Share

hantu yang mulai jahil

Pria berbadan kurus itu berjalan cepat menuruni tangga menuju ruang tamu. Ia segera meraih cangkir dan meneguk kopi yang sudah dingin, berharap hati yang panas bisa dingin kembali. Namun nyatanya, setelah minuman berwarna hitam itu tandas, hatinya tetap bergejolak menahan emosi. Aldi duduk di sebelah kanan adiknya itu pun meminum kopi tersebut. Menarik napas panjang agar ia pun tak ikut emosi dengan tingkah absurd adik iparnya itu.

Mata elang itu menatap tajam pada wanita yang memakai dress berwarna krem, yang berdiri di ujung tangga dengan tubuh gemetar. Adit menyandarkan bahunya di sofa seraya memejamkan matanya.

“Sepertinya Reyna sudah membaik, aku akan pulang sekarang,” ucap Aldi memecah keheningan di ruangan itu.

“Sudah mau Magrib, Kak. Enggak sebaiknya menginap saja di sini?” Adit menoleh ke arah kakaknya masih dengan posisi bersandar.

“Besok aku ada meeting dengan klien penting, jadi tidak bis ditunda. Sebaiknya kau bawa Reyna istirahat! Kasihan dia sangat ketakutan. Aku permisi, ya.”

Adit hanya mengangguk sebagai jawaban, saat Aldo menepuk bahu pria itu dua kali dan berlalu ke luar rumah menuju teras. Aldi yang masih syok dengan pengakuan Reyna memilih ingin segera pergi dari rumah itu, hingga ia melupakan Siska yang belum ikut pulang bersamanya.

Reyna mencoba mendekati sang suami yang sedang memejamkan matanya sambil bersandar. Adit terlihat lelah, bukan karena lelah menjaga Reyna, tetapi lelah dengan keadaannya yang sekarang. Pria itu merasa gagal menjadi kepala keluarga, ia gagal membahagiakan Reyna dan Anindita. Hingga ia harus kembali ke rumah milik mendiang orang tuanya.

“Maafin aku, Mas!” lirih Reyna saat ia sudah duduk di samping Adit.

Perlahan tangannya menyentuh bahu sang suami, tetapi Adit melerai tangan Reyna. Hati wanita itu kian sesak mendapat penolakan dari Adit. Terlebih Adit kini memarahinya, pria itu meluapkan semua amarah dan emosi yang sedari tadi ditahan.

Reyna kian terisak, tubuhnya gemetar hebat seiring suara Adit yang menggema di ruangan tersebut. Tubuh Reyna kian gemetar saat ia melihat sesosok makhluk wanita bergaun putih yang berdiri di pojok dekat pajangan guci. Mata putih tanpa pupil, wajah pucat, serta bibirnya yang menyeringai hingga memperlihatkan deretan giginya yang hitam.

“Kamu dengerin aku ngomong, nggak, sih?” Adit kian emosi saat Reyna terus berusaha memeluknya.

“Ak-aku takut, Mas,” ucap Reyna sambil terisak.

Adit yang merasa tubuh Reyna sangat gemetar, tangannya pun dingin meski wajahnya dipenuh dengan keringat. Ia membalas pelukan sang istri, hatinya kembali berdesir saat merasakan degup jantung Reyna yang berdebar kencang.

“Kamu lihat apa?” tanya Adit dengan suara pelan sambil mengusap punggung Reyna.

“Hantu wanita itu, dia ada di pojok dekat guci. Wajahnya sangat serem, Mas.”

Adit hendak menoleh ke arah yang Reyna sebut, tetapi eratnya dekapan Reyna membuat ia tidak bisa berbalik. Ia pun memilih untuk menenangkan hati sang istri, biarlah makhluk itu pergi dengan sendirinya jika ia terus diacuhkan pasti ia akan lelah dan pergi. Bukan begitu? Entahlah.

Beberapa saat mereka nyaman dan tenang dalam dekapan, tiba-tiba terdengar suara gamelan dari arah belakang. Adit dan Reyna melepas pelukan dan saling tatap, mengisyaratkan apa ia juga mendengar alunan musik tradisional dari Jawa Tengah itu.

“Mas dengar juga?” Adit mengangguk membuat Reyna makin merapatkan tubuh rampingnya pada sang suami.

