Share

Bab 2

Malamnya Gendis menyiapkan makan malam sederhana. Ia hanya memasak sayur kangkung dan menggoreng tahu. Menu sederhana itu akan Ia santap bersama dengan bapak dan adiknya.

"Mbak, bapak kok belum datang? Apa bapak sakitnya kambuh lagi?" tanya Indri pada Gendis yang masih sibuk menyendokkan nasi ke piring.

"Iya Ndri. Nanti biar Mbak saja yang antar makan malam bapak ke kamar. Kamu makan saja sekarang setelah itu istirahat," ucap Gendis lembut.

Indri pun lalu memakan makan malamnya. Sementara Gendis pergi ke kamar Hartono.

Tamoak Hartono yang tengah berbaring miring membelakangi pint sehingga saat Gendis masuk hanya bisa menyaksikan punggung Hartono.

"Pak, bapak belum makan, kan? Ini Gendis bawakan makan malam," ucap Gendis sembari mendekati Hartono. Ia lalu duduk di pinggiran ranjang.

Tak lama Hartono pun menoleh. Sambil terbatuk, ia mencoba bangun dan mengubah posisinya menjadi duduk.

"Dadanya masih sakit banget, ya, Pak?" tanya Gendis pelan.

"Iya Ndok. Sepertinya sakitnya bapak semakin parah," jawabnya dengan suara parau. Matanya tampak sedikit memerah membuat Gendis bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah bapak habis menangis, pikir Gendis setiap kali menatao mata Hartono yang memerah.

"Besok Gendis belikan obat, ya, Pak. Kalau tidak salah kita masih punya sedikit simpanan uang," ucap Gendis.

"Gendis, bapak boleh bicara serius denganmu?" tanya Hartono sembari memebenahi posisi duduknya. Keduanya pun berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh.

"Iya boleh, Pak. Bapak mau bicara apa pada Gendis?" tanya Gendis penasaran.

Hartono pun meraih tangan Gendis saat itu. Bibirnya bergetar saat mulai terbuka.

"Bukannya bapak tidak sayang padamu, Ndis, tapi setelah bapak pikir-pikir lagi. Sepertinya apa yang juragan Karta bilang tadi itu benar," ucap Hartono menghentikan kalimatnya.

Gendis segera menautkan kedua alisnya. Ia sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Hartono padanya.

"Apa maksud Bapak? Apa Bapak ingin aku menikah dengannya?" tanya Gendis yang segera menarik tangannya dari genggaman Hartono.

"Maafkan Bapak, Ndis. Bapak tidak punya pilihan lain lagi. Kalau sampai rumah ini benar-benar disita oleh juragan Karta maka kita semua tidak akan punya tempat tinggal. Lalu bagaimana nasibmu dan adikmu apalagi sekarang bapak sakit-sakitan begini," ucap Hendarto dengan suara bergetar. Kepalanya tertunduk menatap tangannya yang mengepal dengan erat.

Perlahan Gendis beringsut menjauhi Hartono mencoba mengambil jarak agar tak terlalu dekat dengannya.

"Tapi Gendis tidak mau menikah dengan laki-laki tua itu, Pak. Dia itu pria yang sudah beristri, dia sudah berumur jauh dariku dan sifatnya juga sangat tidak baik. Aku tidak suka padanya. Tolong jangan nikahkan aku dengan dia, Pak," rintih Gendis memohon.

"Ini satu-satunya cara, Ndis. Hanya ini cara agar bapak bisa melihat salah satu dari putri bapak hidupnya enak. Kalau hidupmu enak, bapak yakin kamu bisa menolong bapak dan adikmu," ucap Hartono lagi.

"Tapi tidak harus menjadi seorang madu, kan, Pak? Seorang wanita akan merasakan sakit yang teramat sangat saat mereka dimadu dan menjadi madu. Aku tidak mau, Pak. Tolong jangan paksa aku untuk menikah dengannya." Gendis membuang muka menahan air mata yang sudah diujung bulu mata.

"Bapak tahu ini tidak baik tapi bapak mohon lakukan ini demi adik kamu. Kasian dia kalau sampai dia menjadi gelandangan. Hanya kamu satu-satunya yang bisa bapak harapkan Ndis," lanjut Hartono.

Gendis semakin sesenggukan. Dadanya terasa sangat nyeri menahan tangis yang tak bisa ia keluarkan dengan leluasa.

"Gendis tidak mau, Pak. Tolong jangan paksa Gendis," ucap Gendis masih menolak.

"Baiklah kalau memang kamu tidak mau. Bapak tahu kalau bapak terus memaksamu itu adalah hal yang salah. Bapak minta maaf karena sudah membuatmu bersedih," ucap Hartono menaikkan pandangannya menatap Gendis yang sudah sesenggukan.

