Share

Bab 5: Keputusan Berat

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-04 10:10:56

Keesokan harinya, Amara mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam kembali ke dalam rutinitas harian yang sederhana. Pagi hingga siang ia menghabiskan waktu di minimarket, dan malam dihabiskannya di klub.

Semua terasa begitu rutin, tanpa ruang bagi hal-hal yang menurutnya tidak penting. Namun, betapapun kerasnya dia mencoba, pikirannya selalu tergelincir kembali ke satu hal yang sama.

Atau lebih tepatnya, satu orang—Laksha.

Saat sedang sibuk bekerja, sesekali Amara teringat ekspresi Laksha ketika ia mengajukan tawarannya. Tidak ada cemoohan, tidak ada nada merendahkan. Seolah bagi Laksha, tawaran itu tidak lebih dari sekedar transaksi bisnis biasa.

Seolah-olah menjadikan seseorang sebagai istri hanyalah soal kontrak dan tanda tangan di atas kertas. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Amara sadar bahwa ia serius mempertimbangkan tawaran tersebut.

Amara menggigit bibirnya. Ia ingin mengabaikan semua ini, ingin berpegang pada harga dirinya. Namun, realitas kehidupannya yang keras terus menampar dirinya.

Tabungannya yang hampir habis, sewa apartemen yang belum dibayar, dan mimpi untuk melanjutkan pendidikan yang terasa seperti bintang di langit yang terlalu tinggi untuk diraih.

Menikah demi uang? Itu bukan dirinya. Dia bukan orang yang rela menjual dirinya hanya demi kenyamanan sementara. Amara menutup matanya sejenak, lalu menampar pipinya sendiri, berharap bisa mengusir suara-suara di kepalanya. Dia tidak akan menelepon pria itu. Tidak akan.

Namun, sepertinya semesta memiliki rencana lain.

Tiga hari kemudian, saat Amara sedang beristirahat di belakang klub, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Jantungnya berdegup aneh, tetapi dia tetap mengangkatnya. “Halo?”

“Kamu sudah memikirkan tawaran saya?” Suara di seberang sana adalah Laksha—dalam, tenang, dan penuh percaya diri.

“Lo beneran sefrontal ini, ya?” Amara menghela napas, menekan dahinya dengan jemari yang dingin.

Laksha tertawa kecil. “Aku orang yang efisien. Kalau ada urusan yang belum selesai, aku pastikan cepat beres.”

“Lo nyari istri atau karyawan?” sindir Amara.

“Dalam kasus ini, mungkin dua-duanya,” jawab Laksha, suaranya mengandung semacam kehangatan yang tidak terduga.

Amara mengerang frustasi. “Dengar, Laksha. Aku tidak tertarik. Aku bukan orang yang bisa lo beli dengan uang.”

“Tapi kamu tetap menyimpan kartu namaku,” balas Laksha cepat.

Amara terdiam. Dia membenci bagaimana Laksha dapat membaca situasinya dengan mudah.

“Aku tahu kamu butuh uang, Amara,” lanjut Laksha, suaranya lebih pelan. “Dan Aku tidak menawarkan ini untuk merendahkan kamu. Ini hanya kesepakatan. Kamu bisa mendapatkan hidup yang lebih baik, dan saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan.”

Amara menatap ke jalanan kosong di depannya, mencari jawaban di antara bayangan lampu jalan. Dia ingin menolaknya dengan tegas. Namun, bagian dari dirinya—bagian yang sudah lelah berjuang sendirian—mulai bertanya… Bagaimana jika… hanya bagaimana jika dia menerima tawaran itu?

Bukankah itu lebih baik daripada terus terjebak dalam lingkaran kehidupan yang tidak memberinya jalan keluar? Tapi, harga dirinya, apakah dia siap mengorbankannya demi sesuatu yang hanya sementara?

Laksha tidak mendengar jawaban apapun darinya, hanya keheningan yang panjang. Kemudian suara pria itu terdengar lagi, lebih tenang, namun tetap tegas. “Ambil waktu kamu untuk memikirkan, Amara. Tapi jangan terlalu lama.” Dan sambungan telepon pun terputus.

Amara menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa dirinya berada di persimpangan jalan.

Minggu berlalu dengan lambat. Setiap pagi, Amara terbangun dengan kepala yang penuh suara—suara pikirannya sendiri yang terus berdebat tentang tawaran yang seharusnya sudah lama dia lupakan. Setiap kali dia mencoba tenggelam dalam pekerjaannya, suara itu kembali menghantui dia.

Saat dia berdiri di belakang kasir minimarket, menekan tombol-tombol register dengan gerakan yang hampir otomatis, dia mendengar suaranya sendiri bertanya: Berapa banyak shift lagi yang harus dia jalani sebelum dia bisa keluar dari siklus ini?

Saat dia menuangkan minuman di klub malam, menghindari tatapan pelanggan yang mabuk, dia bertanya dalam hati: Kalau dia terima tawaran itu, apa hidupnya akan lebih baik?

Saat dia berjalan pulang, melewati gang-gang sempit yang bau gotnya menguar di udara malam, dia teringat sesuatu yang Laksha katakan malam itu: "Kamu bisa dapat hidup yang lebih baik, Amara."

Amara membenci kenyataan bahwa dia mulai menganggap serius kata-kata itu. Tapi lebih dari itu, dia membenci kenyataan bahwa dia mulai goyah.

Malam itu, apartemen kecilnya terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara kendaraan yang bising dari luar jendela. Hanya suara jam dinding tua yang berdetak pelan di atas meja kecil dekat kasurnya. Amara duduk di lantai, bersandar pada kasurnya yang tipis. Jari-jarinya menggenggam erat kartu nama hitam itu.

Satu minggu. Sudah satu minggu sejak Laksha menawarinya kesepakatan itu, dan dia masih belum bisa membuat keputusan. Dia ingin menolaknya. Sungguh. Tapi nyatanya, dia tidak langsung membuang kartu nama itu, kan?

Nyatanya, dia masih menyimpannya, seperti seseorang yang menyimpan tiket ke kehidupan yang berbeda.

Jemarinya bergetar saat dia menekan nomor di ponselnya. Setiap digit terasa berat, seolah angka-angka itu memiliki nyawa sendiri. Saat panggilan tersambung, dadanya terasa sesak. Bodoh. Dia bahkan belum tahu apa yang ingin dia katakan.

Nada sambung kedua. Ketiga. Lalu suara itu muncul, dalam dan tenang, dengan nada malas yang seolah tahu bahwa Amara akan meneleponnya lebih cepat atau lambat.

"Kamu akhirnya menelepon."

Amara menggigit bibirnya, berusaha menekan perasaan yang bergejolak di dadanya. "Gue butuh ketemu."

Hening. Lalu suara Laksha terdengar lagi, kali ini sedikit lebih serius. "Baik. Sebutkan tempat dan waktu."

Amara menarik napas dalam-dalam. Dia baru saja melangkah ke dalam sesuatu yang dia tidak yakin bisa dia kendalikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 168: Mengulang Pernikahan, Memilih Selamanya

    Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 167: Tanpa Kontrak, Tanpa Keraguan

    Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 166: Rumah yang Tak Pernah Ditinggalkan

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 165: Sekolah Kecil, Harapan yang Menyala

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 164: Melarikan Diri Tanpa Harus Berlari

    Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 163: Restoran Kecil, Bahagia yang Besar

    Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status