. "Dia percaya kalau kita pacaran." Namun, merasa Ken diam saja, Jenna sontak menghentikan aksi tertawanya. Apakah ia salah bicara sampai ditatap seperti itu? "Kamu tau perempuan tadi siapa?" tanya Ken memandang Jenna penuh. Tentu ia menganggguk semangat. "Orang yang mau kencan sama Pak Kendrick. Tenang aja, Pak. Saya udah tau trik-trik kaya gitu. Biasanya karena Bapak nggak kunjung menikah, jadi dari pihak keluarga bantu cari calon istri untuk anak atau cucunya. Kaya yang lagi Bapak alamin sekarang." Jenna pun menambahkan, "Kalau saya nggak bilang kaya gitu, dia pasti masih ngejar-ngejar Pak Kendrick sampai parkiran. Jadi, ide saya sangat membantu bukan?" katanya dengan tingkat percaya diri yang tinggi. "Naomi. Perempuan itu sepupu saya, Jenna." Ken memejamkan mata saking kesalnya. Sepupu. Sekali lagi ia ulangi. Sepupu. Tubuh Jenna mendadak kaku sendiri. Bibirnya terbuka sedikit. Ia bahkan sampai menelan ludah sendiri saking terkejutnya. Mati sudah. Mulut sialan. Jenna langsung mengutuk bibirnya sendiri. Mau ditaruh di mana muka dia nanti jika bertemu lagi dengan Naomi? Hamil. Bodoh. Jenna bodoh. Kenapa harus pake segala hamil dibawa-bawa? Ah, menyusahkan! "Pak ... s-saya—" "Itu urusan kamu sama Naomi. Saya nggak mau ikut campur," potong Ken lebih dulu. Jenna langsung menahan lengan pria itu ketika hendak pergi. "Pak, tunggu. Kalau omongan saya tadi nyebar ke keluarga Bapak gimana?" Jujur saja, saat ini Jenna ketakutan sendiri. Ken melepas cekalan itu. Memandang Jenna sebentar dan menghembuskan napas kasar. "Itu tanggungjawab kamu," jawab Ken singkat. Lagipula, ia sudah menyuruh Jenna bahas soal pekerjaan, bukan mengarang cerita jadi pacarnya dan hamil. "Saya minta maaf. Saya nggak tau kalau itu sepupu, Bapak. Saya pikir Naomi itu maksa Pak Kendrick kencan. Tolong maafin saya, Pak." Pria itu merapikan dasinya yang sama sekali tidak berantakan itu. Mungkin, pikirannya yang justru acak-acakan? Cekrek! Tiba-tiba suara jepretan terdengar jelas di telinga dengan jarak yang tidak terlalu jauh, Jenna dan Ken refleks menoleh pada seseorang yang berdiri tegak dengan ponsel masih mengarah padanya. Itu, Naomi! Buru-buru Jenna bersembunyi di balik punggung pria itu. "Hapus," tekan Ken kepada Naomi di depan sana. Perempuan itu malah menatap sepupunya dengan tajam. "Nggak. Jangan harap lo lepas dari gue, ya!" "Saya bilang hapus, Naomi." Kalimat Ken tidak kalah tajam, sedangkan Jenna seperti ayam sayur di belakang. "Kalian berdua harus gue laporin ke Kakek! Bila perlu langsung dinikahin," ucap Naomi tidak ada takutnya. Perempuan itu mengotak-atik ponselnya dan menunjukan riwayat pesan kepada Ken, di mana pesan itu berisi foto tadi yang ia potret. "Mbak Naomi," lirih Jenna akhirnya keluar dari persembunyian. "Pesan itu bisa ditarik nggak? S-saya sama Pak Ken—" Kalimat itu langsung terputus ketika Ken memegang tangannya membuat Jenna melotot di tempat. "Saya sama Jenna secepatnya akan bertemu sama Kakek. Puas?" tanya Ken penuh penekanan. Mendengar itu Jenna sontak menatap tajam kepada sang atasan. Kalau begini yang ada makin rumit!—Di dalam mobil.Sepanjang perjalanan, mata Liam tidak berhenti melirik ke arah di mana Jenna duduk di bangku penumpang. Sesekali bibirnya tersenyum tipis."Kamu udah lama kerja di sana?" tanya Liam basa-basi. Jenna mengangguk pelan. "Lumayan. Sudah 2 tahun."Liam menoleh sebentar, kemudian kembali fokus ke depan. "Jenna ... soal masalah dulu, saya minta maaf, ya."Masalah yang Liam maksud adalah ketika pria itu menolak cinta Jenna. Entah bagaimana Liam masih ingat hal tersebut, padahal sudah lama sekali. Namun, meski sudah bertahun-tahun itu merupakan moment yang tidak akan pernah Jenna lupakan."Nggak apa, Mas. Itu cuma cerita lama. Nggak begitu berpengaruh juga," jawab Jenna tersenyum tipis. Sayangnya bukan itu yang Liam inginkan. Meski kala itu ia juga mencintai Jenna, tetapi hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Makanya Liam tidak pernah bicara yang sesungguhnya. Ia tidak ingin membuat Jenna makin berharap jika waktu itu ia juga mengutarakan isi hatinya."Laki-laki di cafe waktu
Beberapa hari pun berlalu."Teman-teman, itu ada makan siang dari Pak Ken. Bisa dimakan, ya." Karin memberitahu sebelum jam istirahat benar-benar tiba.Makan siang itu mulai dibagikan oleh kepala divisi masing-masing kepada meja kerja sang rekan. Semuanya terlihat tampak bahagia."Waduh, apa ini namanya berkah makan siang gratis?" kata Tasya menatap para rekan kerjanya.Dewi mengangguk setuju. "Lebih ke berkah di akhir bulan, si, Sya."Ken yang baru keluar dari ruangannya pun langsung mengulum senyum. Namun, pandangannya tidak lepas dari mata indah milik Jenna, kekasihnya sendiri."Terima kasih banyak, Pak," ucap para karyawan atas rasa hormat kepada sang atasan.Pria itu mengangguk lirih. Tidak lama langsung pergi dengan gaya cool-nya, diikuti Bagas—asistennya dari belakang. "Makan siang apaan ini semuanya bentuk love?" kaget Tasya usai Ken benar-benar pergi.Bukan hanya Tasya saja, yang lain juga ikut terkejut. Bahkan beberapa orang tercengang sendiri menatap isi box makanan terse
—Pukul 12 siang."Pokoknya kalian semua jangan berisik," ucap Tasya mewanti-wanti. Merrka sampai di rumah Jenna hendak menjenguk rekan kerja sekaligus sahabatnya. "Permisi," ucap Tasya di depan pintu rumah Jenna yang sedikit terbuka."Pintunya nggak dikunci," kata perempuan itu menoleh pada yang lain.Dewi kemudian ikut mengintip ke dalam. "Kok kayanya sepi, ya?""Coba masuk dulu, gimana?" Tasya meminta persetujuan. Yang memberi anggukan kepalanya hanya Dewi saja, sedangkan Henry dan Sakti berdiam diri bak patung. Tidak ada gunanya.Mereka pun memutuskan masuk ke dalam rumah Jenna secara bersamaan. Karena Tasya dan Dewi sering berkunjung ke rumah rekannya, mereka pun mengajak yang lain untuk melihat ke kamar Jenna, barangkali perempuan itu tengah istirahat di sana. "Halo, Jenna!" ujar Tasya penuh bersemangat mendorong pintu kamar tersebut yang sudah terbuka kecil.Ke empat manusia itu sontak terkejut setengah mati. Bahkan Tasya yang sudah tahu hubungan Jenna dan sang atasan pun ik
Keesokan paginya. "Semuanya udah beres, 'kan? Ada yang ketinggalan nggak?" tanya Rani repot di pagi menjelang siang karena Jenna sudah diperbolehkan pulang.Tiba-tiba Ken datang dengan napas terengah-engah. "Maaf saya terlambat. Tadi sempat ada kendala di jalan.""Nggak apa-apa, Nak Ken. Lagipula sudah ada Erica yang membantu," ucap Rani. Wanita itu memang sendiri di rumah sakit. Pagi-pagi Ridwan dan Zio sudah pulang sebab sang suami harus bekerja, sedangkan Zio masuk sekolah.Erica tersenyum simpul pada sang Kakak. Seolah memberi reaksi meledak karena dirinya berhasil bertemu dengan calon sang kakak ipar."Tante baru tau kalau Nak Ken punya adik dokter di sini," ujar Rani menoleh pada pria itu sebentar.Ken menatap horor sang adik. Sudah pasti si tengil itu memperkenalkan diri sebagai saudaranya. "Iya, Bu. Erica adik kedua saya. Yang terakhir Gina, dia masih SMP."Rani mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah Gina ... temennya Zio itu.""Wah, dunia sempit banget, ya." Erica langsung men
Rumah Sakit.Usai kejadian pingsan di toilet, saat ini Jenna tengah terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Sejak mendapat penanganan serius dari dokter hingga kini tangannya terpasang jari infus, perempuan itu belum juga membuka matanya.Sekarang sudah pukul 7 malam, tetapi Jenna masih setia menutup matanya dengan tenang. Ken yang sedari siang menemani sang kekasih pun rela membatalkan beberapa janji, juga menunda meeting karena saking khawatirnya pada perempuan yang kini terlihat lemah itu."Jenna," ucap Ken merasakan jari-jemarinya perempuan itu bergerak. Ia langsung memandang penuh perempuan itu dengan tangan tidak lepas dari genggaman. Mengusap lembut wajah kekasihnya. Tersenyum senang karena Jenna berhasil membuka matanya."H-haus," lirih Jenna sedikit terbata-bata.Buru-buru Ken mengambilkan air putih dan membantu Jenna duduk agar perempuan itu mudah untuk meneguk air bening tersebut. "Pusing nggak? Mau saya panggilkan dokter?" ujar Ken setelah menaruh kembali gelas itu.
Usai kejadian kencan kemarin. Saat ini hati Jenna sedang berbunga-bunga. Perempuan itu bahkan senyum-senyum sendiri di lorong kantor dengan tas di bahunya."Pagi Mbak Jenna," sapa beberapa karyawan yang lewat.Jenna membalas dengan senyuman. Melanjutkan jalan sampai ruang kerja. "Selamat pagi semua!" sapa perempuan itu dengan girang.Semua orang yang ada di ruangan pun kompak membalas, "Pagi." Dengan nada pelan dan kebingungan. "Kesambet apa lo?" tanya Sakti tepat di belakang Jenna.Ia pun menoleh dengan tatapan sinis. Merusak suasana saja. Kemudian melangkahkan kakinya menuju meja kerja."Jen ... kamu nggak salah minum obat, 'kan?" tanya Tasya memastikan."Ngadi-ngadi aja kamu," balas Jenna sedikit cuek.Sakti dari meja seberang sana menyahut, "Kerjaan lo banyak. Jangan seneng dulu.""Nggak ada yang ngomong sama kamu, ya, Sakti," dengus Jenna kesal."Gue si ngasih tau, ya. Dari pada lo nanti nangis karena banyak komplenan," balasnya.Tasya pun mencoba melerai, "Udah nggak usah dila