Adit memutuskan untuk mencari dari mana asal suara itu, sebab yang ia tahu jika kedua rumah yang ada di sisi kanan dan kiri itu tidak ada penghuninya. Jadi sangat mustahil jika ada yang mengadakan acara di sekitar sini.

“Mas, tunggu aku! Aku ikut!” Reyna sedikit berlari mengejar Adit yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.

Mereka melewati dapur, di sana kosong. Lalu, Adit mantap melangkah ke arah pintu kamar yang ada di ujung lorong dapur. Suara itu kian terdengar jelas seiring langkah kaki yang kian berat. Adit makin penasaran, sedangkan Reyna makin ketakutan saat ia merasakan kehadiran sosok kuntilanak yang ada di belakangnya tengah melayang pelan seakan-akan ikut mengintai.

Langkah Adit berhenti tepat di depan pintu kamat yang tak terlalu luas, ia menempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah yakin ia memutar hendel pintu, tetapi sayang terkunci. Hingga ia menyuruh Reyna mundur karena ia akan mendobrak pintu tersebut.

“Aku akan dobrak pintu ini, Rey. Aku curiga dengan kamar ini. Kamu hitung sampai tiga lalu aku akan tendang pintu ini, oke!” Reyna mengangguk dan mulai menghitung. Namun, belum sampai hitungan ketiga pintu itu terbuka dengan sendirinya membuat Adit dan Reyna ketakutan dan berlari tak tentu arah.

“Mereka kenapa?”

Mbok Sun menatap Anindita yang terlihat bingung saat melihat kedua orang tuanya berlari sambil berteriak.

“Mamah!” seru Anin, membuat Adit dan Reyna yang belum terlalu jauh berhenti seketika.

Gadis kecil yang berusia empat tahun itu berlari menghampiri Reyna, dipeluk kaki sang ibu dengan begitu erat.

“Mamah sudah sembuh? Anin kangen, Mamah,” ucap gadis kecil yang diikat dua itu.

Hawa takut yang semula menggebu kini berubah menjadi rasa haru. Perlahan Reyna dan Adit membalikkan badan, terlihat wajah polos nan lugu Anin yang sedang memeluk boneka teddy bear kesayangannya.

Direngkuhnya tubuh sang buah hati penuh rasa sayang. Sementara Adit berdiri mematung seraya menatap wajah Mbok Sun yang terlihat sangat pucat. Sesekali ia melirik ke bawah, untuk memastikan kaki wanita itu menapak atau tidak. Namun sayang, ia tidak bisa melihatnya karena kain yang Mbok Sun pakai sangat panjang hingga menutupi kakinya.

***

Kicau burung terdengar saling bersahutan di atas dahan pohon rambutan. Sinar mentari pagi pun sudah terlihat, hingga sinarnya menembus dinding kaca jendela kamar Reyna dan Adit. Perlahan sepasang mata bulat itu mengerjap saat terkena pantulan cahaya. Reyna memegangi kepala yang terasa berat, memijat sebentar pelipisnya sebentar sebelum ia beranjak menjalani rutinitas sebagai seorang istri sekaligus ibu.

Wanita itu meraih handuk yang tergantung di dalam lemari, ia un bergegas masuk ke kamar mandi. Kebiasaan Reyna harus melihat cermin besar yang ada di kamar mandi dan membasuh wajahnya menggunakan sabun khusus.

Saat membilas wajahnya dari busa, ia sekilas melihat seperti ada seseorang di belakangnya. Reyna membilas gelagapan saat telah membasuh air ke wajahnya, hingga ia hampir kehabisan napas. Namun, setelah busa sudah bersih dari wajahnya, ia kembali sesak napas yang bersamaan dengan serangan jantung.

Bagaimana tidak, sosok hantu wanita itu kini berada di dalam kamar mandi miliknya. Tubuh bergetar hebat saat matanya menatap ke arahku agar mundur.

“Kamu ngapaian ada di sini? Pergi sana!” Reyna berteriak sambil memukuli cermin.

Sosok itu kini menghilang, seiring suara tawa yang begitu melengking memenuhi ruangan. Hingga saat bersamaan, ia pun merasa tengah diawasi oleh makhluk itu dari jauh. Selama membersihkan tubuhnya, Reyna enggan menoleh ke cermin.

