Share

Teror Rumah Warisan
Teror Rumah Warisan
Penulis: adi fadhil ibnu

Menempati rumah baru

“Kamu yakin ini rumahnya, Mas?” tanya Reyna pada Adit-suaminya-yang tengah susah payah membawa koper.

Pria berkulit putih itu pun menaruh koper di sampingnya, lalu mengambil secarik kertas yang berada di saku bajunya.

“Menurut alamatnya, sih bener, Dek. Nih, kamu liat aja!”

Reyna sedikit kesusahan saat meraih kertas yang disodorkan suaminya, sebab ia sedang menggendong putri semata wayangnya yang tertidur sejak di perjalanan. Setelah kertas itu berpindah ke tangan Reyna, ia pun mencocokkan alamat yang tertera di kertas dengan nomor yang ada di sisi kanan dekat pagar besi.

“Sama, Mas. Tapi, kok kayak sepi? Serem lagi!” seru Reyna sambil mengusap lengannya.

“Wajar sepi, kan emang udah lama kosong sejak kedua orang tua Mas meninggal. Lagi pula, menurut penjelasan Mas Aldi ada dua pekerja yang bertugas menjaga dan membersihkan rumah ini, ” jelas Adit sambil mengamati suasana rumah tersebut. “Tapi pada ke mana, ya? Sepi banget,” lanjut Adit sambil terus memencet bel yang berada di pojok kiri gerbang. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana.

Adit merasa lelah, sebab ia harus berjalan kaki dari depan kompleks sampai ke rumah itu. Ia dan sang istri memilih duduk di depan pintu gerbang untuk melepas penat. Sambil mengamati lingkungan sekitar, hanya terdapat lahan kosong yang dipenuhi rumput liar.

Mendapati rumah di blok paling ujung dan hanya tiga rumah dalam satu blok itu membuat Reyna merasa ragu. Ibu muda yang terbiasa hidup di kota besar dan lingkungan yang cukup ramai kini harus tinggal jauh dari hiruk pikuk suasana kota. Namun, ia tidak bisa menolak ataupun meminta rumah yang lain setelah mereka kehilangan semua harta yang dulu mereka miliki, membuat wanita yang berusia dua puluh tujuh tahun itu harus menerima dengan lapang dada.

Saat mereka tengah melamun, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Adit menoleh ke pintu gerbang yang catnya sudah mengelupas, tetapi tidak ada siapa pun di sana.

Ia kembali duduk di samping Reyna, tetapi kembali terdengar suara seseorang yang tengah terbatuk dari dalam rumah itu.

“Permisi! Apa ada orang di dalam?” Adit kembali berdiri sambil mengintip dari celah gerbang. Namun, lagi-lagi keheningan yang menyapanya.

Hingga sepasang suami istri itu sangat terkejut saat tiba-tiba ada seorang kakek-kakek sedang berdiri di belakangnya.

“Astagfirullah!” ucap Reyna dan Adit bersamaan.

“Kalian cari siapa?” tanya pria yang berpakaian serba hitam dan berambut putih itu.

Reyna merapatkan tubuhnya di belakang Adit, ia sangat ketakutan saat melihat mata kakek itu sangat tajam dan sedikit merah.

“Kami mencari penjaga rumah ini, Kek.” Adit menjawab dengan gugup.

“Memangnya kalian siapa dan dari mana?” Kakek itu kembali bertanya dengan suara serak.

“Saya anak Almarhum Pak Broto dan Bu Ajeng. Pemilik lama rumah ini,” sahut Adit.

Ajaibnya, setelah Adit menyebut nama mendiang orang tuanya, sikap dan ekspresi kakek tersebut berubah seketika.

“Owalah. Mari masuk, Den! Saya sudah menunggu dari tadi pagi. Mari, mari!” ucapnya seraya membukakan pintu gerbang dan membantu membawakan koper dan tas milik Adit.

Adit dan Reyna merasa heran, mereka saling menatap dengan ekspresi bingung. Namun, kebingungan mereka haus terhenti saat Kakek itu memanggil.

“Ayok, masuk! sebentar lagi Magrib. Sandekala untuk anak kecil yang masih ada di luar saat akan memasuki waktu Magrib.”

