"Tidak. Hari ini kita akan mati bersama. Aku tidak sanggup melihatmu bersama pria lain." "A-pa?" pekik Renjana kaget. "Kamu ngomong apa sih, Mas? Pria lain, maksudmu siapa?" Ammar tak menjawab, matanya fokus ke jalanan di depannya. Pedal gas ditekannya pedal gas lebih dalam. Mobil pun melaju lebih cepat lagi Seketika Renjana menjerit. "Mas..... Kumohon berhenti...." Sesekali Renjana memjamkan matanya, saat mobil hampir menyenggol kendaraan lain. Lalu lintas sore sedang padat orang pulang kerja. Renjana menarik nafas panjang, berusaha untuk tenang. Berpikir apa yang mungkin membuat Ammar marah. Namun mungkin karena panik, otaknya tak bisa menemukan satu saja alasan. "Ya Alloh.... Mas, ingat Ayu... Kalau kita mati bagaimana Ayu? Dia masih butuh kamu, Papanya. Juga aku, Mamanya." Saat genting yang ada dibenaknya hanya putrinya. Ammar terkesiap, wajah sang putri langsung membayang di matanya. "Ayu," gumamnya pelan. "Iya Mas, ingat Ayu. Dia masih membutuhkan kita," kata
"---.Aku dan Raline sedang menjalin hubungan," sahut Samudra. Renjana terkejut, matanya membola seakan tak percaya. "Doakan kami supaya hubungan kami bisa sampai akad nikah?" pinta Raline dengan senyum manis. Renjana bergeming, hanya memandangi dua sejoli yang saling bertukar senyum di depannya itu dengan dahi berkerut. Sehebat itukah pesona seorang Raline? Bahkan Samudra yang dulu membencinya bisa diaklukkannya. "Kamu mengenal mereka?" Kendra berbisik sambil memegangi lengan Renjana. "Iya," jawab Renjana. "Dulu, kami satu kampus," "Oh....," Kendra mengangguk. Pandangannya tak lepas dari wajah Samudra yang menurutnya tak asing. "Siapa dia, Ana?" tanya Samudra menunjuk Kendra. "Teman Kak Gio," jawab Renjana sengaja menyebut nama kakaknya. "Ana, kamu nggak mau doain kami?" Raline meraih tangan Samudra dan menggenggamnya erat. "Ya, semoga hubungan kalian membawa kebaikan," ucap Renjana dengan ekspresi datar. Senyum di wajah Raline seketika lenyap. "Maks
Setelah menyelesaikan pekerjaan sore ini Ammar datang ke rumah Renjana. Menjelaskannya pada mantan istrinya itu bahwa dirinya sudah mengambil tindakan atas perbuatan Raline. Pria itu juga ingin bertemu sang buah hati. Rindunya sudah menumpuk dan tidak bisa ditahan lagi. Namun sayang, gadis kecil itu menolak beetemu papanya. Begitu melihat kedatangan Ammar, Ayu langsung berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari dalam. "Maaf ya, Mas. Ayu nggak mau ketemu kamu. Mungkin dia masih kesal. Maklum anak kecil," ucap Renjana merasa tak enak hati pada pria yang ada di depannya. "Tak perlu minta maaf, aku bisa memakluminya." Meski kecewa, Ammar menarik kedua sudut bibirnya melengkung. "Sifat Ayu agak kaku, kalau marah lama luluhnya. Tapi, nanti aku akan coba bicara sama dia." "Iya, tapi kamu bicaranya pelan-pelan saja. Jangan memarahinya." Selayaknya orang tua, Ammar terlalu sayang pada putri semata wayangnya itu sampai tidak rela ada yang memarahi apalagi membuatnya
"Nona Raline," Dua orang pria sudah berdiri di depan pintu saat Raline baru saja keluar dari butik tempatnya bekerja. Ya, sejak putus dari Ammar empat tahun lalu, perlahan karir desainer wanita itu meredup. Kuliahnya pun terhenti karena terkendala biaya. Dengan terpaksa wanita itu bekerja di sebuah butik di salah satu mall untuk bertahan hidup. Wanita bertubuh semampai itu memandang dua sosok pria berpakaian serba hitam dengan tatapan curiga. "Kalian siapa?" tanyanya. "Kami orang suruhan Tuan Ammar," aku salah satu pria. "Beliau meminta kami untuk menjemput Nona." Salah satu orang itu mempersilahkan Raline untuk berjalan lebih dulu. Sebuah senyum tipis muncul dibibir wanita berparas cantik Itu. Lalu, sambil mengangkat dagu mulai melangkah menuju pintu keluar mall. "Dimana mobilnya?" tanya Raline sesaat setelah sampai di depan mall. Tak lama sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan mereka. "Silahkan," ucap pria berwajah garang sambil membukakan pintu mobil
"Ana plis, aku tidak akan aku bisa menahan diri kalau Samudra ikut campur. Kita harusnya punya privasi untuk masalah kita. Jangan biarkan ada orang ketiga diantara kita," ucap Ammar. "Aku tahu." Renjana memilirik Ammar sinis. Dirinya juga tidak ingin mengumbar masalahnya. Meski enggan wanita itu pun masuk ke dalam mobil. Apa yang dikatakan mantan suaminya itu benar. Mengingat sifat Samudra, adik kandung Ammar itu pasti akan ikut campur. Tepat setelah Ammar menyalakan mesin, Samudra sampai. Pria itu berusaha membuka pintu mobil namun tak bisa. "Ammar hentikan mobilnya!" teriakmya namun tak dihiraukan oleh Ammar. Mobil pun melaju meninggalkan pelataran kantor. Sepuluh menit berlalu dan dua orang itu masih setia dalam diam. "Ini mau kemana?" tanya Renjana menoleh keluar jendela. Jalanan itu bukan menuju rumahnya. "Ke rumah lama kita," jawab Ammar menoleh sebentar lalu kembali fokus pada jalanan. "Kenapa ke sana?" "Untuk bicara. Kita butuh tempat yang private," "
Sesampainya di rumah Renjana langsung menyerahkan Ayu pada pengasuhnya. "Sama suster dulu, ya Sayang. Mama harus balik ke sekolah," ucapnya yang hanya dijawab anggukan kecil dari sang anak. Sebelum pergi Renjana berpesan pada security rumah untuk tidak menerima tamu. Meski pikiran dan hatinya sedang dipenuhi amarah namun Renjana tetap bersikap profesional dan kembali ke sekolah untuk menunaikan kewajibannya. Wanita yang tak perlu diragukan kesabarannya itu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bibirnya masih bisa tersenyum meski di dalam dadanya sudah dipenuhi amarah yang siap meledak. Tepat pukul dua siang, jam mengajarnya telah usai. Wanita itu pun meminta izin untuk pulang lebih awal dari jam pulang guru yang seharusnya. "Ada hal mendesak yang harus saya lakukan," ucapnya menyesal. "Nggak papa, kalau memang ada keperluan silahkan pulang lebih awal. Toh jam ngajar Bu Renjana sudah selesai," kata Amira mempersilahkan. Selesai membereskan meja kerjanya, Renjana bergeg