Jika biasanya Reyna akan menghabiskan waktu yang lama untuk sekadar mandi, kini ia hanya menghabiskan kurang dari setengah jam ia sudah menyelesaikan kegiatan mandinya. Wanita yang masih memakai handuk yang dililitkan di depan dadanya itu sampai tak sadar jika sang suami sudah terbangun.

Dengan tangan gemetar Reyna mengambil baju sekenanya, tanpa memilih warna dan model.

“Tolong aku!” suara tanpa wujud kini kembali terdengar membuat Reyna kian gemetar.

“Kamu kenapa, Rey?” suara Adit yang sedikit serak membuat wanita berbadan ramping itu sangat terkejut untuk yang kedua kalinya.

“Astaga, Mas! Kalau ngomong, tuh bilang dulu. Bikin kaget aja, deh.” Reyna menggerutu sambil memegangi dadanya.

“Ya, maaf! Abisnya dari tadi kamu aku perhatiin kelihatan gelisah banget.”

“Makhluk itu kembali ganggu aku, Mas. Hantu itu ada di kamar mandi tadi pas aku lagi mandi.”

“Hah? Mungkin dia mau mandi juga, Sayang. Kenapa nggak kamu ajak mandi bareng aja, biar rambutnya itu bagus kayak iklan shampo. Bisa-bisa dia nanti jadi duta shampo.

“Iya, sampo para demit.” Reyna menimpali ucapan Adit, membuat sang suami tak kuasa menahan gelak tawa. Tanpa mereka sadari tawa itu menyambar pada sosok yang tengah berdiri memperhatikan mereka dari balik lukisan.

***

“Anin sayang, kemarin kamu main apa saja dengan Mbok Sun.”

Reyna bertanya pada sang buah hati, saat ini mereka tengah berada di ruang khusus bermain di lantai bawah. sementara Adit berpamitan keluar untuk mencari pekerjaan. Gadis berpipi chuby itu terdiam sejenak sambil menatap ke atas seperti berpikir.

“Anin main masak-masakan, Mah. Main dokter-dokteran juga,” celoteh gadis kecil itu dengan wajah penuh binar.

Dalam hati, Reyna merasa lega kalau Mbok Sun benar-benar merawat Anindita. Ia pun ikut terhanyut menemani sang buah hati bermain, hingga celoteh Anindita kembali terdengar sangat janggal.

“Tante, tolong ambilkan mainan itu. Terima kasih, tante cantik.”

Deg! Jantung Reyna kembali berdegup sangat kencang. Anin berbicara dengan siapa? Mengapa dia memanggilnya tante cantik? Apa mungkin makhluk itu bisa berubah wujud di depan anak kecil. Berbagai tanya bercokol di dalam benak Reyna.

Sesaat ia menatap Anin yang terlihat antusias bermain boneka barbie, tetapi ia semakin menajamkan penglihatan saat sepintas hantu wanita itu tengah duduk bersama sang buah hati yang sedang bermain boneka.

“An-Anin, ikut Mamah ke luar, yuk! Mamah haus,” ajak Reyna pada gadis kecilnya itu. Namun, bukannya mendapat jawaban dari sang anak, justru Reyna mendapat tatapan tajam dari makhluk yang gemar tertawa itu.

Mata dengan pupil putih semua tengah menyorotnya tajam, seakan-akan mengisyaratkan untuk diam dan tetap di sini. Reyna membuang pandangan ke lain arah, ia tak kuasa menatap lama wajah seram hantu wanita itu.

Merasa makin tak sanggup, ia melangkah perlahan keluar dari ruangan itu. Berjalan mundur, takut jika makhluk seram itu malah mengikutinya. Namun, baru saja ia menapakkan kaki di luar pintu, sebuah tepukan di bahu membuat jantungnya kian bertalu-talu.

“Am-ampun! Aku mohon jangan ganggu aku dan juga anakku. Memangnya apa salahku sampai kamu terus mengganggu kami di rumah ini?” Reyna berkata dengan mata tertutup serta tangan yang menangkup di dada.

“Non Reyna kenapa?”

Seketika Reyna membuka mata dan berbalik untuk memastikan seseorang yang sangat ia kenal suaranya.

“Mbok Sun? Bikin kaget aja, deh,” imbuh Reyna seraya mengusap dadanya. Namun, bukannya menjawab wanita yang berusia setengah abad itu malah tersenyum penuh arti, membuat Reyna bergidik ngeri.

“Ya, Tuhan. Cobaan apalagi ini?” batin Reyna meratap pilu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status