Namun, Gendis tak mau disentuh oleh Hartono. Ia kemudian berlari keluar kamar sembari menangis.

Indri yang sedang duduk di kursi meja makan merasa penasaran melihat Gendis yang berlari sambil menangis saat keluar dari kamar Hartono.

"Loh mbak Gendis kok menangis, ada apa, ya," ucap Indri lirih.

***

"Bu, besok temani aku ke rumah Hartono, ya," ucap Karta saat ia, kedua istrinya dan Anjarwati tengah duduk melingkari meja makan.

"Loh mau apa ke sana?" tanya Anjarwati, ibu dari Karta.

"Aku mau mengenalkan ibu pada seseorang," ucap Karta sembari tersenyum penuh arti.

Indah dan Ayu yang melihat senyum tak biasa di bibir Karta merasa penasaran.

"Seseorang? Siapa?" tanya Anjarwati.

"Ada lah. Seseorang yang pasti ibu akak suka," jawab Karta lugas.

"Dan untuk kalian berdua siap-siap menerima anggota keluarga baru. Dia akan menjadi bagian di rumah ini seperti kalian," ucap Karta menatap kedua istrinya, Ayu dan Indah.

"Anggota keluarga baru? Seperti kita? Apa maksudnya, Mas?" tanya Indah selalu istri pertama Karta.

"Aku mau menikah lagi. Kalian jangan cerewet atau protes!" Ancam Karta.

"Tapi Mas, kenapa kamu harus menikah lagi? Bukankah punya dua istri saja sudah cukup." Ayu sebagai istri kedua merasa keberatan.

"Kamu ini gimana sih, Yu. Karta kan belum dapat anak laki-laki jadi wajar dong kalau dia menikah lagi. Kamu juga kan nggak bisa kasih anak laki-laki buat Karta jadi mending kamu izinin aja Karta menikah lagi. Jangan menghalangi dia untuk mendapatkan apa yang dia mau," sela Anjarwati membela Karta.

Seketika Ayu pun terdiam tak berbicara apapun lagi. Ekpresi wajahnya berubah menjadi merah padam dengan bibir yang mengatup erat.

"Ibu benar! Kalian nggak bisa kasih anak laki-laki buat aku. Jangan pernah sekali-kali menghalangi aku untuk menikah dan mendapatkan anak laki-laki. Kalau kalian nggak suka dimadu, kalian bisa minta cerai biar aku ceraikan," ujar Karta begitu enteng.

"Aku tidak keberatan kalau Mas mau menikah lagi. Asalkan wanita yang akan menjadi istrinya Mas adalah wanita yang baik," ucap Indah.

"Oh ya tentu saja. Aku tidak mungkin sembarangan pilih wanita yang akan aku jadikan istri," timpal Karta dengan nada sombong.

"Ish mbak Indah nih apa-apaan, sih. Kok dia setuju mas Karta nikah lagi. Kan nanti uang bulanan kita pasti jadi berkurang," gerutu Ayu dalam hati.

"Kalau begitu besok kita ke sana berdua kan, Karta? Kedua istri mu ini nggak perlu ikut, kan. Ntar malah repot kalau mereka ikut," ucap Anjarwati.

"Iya, Bu. Kita berdua saja. Lagian kita harus memastikan dulu kalau wanita itu mau menjadi istriku."

"Maksud kamu apa bicara seperti itu. Memangnya siapa yang tidak mau punya suami seperti kamu. Orang paling kaya di kampung ini. Hanya wanita gila yang mau menolak kamu," ucap Anjarwati. Seketika Karta pun tertawa kecil mendapatkan pujian dari Anjarwati.

Mereka pun menyelesaikan makan malam mereka. Setelah selesai makan malam, Indah dan Ayu membersihkan meja makan dan mencuci piring bekas makan.

Saat Indah sedang mencuci piring tiba-tiba Ayu datang menghampirinya dan menarik keras tangannya hingga piring yang tengah ia cuci hampir terlepas dari pegangannya.

"Mbak Indah, maksudnya tadi apa sih. Kenapa pake setuju segala kalo mas Karta nikah lagi." Kedua mata Ayu melotot.

"Loh memangnya kenapa, Yu. Itu lebih baik daripada mas Karta berzina."

"Halah bohong. Bilang aja mbak Indah mengizinkan mas Karta menikah lagi karena takut diceraikan oleh mas Karta kan karena mbak Indah nggak bisa punya anak."

Plak.

Seketika tamoaran keras mendafat di pipi Ayu dengan cukup keras.

"Cukup, Yu. Jangan pernah kamu mengatai aku seperti itu lagi," ucap Indah kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status