Share

17. Insiden Tak Terduga

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-07-10 10:08:43

"Gian," gumam Aurelia seraya mendesis pelan. Terlebih ketika pria yang ia elukan namanya itu semakin merengkuh tubuhnya dari belakang, membuat pipi mereka bergesekan lembut.

Gian tidak hanya menempelkan pipinya pada pipi Aurelia, tapi juga membiarkan napasnya menyentuh kulit halus istrinya itu dengan lembut. Tangan kirinya yang melingkari pinggang Aurelia tak sekadar menjadi pelindung—tapi juga pernyataan yang tak terbantahkan: dia milikku.

Aurelia nyaris tak bisa bernapas, bukan karena sesak, tapi karena jantungnya berdetak terlalu cepat. Aroma tubuh Gian begitu dekat, menenangkan sekaligus membingungkan. Saat ia menoleh sedikit, mata mereka bertemu, dan Gian hanya menatapnya dengan ekspresi tenang namun mematikan. Senyumnya tipis, nyaris tak kentara, tapi cukup untuk membuat Aurelia merasa seluruh tubuhnya hangat dan—anehnya—nyaman.

"Apa yang kau lakukan?" bisiknya lagi, nyaris tak terdengar. Pipinya memanas. Ia yakin rona merahnya menyala te

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   173. Memangnya Kenapa?

    “Bu…” Gian menarik napas. “Memangnya Kenapa? Kenapa Ibu tanya begitu?”“Ibu dengar Devina datang ke kantormu. Saat makan siang,” jawab ibunya dengan tenang.Gian mengerjap. Jadi kabar itu sudah sampai ke telinga sang ibu. Ia memijat pangkal hidung, mengingat kembali tatap mata Devina di ruangannya—tenang, yakin, dan kalimat yang disuarakan tanpa berputar: Ceraikan Aurelia. Ia menolak di tempat.“Ya, dia datang,” ucap Gian akhirnya. “Tanpa janji. Membawa rantang, menawarkan makan siang. Kami hanya bicara sebentar.”“Sebentar?” Nyonya Lestari mengangkat alis. “Lalu … apa dia meminta sesuatu?”Gian menahan desah. “Dia ingin aku menceraika

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   172. Apa Kau Masih Mencintai Devina?

    Aurelia mengangguk sebagai isyarat bahwa ia menerima tawaran Baskara. Keputusan itu diiringi detak jantung yang terasa berdentum lebih keras daripada biasanya.Ia meneguhkan hatinya, mengingatkan diri bahwa pria ini bukan orang asing sepenuhnya. Ia adalah ayah dari Caca—murid les privatnya. Jadi, bukankah wajar jika ia percaya? Bukankah ada benang penghubung yang membuat hubungan mereka sedikit lebih aman?Namun, ketika mereka keluar dari restoran, sebuah kejutan kecil menyambutnya. Aurelia semula mengira Baskara sendiri yang akan mengemudi. Ternyata ia salah besar. Sebuah mobil hitam elegan sudah menunggu di depan pintu, dan seorang sopir berdiri sigap, membukakan pintu untuk mereka.Aurelia agak kikuk. Ia masuk ke dalam mobil, duduk di samping Baskara. Aroma kulit sintetis yang mahal memenuhi ruang sempit itu. Tanpa banyak bicara, Baskara segera mengeluarkan gawainya. Jemarinya bergerak lincah di atas layar ponsel, dan dalam sekejap ia sudah terlibat dal

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   171. Peluang Bagus

    Aurelia sontak berdiri dari kursi, tubuhnya terasa panas meski angin dingin dari ventilasi restoran berembus lembut. Wajahnya memerah, antara marah dan malu, matanya membelalak menatap pria di hadapannya.“Maaf, tapi aku sudah menikah. Dan aku rasa tidak pantas mendengar ucapan seperti itu,” katanya dengan suara bergetar namun tegas.Beberapa orang di meja sekitar sempat melirik ke arah mereka, membuat Aurelia semakin risih. Ia menunduk sebentar, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri.Sementara Baskara justru terkekeh kecil, wajahnya tenang, seolah menikmati reaksi Aurelia. “Hei, jangan salah paham. Maksudku bukan ke arah itu. Aku hanya bercanda,” ujarnya sambil mengangkat tangan seolah menyerah. “Kata ‘menarik’ yang kumaksud bukan soal pribadi… tapi karena aku baru terpikir, kau mungkin cocok jadi asistenku untuk sementara waktu.”Aurelia mengerutkan kening. “Asisten?” ulangny

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   170. Ini Aku

    Tidak. Dia tak berani melihat ke arah tadi. Aurelia menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya gemetar hebat seolah ingin lenyap dari dunia.Suaranya mulai terisak, lirih namun jelas, “No! Don’t hurt me, please!!”Hening sepersekian detik. Detak jantungnya memekakkan telinga, lebih keras daripada riuh lalu lintas di sekitarnya. Hingga kemudian—“Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu.”“Tidak!!” sentak Aurelia yang sudah berhasil melepaskan tangannya dengan cepat. Sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. Yang tadi itu …Aurelia spontan membuka kelopak matanya lebar-lebar. Sungguh tak masuk akal, tapi suara itu jelas sekali. Bukan hanya karena bernada tenang, melainkan karena… orang tadi bisa berbahasa Indonesia? Begitulah yang ada di pikirannya.“Bu Aurelia. Ini aku.”Kepalanya berputar cepat, matanya fokus pada sosok pria dengan wajah tegas dan senyum yang ter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   169. Kejadian Di Depan Mata

    Aurelia duduk sendirian di sebuah kafe kecil di sudut Lygon Street. Aroma kopi hangat bercampur dengan wangi roti panggang menyelimuti ruang itu. Dari balik kaca besar di sampingnya, ia bisa melihat orang-orang berlalu-lalang dengan ritme hidup khas kota besar—cepat, penuh tujuan, dan nyaris tanpa jeda.Ia menggenggam ponselnya, menatap layar yang masih menampilkan percakapan terakhir dengan Sophia. Aurelia sudah mengetik kalimat itu berulang kali: Turut berduka cita, Sophia. Semoga nenekmu tenang di sana. Namun, ia tetap merasa kata-katanya kurang. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dalam, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya, ia menekan tombol kirim juga, lalu bersandar pada kursinya dengan helaan napas panjang.“Semoga Sophia kuat,” gumamnya lirih, sebelum menyeduh sisa cappuccino yang mulai mendingin.

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   168. Kabar Aurelia Di Negeri Asing

    Pagi itu udara Melbourne masih menusuk tulang. Kabut tipis menyelimuti jalanan Lygon Street, tempat kafe-kafe kecil sudah mulai buka. Dari jendela kaca kamarnya, Aurelia memandang keluar, menghirup aroma kopi yang samar terbawa angin. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi ia sudah sibuk membuka buku-buku latihan IELTS dan laptop yang penuh catatan digital.Hari ini terasa penting—tinggal beberapa minggu lagi menuju tes resmi, dan Aurelia tidak boleh lengah. Sejak datang ke Melbourne dua bulan lalu, ia sudah bertekad menjadikan waktunya efektif. Kursus bahasa Inggris yang ia ambil benar-benar menantang, apalagi bagian listening dan speaking. Sering kali ia terjebak oleh aksen yang berbeda-beda, dari British sampai Australian, yang terdengar asing di telinganya.Ketukan pintu terdengar. “Good morning, Aurelia!” Suara itu jelas.Aurelia tersenyum lelah, tahu siapa pemilik suara itu. Begitu pintu dibuka, Sophia muncul denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status