Sampai pagi menyapa, Gendis masih belum juga tidur. Air matanya masih terus keluar membasahi pipinya.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku tidak mau menikah dengan pria yang sudah beristri tapi bagaimana dengan nasib bapak dan Indri kalau sampai aku tidak menikah dengan juragan Karta," batin Gendis.Pikirannya masih terus melayang jauh entah kemana. Bahkan sampai matahari mulai menyingsing. Gendis memilih untuk tak berangkat sekolah karena pikirannya yang sedang kacau saat itu.Terdengar derap langkah kaki di luar kamarnya dan setelah itu menghilang begitu saja. Namun, Gendis masih tak bangkit dari tempat tidurnya saat itu. Ia masih meringkuk memeluk kakinya yang ia tekuk hingga ke dada."Tok, tok, tok."Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Dengan cepat Gendis menyapu air matanya yang saat itu masih keluar dari matanya."Gendis, ini bapak. Apa bapak boleh masuk?" tanya Hartono."Iya oleh, Pak," jawab Gendis dengaj suara parau.Hartono pun masuk dan melihat Gendis yang tengah terbaring. Tak lama Gendis yang sudah menyapu air matanya pun segera duduk, menyambut kedatangan Hartono."Ndis, bapak mau minta maaf sama kamu tentang apa yang sudah bapak katakan tadi malam. Tidak seharusnya bapak berkata seperti itu padamu. Bapak benar-benar minta maaf," ucap Hartono."Iya Pak. Gendis tahu kok kalau bapak tidak bermaksud mengatakan hal itu. Gendis juga minta maaf karena Gendis tidak bisa mengabulkan permintaan bapak. Gendis benar-benar tidak mau menikah dengan juragan Karta."Tiba-tiba saja Indri masuk ke dalam kamar Gendis membuat Gendis sangat tercengang."Loh Ndri, kamu kok nggak berangkat sekolah?" tanya Gendis."Tadi dia sudah mau berangkat, Ndis, tapi bapak larang. Bapak ceritakan semuanya pada Indri dan meminta dia untuk mengemasi pakaiannya. Kita kan tidak tahu kapan juragan Karta akan datang ke sini. Takutnya dia ke sini sebelum Indri pulang," ucap Hartono."Mbak, apa kita benar-benar harus pergi dari rumah ini? Di sini kan banyak sekali kenangan bersama ibu. Apa kita harus kehilangan rumah ini beserta kenangannya," uca Indri mendekati Gendis dan Hartono yang tengah duduk di pinggiran ranjang.Kedua mata Indri sudah berkaca-kaca membuat Gendis merasa sangat hancur."Mbak minta maaf, ya, Ndri. Mbak bener-bener nggak mau menikah dengan laki-laki yang sudah beristri," ucap Gendis.Tangis Indri pun seketika pecah begitu juga dengan Gendis dan juga Hartono yang ikut menitikkan air matanya.Hartono memeluk kedua putrinya dengan sangat erat. "Maafkan bapak ya karena bapak tidak bisa membuat kalian bahagia malah selalu membuat kalian susah," ucap Hartono. Sesekali Hartono terbatuk hingga membiat tubuhnya menegang."Bapak jangan bicara seperti itu. Bapak adalah bapak yang paling terbaik untuk kita," jawab Indri cepat.Tiba-tiba saja suara ketukan pintu yang cukup keras membuat ketiganya terkejut. Dengan cepat Hartono melepaskan pelukannya pada ketiga putrinya."Biar bapak buka pintunya." Dengan cepat Hartono bangkit dan berjalan pelan menghampiri pintu rumah.Indri puj segera memeluk Gendis dengan erat. "Mbak tenang ya, Mbak. Mbak nggak akan menikah dengan pria itu kok," ucap Indri menenangkan Gendis yang sudah ketakutan mendengar suara Karta di luar kamarnya.Hartono pun membuka pintu dan langsung terlihat