Mereka pun mengikuti langkah Kakek tersebut. Angin menerpa wajah Reyna saat ia baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah itu. Seketika bulu kuduknya meremang seiring embusan angin yang membuat rambutnya terayun mengikuti tiupan angin.

Langkah kaki tiga orang, tetapi terdengar seperti banyak kaki yang turut berjalan menuju rumah itu.

Reyna menarik lengan Adit dan berbisik, “Mas, kayak ada yang ngikutin kita, ya?”

Adit pun terdiam sesaat, lalu ia berjalan dua langkah dan diikuti oleh Reyna.

“Bukan ada yang ngikutin, Sayang. Tapi, daun kering yang kita injak ini membuat suara kriuk kayak kerupuk.” Adit menyentuh lembut kepala Reyna sambil mengulum bibir menahan tawa.

***

Rumah dua lantai yang terlihat mewah dan megah. Meski dari depan terlihat seperti tak terurus, tetapi interior di dalamnya sangat terawat dan bersih. Reyna sampai terkagum-kagum melihat isi rumah itu, tetapi ia merasa ada hal lain saat memasuki pekarangan rumah ini. Meski sang suami menganggap feelingnya itu adalah lelucon.

"Selamat datang di rumah ini! Perkenalkan saya Pak Kasmo, bertugas sebagai keamanan di rumah ini. Untuk kebersihan ada Mbok Sundari, kebetulan dia istri saya,” tutur Kakek yang gemar memakai kupluk abu-abu itu sembari memperkenalkan wanita yang memakai kebaya serta kain jarik sebagai bawahan.

Wanita itu datang membawakan dua cangkir minuman serta dua stoples camilan, lalu meletakkannya di atas meja.

“Silakan di minum tehnya!” ucap wanita itu.

“Terima kasih, Mbok Sundari,” sahut Adit.

“Panggil saya Mbok Sun saja, Den.” Mbok Sun tersenyum ramah.

Melihat Reyna yang sudah kelelahan, Mbok Sun mengajak wanita muda itu serta anaknya untuk beristirahat.

“Terima kasih, Mbok. Aku nunggu Mas Adit saja, biar sama-sama.” Reyna merasa takut jika berjauhan dengan sang suami.

“Sudah kamu istirahat saja di kamar, Dek. kasihan Anindita, mungkin badannya sudah lelah di gendong terus.” Bukannya mengerti keinginan sang istri, justru Adit malah menyuruhnya ke kamar.

Dengan wajah murung, Reyna pun terpaksa mengikuti Mbok Sun ke kamar yang berada di lantai dua rumah itu.

selama menaiki tangga, Reyna banyak bertanya pada Mbok Sun. mulai dari pertanyaan tentang rumah hingga tentang kehidupan wanita paruh baya itu.

“Mbok udah punya anak?” tanya Reyna saat ia sudah berada di dalam kamar yang tak jauh dari tangga.

“Sudah.”

“Berapa, Mbok?”

“Satu.”

“Oh.” Reyna berhenti saat pandangannya tertuju pada lukisan berukuran besar yang terpajang di atas kepala ranjang.

Setelah menaruh sang putri di atas kasur yang beralaskan seprai putih, Reyna kembali mengamati tiap inci lukisan yang menurutnya sangat aneh.

Reyna merasa, mata wanita di dalam lukisan itu menyiratkan kesedihan yang teramat dalam. Perlahan Reyna makin mendekat, refleks tangannya terulur menyentuh lukisan itu, hingga ia kembali terkejut saat melihat cairan merah seperti darah mengalir dari mata wanita yang berada di dalam lukisan.

Reyna seketika menjerit histeris dan berbalik untuk meminta bantuan pada Mbok Sun. Namun, lagi-lagi ia terkejut saat ruangan itu sepi. Pintu yang semula terbuka kini tertutup, bahkan terkunci dari luar.

“Tolong aku!”

Jantung Reyna kian berdegup cepat saat mendengar suara yang seseorang meminta tolong dengan suara yang sangat menyayat hati. Ia pun memberanikan diri membalikkan tubuhnya, tetapi sosok wanita dengan wajah penuh luka sayatan tengah berdiri di hadapan ibu muda itu. Napasnya kian sesak, pandangan pun perlahan mengabur dan gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status