Gian menghela napas panjang lalu mendekatkan diri. Namun, Aurelia malah menggeser selimut dan duduk sambil memalingkan wajah. Air matanya masih terus menetes meski sudah berulang kali diusap dengan punggung tangan. Suaranya kecil, nyaris seperti gerutu anak-anak yang marah tapi tak bisa menjelaskan kenapa.“Kenapa sih kau harus begitu?” katanya, nyaris berbisik. “Kalau memang aku tak menarik, bilang saja. Tak usah menyelimuti tubuhku seperti aku ini mayat hidup.”Gian menghela napas, duduk kembali di sisi tempat tidur, lalu menyentuh lengan Aurelia yang gemetar. “Sayang… bukan itu maksudku.”“Jangan panggil aku ‘sayang’ kalau kau hanya ingin membuatku merasa kasihan pada diriku sendiri,” potong Aurelia, masih tak mau menatapnya.Gian tersenyum tipis. Tangannya
Aurelia menggigil. Setelah mengucapkan kalimat penyerahan diri tadi, seluruh tubuhnya menegang. Napasnya terasa pendek. Tangannya mengepal di atas pangkuan, dan setiap inci kulitnya terasa seperti terpapar udara musim dingin yang membekukan.Di hadapannya, Gian terdiam. Tatapannya tertuju pada wanita yang kini tampak seperti burung kecil yang takut mengepakkan sayap. Ia melangkah pelan, nyaris tanpa suara, dan duduk di hadapan Aurelia.“Kau yakin?” tanyanya lagi, lembut tapi jelas.Aurelia hanya mengangguk. Tak ada suara dari bibirnya. Tapi mata itu… penuh kecemasan.Tanpa banyak kata, ia akhirnya bangkit dan membimbing Aurelia ke kamar. Keduanya melangkah pelan nyaris tak bersuara lagi.Gian menyentuh pipinya, menatapnya dalam. “Aku tidak ingin kau memberiku sesuatu karena merasa harus. Aku ingin kau memberikannya… karena kau mau.”“Aku mau,” bisiknya, kali ini terdengar lebih jelas, meskipun gemetar.Gian menelan ludahnya. Satu sisi dalam dirinya ingin percaya. Tapi sisi lainnya mem
“Apa katamu??”Gian meletakkan gelas ke meja dapur dengan bunyi pelan tapi jelas. Ia bersandar, menatap lurus ke arah Aurelia. “Aku tidak tahu lagi harus menganggap hubungan ini seperti apa.”Aurelia melangkah maju, wajahnya mulai merah karena campuran emosi. “Jadi semua ini... kau anggap omong kosong?”“Jangan membalikkan semuanya padaku,” desis Gian tajam. “Kau yang malu mengakuiku sebagai suami. Kau yang membiarkan pria lain bicara tentangmu seolah aku tak ada. Apa itu yang dinamakan hubungan sebenarnya?”Aurelia menggeleng keras. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya berdiri di antara dua dunia, Gian! Kau tidak tahu apa yang kulalui! Nathan datang tiba-tiba, semua terasa seperti jebakan—aku panik!”“Dan dalam kepanikanmu, kau memilih diam,” potong Gian, suaranya meninggi. “Membiarkan dia menyebutku suami tua tanpa membela. Membiarkannya bilang kau akan kembali padanya. Kau tahu apa rasanya menjadi laki-laki yang tidak diakui oleh istrinya sendiri?!”Aurelia memukul dadanya sendiri den
Kalimat itu bukan meluncur dari mulut Gian, melainkan dari Nathan.Aurelia membeku. Ia pikir Gian akan meralat, atau sekadar bertanya balik soal pernyataan Nathan tadi. Tapi pria itu hanya bergumam rendah, bahkan tak menanggapi sepatah kata pun. Gian malah mengulurkan tangan ke arah Aurelia—tenang dan nyaris sopan, seperti tidak terjadi apa-apa.Keduanya bersalaman dengan formalitas yang aneh. Suasana jadi janggal dalam sekejap.Nathan, seakan menyadari kekakuan itu, justru bersikap santai. Bahkan dengan nada setengah tertawa, ia berkata, “Dia menikah dengan orang lain padahal status kami masih pacaran. Suaminya itu pula. Dia menikah karena keluarganya diancam.”“Nathan!” sentak Aurelia, nadanya tajam penuh amarah.Namun Nathan malah tertawa ringan, seperti benar-benar menikmati kekacauan ini. “Santai saja, Aurel. Gian ini orangnya cool banget. Aku yakin dia bisa simpan rahasia.”Aurelia menggigit bibir. Rasanya seperti dilempar ke dalam lumpur dan tak diberi kesempatan untuk membersih
Aurelia menunduk dalam diam. Kata-kata Nathan masih menggantung di udara, mengiris seperti angin tajam di tengkuknya. Tubuhnya terasa kelu. Suaranya tercekat di tenggorokan. Tak mungkin ia menjawab: Aku menikah dengan Gian, pria yang kau kenal, yang sekarang jadi rekan bisnismu. Itu akan jadi bencana.“Kamu ngapain di sini?” Aurelia mencoba mengalihkan. Suaranya lebih datar sekarang.Nathan menyeka wajahnya sejenak sebelum menjawab, “Ketemu teman lama. Dia dosen tamu di Fakultas Ekonomi. Ya sudah… aku mampir.”Aurelia mengangguk, mencoba tersenyum—senyum yang begitu tipis dan dipaksakan. “Maaf, aku harus balik. Kelas berikutnya bentar lagi mulai.”Nathan tampak ingin berkata sesuatu lagi, tapi Aurelia sudah melangkah menjauh. Tangannya dingin. Dadanya sesak. Ia tidak menoleh ke belakang.Aurelia membuka pintu apartemen dengan tangan gemetar. Matanya segera menangkap sosok Gian yang tengah duduk di ruang tengah, mengenakan kaos abu dan celana jogger. Tangannya memegang segelas air puti
Langit pagi masih kelabu ketika Gian menutup teleponnya. Nada bicaranya biasa saja, tapi mata Aurelia langsung menangkap perubahan halus di wajah suaminya."Namanya Nathan," kata Gian sambil menarik kursi. "Kami pernah satu proyek beberapa bulan lalu, dan sepertinya minggu depan kami akan kerja bareng lagi."Aurelia membeku."Nathan siapa?" tanyanya cepat, berusaha terdengar santai.Gian membuka laptopnya. "Nathan Alfarizi. Lulusan luar negeri. Punya agensi strategi kreatif yang sekarang lagi kerja sama dengan perusahaan keluarga. Kami mau bahas marketing digital buat ekspansi produk ekspor."Dunia seperti berhenti sesaat. Jantung Aurelia berdetak tak beraturan.Nathan Alfarizi. Itu nama yang nyaris tak pernah gagal membuatnya tersenyum—atau