Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova

Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova

last updateLast Updated : 2025-05-03
By:  Rizki AdindaCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
168Chapters
453views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Sejak kecil, Amara Larasati terbiasa berjuang sendiri, sampai Laksha Wijanarko datang dan menawarkan sebuah pernikahan kontrak. Pria kaya raya dengan reputasi sebagai playboy itu ingin Amara membantunya dalam sebuah kepentingan bisnis. Lantas, apa yang akan dilakukan Amara? Terlebih, apa yang dimulai sebagai kesepakatan bisnis perlahan berubah karena keduanya mulai menyertakan perasaan....

View More

Chapter 1

Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

TIN!

Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus.

Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.

Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.

Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan.

Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.

Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.

Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu.

Sudah hampir pukul delapan malam. Satu jam lagi, dia harus sampai di pekerjaannya yang kedua.

Amara baru saja keluar dari sift sore di minimarket dekat kantor-kantor perkantoran Sudirman. Bekerja sebagai kasir di sana tidak mudah—senyum yang harus tetap dipasang meskipun tubuh sudah lelah, pelanggan yang terkadang kurang sabar, dan supervisor yang gemar mengomel soal stok barang.

Tapi dia tak punya pilihan. Gajinya dari minimarket itu adalah salah satu dari dua sumber penghasilan yang membuatnya bisa bertahan hidup di kota ini.

Setelah menyusuri jalan sempit menuju halte, dia berhenti di depan sebuah warung kopi kecil di sudut Blok M. Gerobak kopi sederhana itu tampak usang, dengan beberapa termos besar berjejer rapi di atas meja kayu.

Seorang pria tua, dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih dan kaos lusuh, berdiri di belakangnya, menuangkan kopi hitam ke dalam gelas plastik.

"Hitam tanpa gula," kata Amara, menyerahkan beberapa lembar uang ribuan yang sudah terlipat-lipat di sakunya.

Pria itu mengangguk tanpa bicara, lalu menyerahkan gelas kopi yang masih mengepul. Amara menerimanya dengan kedua tangan, merasakan kehangatan yang menyusup ke jari-jarinya yang dingin.

Dia meniup permukaan cairan hitam itu sebelum menyesapnya perlahan. Pahitnya menyebar di lidahnya, tapi dia menyukainya—pahit, seperti hidup yang dijalaninya.

Pikirannya melayang sejenak. Lima tahun sudah dia hidup sendiri, berjuang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain hanya untuk memastikan dirinya tidak kelaparan atau diusir dari apartemen kecil yang disewanya.

Drrt!

Tiba-tiba saja, ponsel Amara bergetar di saku celana. Dengan satu tangan masih menggenggam kopi, dia menarik ponselnya dan membaca pesan yang masuk.

"Sewa bulan ini belum masuk. Jangan telat lagi, Mar."

Pesan dari pemilik kontrakan.

"Hah...." Amara mengembuskan napas panjang, tangannya tanpa sadar meremas gelas plastik yang dipegangnya. Dia tahu ini akan terjadi. Uang sewa yang terus naik setiap tahun, sementara gajinya tetap, membuatnya harus bekerja lebih keras hanya untuk bisa tetap memiliki atap di atas kepalanya.

Dia menutup pesan itu tanpa membalas, lalu membuang gelas plastik kosongnya ke tempat sampah di samping warung kopi. Tidak ada gunanya mengeluh. Dia sudah lelah mengeluh.

Apartemen kecilnya berada di lantai lima sebuah bangunan tua di daerah Tebet. Bangunan itu tak memiliki lift, dan tangga sempitnya sudah seperti jalur latihan bagi kakinya setiap hari.

Cat dindingnya mulai mengelupas, dan bau lembap bercampur dengan aroma makanan dari kamar-kamar lain yang penghuninya mungkin juga sedang berjuang dengan cara mereka sendiri.

Ketika akhirnya tiba di depan pintu apartemennya, Amara merogoh tasnya untuk mencari kunci. Begitu pintu terbuka, dia disambut dengan ruangan sempit yang hanya diterangi cahaya redup dari bohlam gantung.

Ruangan itu sesak. Satu kasur tanpa ranjang terhampar di sudut, dengan selimut tipis yang tampak belum dirapikan. Di sebelahnya, rak kecil berisi beberapa buku yang sudah mulai usang, salah satunya adalah buku ekonomi yang selalu dia baca berulang-ulang meskipun sebagian halamannya sudah mulai lepas.

Amara melempar tasnya ke sudut ruangan, lalu berjalan ke dapur kecil di pojok, hanya untuk memastikan bahwa lemari makanannya masih sepi seperti terakhir kali dia mengeceknya. Hanya ada satu bungkus mi instan dan sebotol air mineral setengah penuh.

Dia menghela napas, lalu meraih satu-satunya kursi di ruangan itu dan duduk. Kakinya terasa lelah, tapi kepalanya lebih lelah lagi. Ada terlalu banyak hal yang harus dipikirkan, terlalu banyak tanggung jawab yang harus dipikul.

Tangannya terangkat ke wajah, mengusap matanya yang mulai terasa berat. Tapi malam ini belum selesai. Dia masih harus bekerja di kafe sampai lewat tengah malam.

Dengan sisa tenaga yang ada, dia bangkit dan membuka lemarinya yang kecil. Mengambil kemeja hitam lusuh yang menjadi seragam pekerjaannya di kafe, lalu mulai berganti pakaian.

Saat menatap dirinya di cermin kecil yang menggantung di pintu lemari, dia melihat bayangan seseorang yang jauh dari apa yang dulu dia impikan.

Dulu, dia ingin kuliah. Ingin memakai jas almamater dan berjalan di koridor kampus dengan buku-buku tebal di pelukannya. Tapi hidup tak pernah memberikan kesempatan itu.

Amara berusaha mengeyahkan pikirannya.

Begitu hujan berhenti, Amara segera melangkah keluar dari apartemennya.

Meski udara masih terasa dingin menyentuh kulit, dan jalanan mulai ditinggalkan keramaian,  dia berjalan menuju klub yang bergema dengan dentuman bass yang menggetarkan dinding.

Ritme liar dan tak kenal ampun, neon-neon berpendar memantulkan warna biru, ungu, dan merah ke wajah-wajah yang tenggelam dalam obrolan, tawa riang, dan segelas alkohol.

Suara kaca yang bersulang dan deru percakapan samar menjadi musik latar yang khas dan akrab.

Di balik bar, Amara Larasati bergerak lincah.

Sebagai bartender, tangannya cekatan meraih botol-botol berbagai bentuk, mencampurkan isinya ke dalam shaker, dan mengguncangnya dengan kecepatan yang seolah sudah menjadi bagian dari dirinya.

Tuk!

Seorang pria, dengan rasa tidak sabar yang hampir menjengkelkan, mengetuk meja kaca. "Mana minumannya?"

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
168 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status