"Kamu itu seorang dokter, tugasmu menyelamatkan orang. Bukan malah mencelakai orang, apalagi yang kamu celakai keponakanmu sendiri, dimana hati nuranimu?" omel Rosa saat datang menjenguk Samudra di kantor polisi. Sejak setengah jam yang lalu wanita itu menangis sambil memarahi putra keduanya itu. Air matanya tidak henti-hentinya membasahi wajah mulusnya yang masih terlihat kencang. Di sisinya Maliq menatap tajam Samudra, kecewa juga marah membuat pria itu enggan berbicara dan memilih diam. "Sampai hari ini Mama masih merasa bersalah dengan perbuatan Ammar di masalalu dan kamu malah mencelakai putrinya. Rasanya Mama sudah tidak punya muka ketemu mereka," sentaknya memukul lengan Samudra untuk melampiaskan kekesalannya. Dan reaksi Samudra hanya diam, sesekali menghela nafas panjang menunjukkan rasa jengah dan lelah yang menderanya. Bagaimana pria itu tidak. lelah, setiap kali datang ibunya itu selalu mengomel dan menuduhnya melaksanakan hal yang tidak dilakukannya. "Mama t
"......Apa??" pekik Renjana yang membuat semua ornag ikut kaget. "Ada Apa?" tanya Akmal. "Mbak Syaira meninggal," jawab Renjana. "Innalillahi...... " ucap semua orang dengan suara lirih. Ammar segera bangkit dan memanggil baby suster anaknya. Tak lupa mengambil kunci mobil. "Ayu sama suster dulu ya," ucap Ammar mencium puncak kepala putrinya. Setelahnya segera keluar lebih dulu untuk menyiapkan mobil. "Bunda di rumah aja, tolong jaga Ayu." "Iya, kalian segera ke rumah sakit. Kasihan Gio," ujar Laela. Akmal dan Renjana segera menyusul setelah mengambil jaket. Di luar mobil sudah me yala dengan Ammar duduk di kursi kemudi. Setelah Akmal dan Renjana masuk mobil pun melaju cepat menuju rumah sakit. "Gio," panggil Akmal pada putranya yang duduk seorang diri di kurai tunggu. "Jenazah Mbak Syaira sedang dimandikan," ucap Gio dengan tataan kosong dan ekspresi lelah. "Yang sabar," ucap Akmal menepuk pundak putra sulungnya. Tanpa bicara Renjana langsung memeluk Gio,
"Pah, lakukan apapun yang Papa mau. Tapi tolong penuhi permintaan terakhir Mbak Syaira," Akmal menatap putranya itu tajam. "Apa itu artinya kamu rela melepas nama Rahardian demi Syaira?" Gio menghela nafas panjang, ditatapnya netra pekat sang Papa. "Aku rela menyerahkan semua hakku sebagai pewaris pada Ana. Sama sepertimu, aku juga mencintai keluarga ini, menyayangi Ana dan Ayu lebih dari siapapun. Jadi, tolong jangan menjadikanku orang asing," Wajah tampan itu terlihat frustasi dan putus asa membuat Akmal tidak tega. Pria itu pun membuang muka. Kemarin Renjana juga membujuknya namun tak berhasil dan demi apapun kali ini pun Akmal tidak ingin luluh oleh bujukan Gio. "Demi Tuhan Pa, aku sangat menyayangi Ana. Aku juga sudah menganggap Ayu sebagai putriku sendiri," ucap Gio lagi. Akmal tahu itu. Dan semua orang juga bisa melihat sesayang apa Gio pada Renjana. Bahkan pria itu sampai nekat mencoba membun*h Ammar demi agar Renjana hidup tenang bersama putrinya. Tak hany
"Semalam Ana sudah berusaha membujuk Papa Akmal. Tapi, beliau sudah kekeh dengan keputusannya. Hanya jika kamu memutuskan hubungan dengan keluarga Rahardian, beliau bersedia datang menemui Mbak Syaira." Tidak ingin Gio salah faham, Ammar berusaha memberi pengertian. "Kamu jangan salah faham dengan sikap Papamu. Beliau hanya ingin kamu juga menempatkan diri sebagai kakaknya Ana." Tambah Ammar. Sebelum pergi pira itu juga memberikan sebuah undangan pada Gio. Pesta ulang tahun putrinya yang akan diadakan minggu depan. "Kalau ada waktu, datanglah ke pesta ulang tahun Ayu. Setiap hari Ayu menanyakanmu," Gio memejamkan matanya, sudah satu jam. lebih Ammar dan Renjana pergi, tapi ucapan adik iparnya masih terus terngiang. Helaan nafas pria itu terdengar berat dan dalam, matanya terbuka, menatap kearah jendela ruang ICU yang tertutup gorden berwarna biru. "Cepatlah sadar Mbak... Aku sangat merindukan keponakanku," gumamnya lirih saat tiba-tiba wajah polos sang keponakan terlintas d
Minggu pagi di rumah kediaman Fahrezi. Setelah sarapan pagi, Akmal menemani sang cucu bermain sepeda di halaman depan. Pria paruh baya itu terlihat menyesap secangkir kopi sambil sesekali mengawasi sang cucu. Di sebelahnya nampak Laela duduk di atas kursi rodanya. Sam dengan Akmal, tatapan wanita itu juga tertuju pada sosok bocah yang beberapa kali melambaikan tangannya. "Oma,.... Eyang.... " panggil Dahayu sambil mengayuh pedal sepedanya. Bocah perempuan itu tertawa dengan ceria sampai terlihat gigi-gigi putihnya. "Hati-hati, pelan-pelan sayang.....," ucap Laela, terlihat sedikit khawatir. "Sus, awas jatuh..." tambahnya pada pengasuh yang menjaga Dahayu. "Terima kasih,, sudah menyayangi Ayu seperti cucumu sendiri," ucap Akmal tiba-tiba. Laela mengerutkan dahinya. "Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?" tanya curiga. "Apa Mas Akmal ingin memintaku pergi?" Akmal langsung kaget melihat respon Leala. "Apa ada yang salah dengan ucapan terima kasih? Aku hanya merasa bersyu
Brakk!!! Tiba-tiba pintu terbuka paksa dari luar membuat semua orang mengarahkan tatapan ke arah pintu. Derap langkah terdengar, tiga pria berbadan tegap dengan pakaian preman masuk dan diikuti dua security dibelakangnya. Dengan sigap Ammar menggeser tubuh istrinya ke belakang tubuhnya. Tangan merentang bersiao melindungi sang istri.. Sementara itu Maliq bergegas maju. "Kalian siapa?" tanyanya. "Kami dari kepolisian," jawab salah satu pria sambil menunjukkan tanda pengenalnya. "Dengan saudara Samudra?" lanjut pak polisi memandang ke arah Samudra. Meski sedikit bingung namun Samudra tetap menganggukkan kepala. "Iya. Saya sendiri," jawabnya. Segera setelah Samudra menjawab dua orang pria langsung bergerak cepat memegangi tangan Samudra. "Apa-apan ini?" teriak Samudra berusaha melepaskan diri. "Mas, kenapa ada polisi?" bisik Renjana sambil memegangi tangan Ammar. Ammar tak menjawab, hanya berusaha meneng sang istri dengan menepuk-nepuk tangannya pelan. Tak tin