Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

Share

Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova
Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova
Author: Rizki Adinda

Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-03 11:16:20

TIN!

Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus.

Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.

Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.

Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan.

Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.

Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.

Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu.

Sudah hampir pukul delapan malam. Satu jam lagi, dia harus sampai di pekerjaannya yang kedua.

Amara baru saja keluar dari sift sore di minimarket dekat kantor-kantor perkantoran Sudirman. Bekerja sebagai kasir di sana tidak mudah—senyum yang harus tetap dipasang meskipun tubuh sudah lelah, pelanggan yang terkadang kurang sabar, dan supervisor yang gemar mengomel soal stok barang.

Tapi dia tak punya pilihan. Gajinya dari minimarket itu adalah salah satu dari dua sumber penghasilan yang membuatnya bisa bertahan hidup di kota ini.

Setelah menyusuri jalan sempit menuju halte, dia berhenti di depan sebuah warung kopi kecil di sudut Blok M. Gerobak kopi sederhana itu tampak usang, dengan beberapa termos besar berjejer rapi di atas meja kayu.

Seorang pria tua, dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih dan kaos lusuh, berdiri di belakangnya, menuangkan kopi hitam ke dalam gelas plastik.

"Hitam tanpa gula," kata Amara, menyerahkan beberapa lembar uang ribuan yang sudah terlipat-lipat di sakunya.

Pria itu mengangguk tanpa bicara, lalu menyerahkan gelas kopi yang masih mengepul. Amara menerimanya dengan kedua tangan, merasakan kehangatan yang menyusup ke jari-jarinya yang dingin.

Dia meniup permukaan cairan hitam itu sebelum menyesapnya perlahan. Pahitnya menyebar di lidahnya, tapi dia menyukainya—pahit, seperti hidup yang dijalaninya.

Pikirannya melayang sejenak. Lima tahun sudah dia hidup sendiri, berjuang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain hanya untuk memastikan dirinya tidak kelaparan atau diusir dari apartemen kecil yang disewanya.

Drrt!

Tiba-tiba saja, ponsel Amara bergetar di saku celana. Dengan satu tangan masih menggenggam kopi, dia menarik ponselnya dan membaca pesan yang masuk.

"Sewa bulan ini belum masuk. Jangan telat lagi, Mar."

Pesan dari pemilik kontrakan.

"Hah...." Amara mengembuskan napas panjang, tangannya tanpa sadar meremas gelas plastik yang dipegangnya. Dia tahu ini akan terjadi. Uang sewa yang terus naik setiap tahun, sementara gajinya tetap, membuatnya harus bekerja lebih keras hanya untuk bisa tetap memiliki atap di atas kepalanya.

Dia menutup pesan itu tanpa membalas, lalu membuang gelas plastik kosongnya ke tempat sampah di samping warung kopi. Tidak ada gunanya mengeluh. Dia sudah lelah mengeluh.

Apartemen kecilnya berada di lantai lima sebuah bangunan tua di daerah Tebet. Bangunan itu tak memiliki lift, dan tangga sempitnya sudah seperti jalur latihan bagi kakinya setiap hari.

Cat dindingnya mulai mengelupas, dan bau lembap bercampur dengan aroma makanan dari kamar-kamar lain yang penghuninya mungkin juga sedang berjuang dengan cara mereka sendiri.

Ketika akhirnya tiba di depan pintu apartemennya, Amara merogoh tasnya untuk mencari kunci. Begitu pintu terbuka, dia disambut dengan ruangan sempit yang hanya diterangi cahaya redup dari bohlam gantung.

Ruangan itu sesak. Satu kasur tanpa ranjang terhampar di sudut, dengan selimut tipis yang tampak belum dirapikan. Di sebelahnya, rak kecil berisi beberapa buku yang sudah mulai usang, salah satunya adalah buku ekonomi yang selalu dia baca berulang-ulang meskipun sebagian halamannya sudah mulai lepas.

Amara melempar tasnya ke sudut ruangan, lalu berjalan ke dapur kecil di pojok, hanya untuk memastikan bahwa lemari makanannya masih sepi seperti terakhir kali dia mengeceknya. Hanya ada satu bungkus mi instan dan sebotol air mineral setengah penuh.

Dia menghela napas, lalu meraih satu-satunya kursi di ruangan itu dan duduk. Kakinya terasa lelah, tapi kepalanya lebih lelah lagi. Ada terlalu banyak hal yang harus dipikirkan, terlalu banyak tanggung jawab yang harus dipikul.

Tangannya terangkat ke wajah, mengusap matanya yang mulai terasa berat. Tapi malam ini belum selesai. Dia masih harus bekerja di kafe sampai lewat tengah malam.

Dengan sisa tenaga yang ada, dia bangkit dan membuka lemarinya yang kecil. Mengambil kemeja hitam lusuh yang menjadi seragam pekerjaannya di kafe, lalu mulai berganti pakaian.

Saat menatap dirinya di cermin kecil yang menggantung di pintu lemari, dia melihat bayangan seseorang yang jauh dari apa yang dulu dia impikan.

Dulu, dia ingin kuliah. Ingin memakai jas almamater dan berjalan di koridor kampus dengan buku-buku tebal di pelukannya. Tapi hidup tak pernah memberikan kesempatan itu.

Amara berusaha mengeyahkan pikirannya.

Begitu hujan berhenti, Amara segera melangkah keluar dari apartemennya.

Meski udara masih terasa dingin menyentuh kulit, dan jalanan mulai ditinggalkan keramaian,  dia berjalan menuju klub yang bergema dengan dentuman bass yang menggetarkan dinding.

Ritme liar dan tak kenal ampun, neon-neon berpendar memantulkan warna biru, ungu, dan merah ke wajah-wajah yang tenggelam dalam obrolan, tawa riang, dan segelas alkohol.

Suara kaca yang bersulang dan deru percakapan samar menjadi musik latar yang khas dan akrab.

Di balik bar, Amara Larasati bergerak lincah.

Sebagai bartender, tangannya cekatan meraih botol-botol berbagai bentuk, mencampurkan isinya ke dalam shaker, dan mengguncangnya dengan kecepatan yang seolah sudah menjadi bagian dari dirinya.

Tuk!

Seorang pria, dengan rasa tidak sabar yang hampir menjengkelkan, mengetuk meja kaca. "Mana minumannya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 168: Mengulang Pernikahan, Memilih Selamanya

    Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 167: Tanpa Kontrak, Tanpa Keraguan

    Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 166: Rumah yang Tak Pernah Ditinggalkan

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 165: Sekolah Kecil, Harapan yang Menyala

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 164: Melarikan Diri Tanpa Harus Berlari

    Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 163: Restoran Kecil, Bahagia yang Besar

    Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status