Karta yang berdiri di depan pintu sembari merokok membuat Hartono terbatuk.Namun, kedatangan Karta kali ini tak sendiri. Ia didampingi oleh Anjarwati, ibunya."Oh jadi ini rumah yang akan kamu sita, Karta," ucap Anjarwati sambil menerobos masuk ke dalam rumah dan mengamati setiap sudut di dalamnya."Bagaimana pak Hartono, apa kamu sudah menyiapkan uangnya? Atau kamu siap untuk kehilangan rumah ini?" tanya Karta fengan ekspresi datar."Saya mohon juragan, tolong kasih saya waktu sedikit lagi," pinta Hartono yang langsung menjatuhkan tubuhnya di hadapan Karta untuk bersujud di depannya."Tidak bisa! Aku sudah sering memberimu keringanan selama ini. Aku membiarkanmu menunggak sampai selama ini tapi kali ini aku tidak bisa memberikanmu kelonggaran lagi," tegas Karta."Saya mohon, Juragan. Saya janji akan membayar langsung semua dengan bunganya asal juragan memberikan saya waktu lagi" ucap Hartono sambil terisak."Kamu itu nggak tahu malu ya, pak. Sudah diberi keringanan tapi malah melunjak." Anjarwati ikut angkat bicara."Aku kan sudah bilang kalau aku akan menganggap lunas semua hutang mu asal kamu mau menikahkan aku dengan Gendis, anakmu.""Tidak Juragan. Aku mohon jangan bawa-bawa Gendis dalam masalah ini. Dia tidak tahu apapun jadi biarlah aku yang membereskan semua masalah ini tanpa melibatkannya.""Baik kalau kamu memang tidak mau melibatkannya. Berarti sekarang juga kamu kemasi semua barang-barangmu." Karta mendorong tubuh Hartono dengan kakinya membuat Hartono terjengkang dan memekik menahan sakit."Kalau begitu cepat bereskan barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah ini karena rumah ini akan jadi milikku." Karya mengangkat sertifikat rumah itu yang sudah ada di tangannya.Gendis dan Indri yang berada di dalam kamar pun dapat dengan jelas mendengar suara rintihan dengan isak tangis Hartono."Mbak tunggu di sini ya, biar Indri keluar dulu sebentar," ucap Indri.Spontan saja Gendis melepaskan Indri begitu saja. Ia masih tak berani menampakkan wajahnya di depan Karta karena tak ingin dijadikan istri olehnya.Indri pun kekuat dari kamar Gendis dan langsung melihat Hartono yang sudah terduduk di lantai yang terbuat dari susunan papan."Bapak." Indri berlari menghampiri Hartono dan membantunya untuk bangun.Hartono bangkit dari posisinya saat itu. Terkadang ia terbatuk sampai seluruh urat di tubuhnya menegang."Juragan, saya mohon beri kami keringanan waktu untuk membayar hutang-hutang kami. Kamu janji akan membayarnya segera." Kini giliran Indri yang ambil bagian untuk memohon pada Karta."Heh tidak bisa! Kamu anak kecil nggak usah ikut campur!" timpal Anjarwati."Atau kalau tidak kamu saja yang menjadi istriku menggantikan Gendis," ucap Karta.Mendengar ucapan Karta membuat Indri ketakutan. Ia pun memeluk lengan tangan Hartono erat."Pak, Indri nggak mau," bisik Indri pada Hartono."Maaf juragan, tapi saya tidak akan menukarkan anak-anak saya dengan hutang yang saya miliki pada juragan," ucap Hartono tegas meski sesekali ia terbatuk."Dasar kerasa kepala! Kalau begitu kalian pergi dari sini sekarang! Aku sudah tidak mau melihat kalian lagi di sini!" bentak Karta keras.Gendis yang mendengar teriakan Karta semakin bimbang dan dilema."Ya Tuhan, bagaimana ini. Apakah aku tega melihat keluarga ku seperti ini. Aku tidak mungkin tega melihat bapak yang sedang sakit harus kedinginan di luaran sana," batin Gendis semakin bingung."Cepat kemasi barang-barang kalian dan pergi dari sini!" bentak Karta lagi sembari membalikkan badannya."Ayo Ndri, kita kemasi barang-barang kita," ucap Hartono mengajak Indri. Namun Indri malah terpaku di tempatnya."Baiklah juragan, kalau itu yang juragan inginkan, aku siap menjadi istri juragan," ucap Indri dengan nada suara bergetar membuat Gendis yang berada di kamar seperti mati berdiri.Semua orang yang mendengar ucapan Indri pun merasa sangat terkejut dengan keputusan yang Indri ambil saat itu."Apa yang Indri lakukan," batin Gendis kesal.Ia pun segera bangkit dari duduknya di atas ranjang dan keluar dari kamar menghampiri semua orang yang tengah berada di ruang tamu."Jangan!" Teriak Gendis memecah suasana saat itu.Anjarwati yang melihat Gendis keluar dari kamarnya pun merasa sangat takjub dengan kecantikan yang Gendis miliki."Apa ini gadis yang ingin Karta nikahi? Cantik sekali dia," batin Anjarwati memuji."Kenapa jangan? Apa kamu tidak mengizinkan adikmu ini menikah denganku?" tanya Karta yang seketika menjadi semringah saat Gendis keluar dari kamarnya."Iya! Aku tidak akan mengizinkan adikku menikah dengan juragan.""Kalau begitu berarti kamu harus menikah denganku atau lunasi semua hutang bapakmu ini." Karta menantang."Aku akan menikah dengan juragan asal juragan berjanji mau menganggap lunas semua hutang bapakku dan jangan pernah ganggu bapak dan adikku lagi," ucap Gendis dengan suara bergetar.Dengan berbunga-bunga Karta pulang ke rumah. Indah dan Ayu yang melihat wajah semringah Karta pun merasa heran."Kamu kenapa, Mas? Kok senyum-senyum begitu?" tanya Ayu menghampiri Karta."Aku akan segera menikah lagi! Aku akan punya anak laki-laki," jawab Karta sembari tertawa senang.Indah yang mendengar ucapan Karta pun segera menoleh ke arah Karta dan Ayu."Bagaimana ini, bagaimana jika mas Karta menikah lagi dan berhasil punya anak laki-laki. Itu artinya hanya aku satu-satunya istri yang tidak memberikannya keturunan." Indah membatin dalam hati. Rasanya begitu sangat sakit saat ia harus mendapatkan hinaan dari semua orang karena tak bisa punya anak."T-tapi, Mas. Bagaimana kalau dia tidak bisa memberikanmu anak laki-laki." Ayu menghentikan tawa Karta saat itu dengan kalimatnya."Tidak mungkin! Dia pasti bisa memberikanku anak laki-laki. Aku yakin dia bisa memberikan ku anak laki-laki yang tidak bisa kalian berikan," ucap Karta."Tapi, Mas. Aku kan punya Salsa, aku nggak mau ya kal
"Ndis? Kenapa kamu menerima pernikahan ini? Kamu kan tidak menyukai juragan Karta," ucap Hartono yang perlahan melangkahkan kakinya mendekati Gendis yang menangis sesenggukan sembari menundukkan kepalanya."Iya, Mbak. Kenapa mbak Gendis menerima ucapan juragan Karta." Indri yang juga tak percaya pada keputusan Gendis saat itu langsung mendekat ke arahnya."Mbak nggak mau kamu yang menjadi tumbal atas penolakan Mbak pada juragan Karta. Mbak nggak rela kalau sampai kamu menikah dengan juragan Karta. Kamu masih sangat muda, Ndri. Jalan masa depanmu masih panjang," jawab Gendis sambil sesenggukan."Tapi aku rela kok Mbak, berkorban untuk keluarga ini. Aku rela ikhlas jika aku memang harus melakukan itu semua," jawab Indri."Kalau kamu saja mau mengorbankan masa depanmu masa aku sebagai kakak malah bersembunyi di balik badanmu. Aku nggak mungkin membiarkan kamu kehilangan masa depanmu dengan menjadi istri ketiga jadi biar Mbak saja yang menikah dengannya dan kamu lanjutkan sekolahmu.""Ter
Akhirnya mereka pun sampai di kantor KUA. Kedua mata Gendis semakin samar menatap penghulu di depannya dengan mata yang berkaca-kaca."Apakah bapak yakin ingin menikah siri?" tanya pak penghulu saat itu.Bak disambar petir di siang bolong. Gendis membulatkan kedua matanya mendengarkan jawaban dari Karta saat itu yang mengiyakan pertanyaan dari pak penghulu."A-apa ini? Apa aku akan menjadi istri sirinya juragan Karta? Kenapa aku hanya dinikahi siri," batin Gendis yang saat itu ingin memberontak karena tak ingin dinikahi siri.Seumur hidupnya, Gendis tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi istri siri dari seorang pria yang menikahinya.Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Gendis yang duduk tepat di samping Karta menatap Hartono yang ada di depannya."Pak, tolong aku... Aku tidak mau dinikahi siri. Kenapa aku dinikahi siri," batin Gendis yang tak mampu mengeluarkan kalimat yang sudah ada di ujung bibirnya."Hei, kamu jangan menangis! Jangan bikin malu aku dan Karta," bisik An
"Ya Tuhan, bagaimana ini. Aku belum siap melayaninya," batin Gendis bergejolak. Seketika air matanya mengucur kembali dengan sangat deras. Jantungnya semakin berdegup kencang saat melihat Karta perlahan melepaskan kancing baju miliknya.Terlihat rambut-rambut halus yang tumbuh di dada dan menyembul keluar saat baju mulai terbuka."J-juragan, t-tapi ini masih siang. Apa kita harus melakukannya sekarang? bukankah tadi Juragan bilang ada urusan penting yang harus dikerjakan." Gendis berusaha mencari cara agar Karta mengurungkan niatnya untuk menunaikan kewajibannya sebagai suami istri."Itu mah gampang. Aku bisa menyelesaikannya setelah ini." Ekpresi penuh napsu tamoak jelas di wajah Karta. Kedua matanya fokus menatap gunung kembar milik Gendis yang masih bersembunyi di balik kebaya putih yang dipakainya."Ya Tuhan, bagaimana ini. Sepertinya Juragan Karta ingin melakukannya sekarang," batin Gendis semakin tak karuan.Karta yang sudah selesai melepaskan kancing bajunya, langsung melempa
"Lebih baik sekarang kamu bangun dan jangan bermalas-malasan! Jangan sok jadi tuan putri du rumah ini," umpat Anjarwati lagi.Bibir Anjarwati masih mengerucut menatap Gendis yang masih tertunduk di depannya."Indah, Ayu!" Suara Anjarwati yang keras dan lantang membuat Ayu dan indah segera datang menghampirinya."I-iya, Bu. Ada apa?" tanya Ayu menghampiri Anjarwati. "Kamu urus gadis ini. Ajari dia mengurus rumah ini," ucap Anjarwati pada Ayu dan Indah.Mendengar ucapan Anjarwati membuat Ayu tersenyum mengembangkan bibirnya hingga tanpa garis bibir yang sedikit terangkat.Sementara Indah hanya menoleh ke arah Gendis tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kedua matanya menatap dalam Gendis yang masih tertunduk."Wah, dengan senang hati aku akan mengajarinya, Bu," jawab Ayu semringah."Tapi ingat, jangan sampai dia terluka sedikit saja. Kalau tidak nanti Karta bisa marah besar," ucap Anjarwati mengingatkan."Tenang saja, Bu. Itu tidak akan terjadi," jawab Ayu penuh keyakinan.
"Pantas saja mas Karta jatuh hati pada gadis itu. Ternyata secantik itu wajah naturalnya," batin Ayu yang masih belum bisa memalingkan tatapannya pada Gendis."Gendis, biasanya mas Karta jam 5 sore pulang, bagaimana kalau kamu bantu aku masak di dapur," ajak Indah sembari bangkit dari duduknya.Melihat Indah yang sudah bangkit dari duduknya membuat Ayu pun segera mengikutinya."Tunggu dulu!" Ayu menghentikan langkah kaki Indah dan Gendis saat itu. Keduanya pun kompak menoleh ke arah Ayu."Mbak Indah nggak boleh bantuin Gendis masak. Biarkan saja dia yang masak hari ini. Anggap saja itu adalah tugasnya di rumah ini di hari pertamanya menjadi seorang istri," ucap Ayu."Tapi, Yu. Gendis kan masih baru di rumah ini. Dia pasti belum tahu selera lidah di rumah ini. Biar aku bantu dia saja." Indah tetap bersikukuh ingin membantu Gendis.Indah pun meraih tangan Gendis dan hendak membawanya ke dapur, tapi dengan cepat Ayu berjalan menghalangi keduanya."Tunggu dulu!" Ayu berdiri tepat di depa
"Ini semua kamu yang masak, Ndis?" tanya Karta menatap Gendis.Gendis pun menganggukkan pelan kepalanya. Tampak senyuman di bibir Karta saat mendapat jawaban dari Gendis."Wah, kamu ini benar-benar hebat. Kamu benar-benar istri yang baik," puji Karta pada Gendis. Tangannya mengusap lembut kepala Gendis membuat Ayu kegerahan.Raut wajah Ayu menjadi merengut melihat Gendis yang diperlakukan begitu manja dan mendapatkan pujian dari Karta.Ayu mengeratkan kepalan tangannya menahan amarah yang mulai muncul. Sekuat tenaga Ayu menahan rasa cemburunya pada Gendis saat itu."Sial! Ngapain sih mas Karta muji-muji gadis itu. Nggak penting banget," batin Ayu kesal.Namun, tiba-tiba saja Ayu mengembang senyum tipis saat mengingat kejahatan yang telah ia lakukan pada Gendis."Sekarang kamu seneng dipuji mas Karta tapi kamu lihat saja nanti," batin Ayu lagi.Seketika senyum Ayu pun memudar saat Karta menoleh ke arahnya. Dengan cepat Ayu merapihkan rambutnya yang tergerai lurus, mencoba menarik perha
Seluruh tubuh Gendis bergetar menahan tangis saat dirinya diserbu dengan beberapa orang yang mengatainya dan mengejeknya.Gendis hanya bisa tertunduk mendengarkan setiap kata yang menusuk hatinya. Ia masih terus memikirkan tentang keanehan saat itu.Bagaimana ayam yang ia masak rasanya bisa seasin itu padahal ia tak banyak memeberikan garam pada masakannya. Gendis hanya bisa membatin dalam hatinya."Sudahlah, Mas. Lebih baik kita maklumi saja Gendis yang masakannya keasinan. Mungkin dia masih belajar memasak apalagi kan dia baru di rumah ini jadi mungkin dia masih canggung," ucap Indah yang lagi-lagi membela Gendis di hadapan Karta dan membuat Ayu geram."Mbak Indah tuh ngapain sih pake sok-sokan belain Gendis di hadapan mas Karta. Pasti mereka berdua sudah sekongkol buat mengambil hati mas Karta dan ingin menyingkirkan aku. Aku harus berbuat sesuatu sebelum mereka berhasil menyingkirkan aku dari kehidupan mas Karta," batin Ayu yang sudah mulai dilema memikirkan dirinya sendiri."Kamu