Mereka bertemu di sebuah kafe yang hangat dan penuh dengan cahaya yang meresap lembut melalui jendela besar di tengah hiruk-pikuk SCBD.
Amara memilih tempat ini dengan sengaja—tempat yang netral dan nyaman, bukan restoran yang terlalu mewah atau bar yang gema dengan kebisingan, karena dia ingin tempat yang bisa membuatnya tetap tenang dan fokus pada pembicaraan penting yang akan terjadi.
Laksha sudah ada di sana, menunggu dengan penuh kesabaran. Dia duduk di sudut kafe, terlihat elegan dengan jas hitamnya yang sempurna, sebuah kontras yang mencolok dengan kesederhanaan tempat ini.
Ketika Amara melangkah masuk, mata Laksha langsung menangkap sosoknya, tatapan mereka bertemu tanpa hambatan. Tak ada kejutan atau keingintahuan yang tergambar di wajahnya—hanya sebuah kepastian yang tenang, seolah-olah dia sudah tahu pasti bahwa Amara akan datang.
Dengan langkah yang mantap namun lembut, Amara mendekati meja dan menarik kursi dengan gerakan yang halus. “Jika aku menerima tawaranmu,” katanya dengan suara yang rendah dan hati-hati, mencoba untuk mengendalikan kegugupannya, “apa saja syaratnya?”
Laksha bersandar dengan tenang, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Amara, membingkainya dengan tatapan yang kompleks dan sulit didefinisikan.
“Kita akan menikah selama satu tahun,” katanya dengan nada yang serius tetapi tenang, seolah sedang menjelaskan detail dari sebuah kontrak bisnis yang penting. “Setelah itu, kita berpisah. Tanpa drama, tanpa klaim atau tuntutan apapun.”
Amara meremas tangannya di bawah meja, merasakan detak jantungnya yang mulai memburu. “Ada syarat lain?” tanyanya, suaranya masih terjaga lembut.
“Kamu harus tinggal di rumahku,” Laksha menjawab dengan tenang, seolah-olah itu adalah permintaan yang paling logis dalam kesepakatan seperti ini.
Amara nyaris tertawa karena absurditasnya, tapi yang keluar hanyalah senyum yang dipaksakan. “Kamu serius?”
Ia hanya mengangkat bahu dengan elegan. “Pernikahan yang sah umumnya memerlukan pasangan untuk tinggal bersama.”
Setelah jeda yang menggantung di udara dengan kecanggungan, Amara bertanya lagi, suaranya sedikit lebih tegas. “Dan?”
“Kita perlu sering terlihat bersama di acara keluarga atau acara publik. Berfoto bersama, dan melakukan hal-hal lain yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang bahagia,” Laksha melanjutkan, dengan senyum yang mendalam tetapi sarkastik.
Mata Amara menelisik lebih dalam. “Jadi, kita hanya perlu pura-pura bahagia?”
Senyum Laksha berkembang sedikit, menambahkan nuansa kehangatan yang ironis. “Anggap saja begitu,” ujarnya.
Sejenak, ruangan itu dipenuhi dengan hening yang mendalam, seolah keduanya sedang menimbang beratnya situasi tersebut.
Amara mengambil napas dalam dan berat sebelum mengungkapkan syaratnya sendiri, “Aku punya syarat juga,” katanya, suaranya mengandung keberanian yang baru.
Laksha mengangkat alisnya, memberi isyarat untuknya melanjutkan.
“Kamu tidak boleh menyentuhku,” kata Amara dengan tegas.
Ekspresi Laksha berubah untuk pertama kalinya, senyumnya memudar, digantikan oleh sesuatu yang lebih serius dan tidak terduga.
“Tentu,” jawabnya akhirnya, nada suaranya berat dan tanpa emosi. “Pernikahan ini hanya kesepakatan bisnis. Aku tidak akan menuntut lebih dari yang kamu nyaman berikan.”
Amara merasakan detak jantungnya yang kencang, rasa tidak nyaman yang aneh menyelimuti perasaannya. Respons Laksha tidak hanya menguatkan tekadnya tetapi juga menambahkan rasa respek terhadap kejujuran pria itu, meski dia tahu, tidak ada lagi jalan kembali setelah ini.
Dia mengangkat cangkir kopinya, menyesapnya dengan perlahan, memberi dirinya waktu untuk berpikir. Keputusan ini mungkin sebesar saat dia memutuskan untuk meninggalkan sistem pengasuhan dan menghadapi dunia dengan tangannya sendiri.
Dan sekarang, dia dihadapkan pada keputusan yang lebih besar lagi.
Menaruh kembali gelasnya, Amara menatap Laksha dengan mata yang kini penuh kepastian. “Oke,” katanya dengan lembut namun pasti. “Aku setuju.”
Laksha memandanginya beberapa saat, kemudian mengulurkan tangannya. “Selamat datang di pernikahan bisnis kita, Amara.”
Amara memandang tangan yang diulurkan itu, dan dengan sedikit ragu, dia menyambutnya. Tidak ada jalan kembali setelah ini. Namun, mengapa ia justru berdebar?
Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo
Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis
Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa
Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta
Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli