"Sabar," ucap Amara tanpa mengangkat kepala. "Minuman lo nggak akan kemana-mana kok."
Pria itu terkekeh, tapi Amara telah beralih ke pesanan berikutnya.
Baginya, malam itu hanya rutinitas biasa. Wajah-wajah yang datang dan pergi, percakapan-percakapan yang fana dan tak perlu diingat.
Semuanya serupa.
Namun, mata Amara tertarik pada sosok pria yang baru saja memasuki klub.
Auranya dominan, seolah ia membelah keramaian dan mengubah atmosfer sekitarnya. Langkahnya percaya diri, nyaris arogan, seolah ruangan ini adalah miliknya.
Setelan mahalnya memeluk tubuh tegap dengan sempurna, kancing atas dibiarkan terbuka, sedikit menampilkan kulit lehernya yang terkena cahaya.
Laksha Wijanarko.
Nama itu bukan nama asing di telinga Amara, seringkali terdengar dari obrolan para pengunjung. Pewaris tunggal Wijanarko Group, konglomerat muda dengan reputasi secerah rekening banknya—seorang playboy yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan pesta-pesta eksklusif.
Malam itu, dia hanya berdiri beberapa meter dari Amara. Tatapan mereka bertemu, hanya sedetik, tapi cukup untuk membuat Amara merasa seolah-olah dia baru saja melangkah ke dalam permainan yang tidak diinginkannya.
Laksha tidak langsung mendekat. Dia menatap Amara beberapa saat, mengangkat sebelah alis dengan ketertarikan yang tidak bisa disembunyikan, sebelum akhirnya berjalan menuju bar dengan langkah yang santai.
"Whiskey, neat," ujarnya, suaranya terdengar jelas meskipun di tengah kebisingan.
Amara tidak segera bergerak. Dia menatap pria itu beberapa detik sebelum meraih botol whiskey dan menuangkan cairan amber tersebut ke dalam gelas kristal.
Saat dia menyodorkan minuman itu, tangan Laksha bergerak lebih cepat, menyentuh ujung jarinya—sengaja atau tidak, Amara tidak peduli. Dia menarik tangannya secepat kilat, wajahnya tetap tidak terbaca.
Laksha menyipitkan mata, memperhatikan reaksinya. "Kamu baru di sini?"
Amara mendengus pelan. "Gue udah di sini cukup lama. Lo aja yang baru sadar."
Laksha menyesap whiskey-nya, tidak terburu-buru. Tatapannya tetap tertuju pada Amara, intens, seolah sedang menilai sesuatu. "Nama kamu?"
"Bukan urusan lo."
Untuk pertama kalinya malam itu, Laksha tampak sedikit terkejut. Biasanya, seorang wanita tidak akan menolak percakapan dengannya. Biasanya, mereka akan mencari alasan untuk tetap berbicara.
Tapi gadis ini? Dia bahkan tidak terkesan.
Senyum kecil muncul di bibir Laksha. Menarik.
"Lo nggak tertarik tahu siapa gue?" tanyanya.
Amara mengangkat bahu. "Gue tahu siapa lo. Tapi tetap aja, bukan urusan gue."
Laksha tertawa kecil, suaranya nyaris tenggelam dalam dentuman musik. "Well, I like you."
Amara menghela napas, lalu berbalik untuk melayani pelanggan lain. "Simpan gombalan lo buat yang lain."
Tapi Laksha tidak beranjak. Matanya tetap mengikuti setiap gerakan Amara, seolah mencoba memahami sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum bisa definisikan.
Waktu terus berjalan. Klub semakin padat, aroma alkohol semakin pekat di udara. Amara tetap sibuk, menuangkan minuman, melayani pesanan, sesekali melirik ke sudut ruangan tempat Laksha duduk bersama teman-temannya.
Pria itu tidak hanya sekali melihat ke arahnya.
Tatapan Laksha seperti sengaja menguji kesabarannya, mengingatkan Amara pada kucing yang bermain dengan mangsanya sebelum akhirnya memutuskan apakah ia akan membunuh atau membiarkan.
Tapi Amara bukan mangsa.
Saat akhirnya malam semakin larut, klub mulai sedikit lengang. Amara mengambil kesempatan untuk mengambil napas, bersandar sejenak di meja bar sambil meneguk segelas air dingin.
Dia hampir tidak menyadari ketika seseorang mendekatinya dari sisi lain bar.
"Kamu selalu menatap orang seperti itu?"
Suara itu—dalam, sedikit serak, dan penuh kesan santai—sudah bisa Amara tebak sebelum dia menoleh. Laksha berdiri di sana, satu tangan memegang gelas whiskey-nya, tangan lainnya terselip santai di saku celananya.
Amara mendesah pelan. “Gue nggak tahu maksud lo,” katanya, suaranya mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mulai merayap.
Laksha menyeringai, tampak menikmati reaksi Amara. “Tatapan yang seolah nggak peduli, tapi sebenernya penuh penilaian.”
Di antara deru musik yang masih bergema, hening sejenak menggantung di udara, hanya mata mereka yang berbicara.
Amara menatap dalam ke mata Laksha, mencoba membaca sesuatu dari balik kedalaman mata hitam pekatnya yang sulit dipecahkan. “Apa mau lo, Laksha?” tanya Amara akhirnya.
Suaranya pelan, tapi begitu tegas.
Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo
Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis
Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa
Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta
Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli